visitaaponce.com

RUU Penyiaran Ancam Kebebasan Berekspresi dan Hak atas Informasi

RUU Penyiaran Ancam Kebebasan Berekspresi dan Hak atas Informasi
Ilustrasi.(MI/Seno)

SETARA Institute menyoroti Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang sedang diharmonisasi di tingkat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Beberapa ketentuan dalam draft dinilai sebagai upaya sistematis untuk menggerus demokrasi, seperti mengendalikan konten jurnalistik yang mengancam kebebasan berekspresi dan hak untuk memperoleh informasi.

SETARA Institute memandang bahwa RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang problematik dan merusak agenda-agenda demokrasi dan demokratisasi, kebebasan pers, kebebasan informasi, serta agenda-agenda HAM secara umum yang telah diperjuangkan sejak awal era Reformasi. 

RUU Penyiaran memvalidasi penyempitan ruang-ruang sipil. Laporan tahunan Indeks HAM SETARA Institute selalu menunjukkan bahwa skor pada indikator kebebasan berekspresi menyampaikan pendapat merupakan indikator dengan skor paling rendah pada tiap tahunnya.

Baca juga : Draf Revisi UU Penyiaran Berangus Pengawasan oleh Pers

Skor itu tidak pernah mendekati angka moderat dari skor 1-7 dengan rincian skor: 1,9 di tahun 2019; 1,7 pada tahun 2020; 1,6 di tahun 2021; 1,5 pada tahun 2022; dan 1,3 di tahun 2023. 

"Artinya, alih-alih menjamin kebebasan berekspresi, RUU Penyiaran justru berpotensi memperburuk situasi kebebasan berekspresi terutama melalui pemasungan kebebasan pers," kata Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (15/5).

SETARA Institute juga menilai bahwa RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang memiliki intensi untuk mengendalikan kebebasan pers, khususnya jurnalisme investigasi melalui Pasal 50B ayat (2) huruf c RUU Penyiaran. 

Baca juga : Ruang untuk Berpendapat dan Kebebasan Sipil Kian Sempit di Era Jokowi

"Pasal yang melarang jurnalisme investigasi merupakan upaya untuk mengurangi kontrol terhadap pemerintah. Padahal, pilar demokrasi modern salah satunya adalah kebebasan pers yang, antara lain, memberikan ruang bagi jurnalisme investigasi untuk melakukan kontrol atas bekerjanya kekuasaan dan berjalannya pemerintahan," jelasnya..

Kemudian,SETARA Institute juga memandang konten dan produk jurnalistik seharusnya tetap menjadi yurisdiksi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jurnalisme investigasi seharusnya tetap berada di bawah pengaturan UU Pers, meskipun penyiarannya dilakukan melalui televisi ataupun situs internet. Dalam konteks itu, RUU Penyiaran secara intensional melemahkan UU Pers.

Selain itu, ekspansi kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana Pasal 8A huruf q RUU Penyiaran untuk melakukan penyelesaian sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran akan mengebiri kewenangan Dewan Pers.

Baca juga : Anies Baswedan Janji Jamin Kebebasan Pers

Ketentuan tersebut berpotensi mendistraksi kewenangan antara kedua lembaga sehingga melemahkan resolusi dan penyelesaian sengketa jurnalistik yang mungkin terjadi. Kemudian ketentuan dimaksud melemahkan Dewan Pers sebagai pilar kebebasan pers, sebab lingkup kewenangan Dewan Pers untuk menjamin kebebasan pers juga meliputi konten jurnalistik yang disiarkan melalui media elektronik.

SETARA Institute juga menilai perlu adanya pengertian yang lebih jelas pada beberapa istilah dalam RUU Penyiaran. Misalnya, penggunaan istilah konten kreator akan multitafsir dan berpotensi menambah kontrol pada kreator digital perorangan. Hal ini dapat mengurangi ruang gerak penggunaan kebebasan berekspresi individu.

 "SETARA Institute memandang bahwa RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Pada ranah materiil, pelarangan berbagai konten digital bertentangan dengan hak atas informasi yang dijamin pada Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945. Pada ranah formil, beberapa lembaga dan kelompok seperti Dewan Pers yang belum dilibatkan dalam pembahasan RUU Penyiaran akan mengurangi legitimasi demokratik dari RUU tersebut, sehingga berpotensi untuk dibatalkan karena abai pada prinsip meaningful participation," jelasnya.

Setelah mencermati RUU Penyiaran yang beredar di tengah masyarakat, SETARA Institute mendorong perubahan substansial pada RUU Penyiaran. Lembaga itu juga mendesak agar DPR dan Pemerintah memperluas partisipasi publik yang bermakna.

"RUU Penyiaran harus sepenuhnya menjamin kebebasan pers, kebebasan memperoleh informasi, dan bebas dari desain untuk melakukan kontrol intrusif, eksesif, dan sensor berlebihan. Pada puncaknya, RUU Penyiaran harus menjadi bagian dari pilar demokrasi konstitusional, yang menjamin kebebasan pers dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan negara," terangnya. (P-5). 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat