visitaaponce.com

Sekjen PBB Sebut Dunia dalam Bahaya

Sekjen PBB Sebut Dunia dalam Bahaya
Sekjen PBB Antonio Guterres berbicara di Majelis Umum PBB(AFP/Anna Moneymaker/Getty Images)

PBB menilai kondisi dunia semakin tidak menentu yang meningkatkan ancaman peperangan dan kelaparan. Solusinya semua negara harus bersatu untuk menciptakan perdamaian dengan mengabaikan perbedaan.

“Dunia kita dalam bahaya dan lumpuh,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam sambutan pembukaan pertemuan para pemimpin dunia di Majelis Umum PBB (UNGA) ke-77, di New York, Amerika Serikat (AS), Selasa (20/9).

Gelaran ini diadakan di bawah bayang-bayang perang Rusia di Ukraina, yang telah memicu krisis pangan global dan membuka celah di antara negara-negara besar dengan cara yang tidak terlihat sejak perang dingin.

Baca juga: Menlu dan Wakil Sekjen PBB Bahas Krisis Pangan Akibat Perang Rusia-Ukraina

Guterres memulai sambutannya dengan menjelaskan kapal carteran PBB pertama yang membawa gandum dari Ukraina mampu mencapai Tanduk Afrika. Itu bagian dari kesepakatan antara Ukraina dan Rusia yang dibantu oleh PBB dan Turki.

"Ini merupakan contoh usaha dan harapan di tengah dunia yang penuh gejolak," tambahnya.

Dia menekankan bahwa kerja sama dan dialog adalah satu-satunya jalan ke depan untuk menjaga perdamaian global. Landasannya mengacu pada dua prinsip dasar PBB sejak didirikan setelah Perang Dunia II.

"Tidak ada kekuatan atau kelompok saja yang dapat mengambil keputusan. Mari kita bekerja sebagai satu, sebagai koalisi dunia, sebagai negara-negara bersatu,” ungkapnya.

Dia mendesak para pemimpin yang berkumpul di aula Majelis Umum PBB untuk mengesampingkan perbedaan. 

“Saat ini, perbedaan antara negara maju dan berkembang, antara utara dan selatan, antara yang istimewa dan yang lainnya, menjadi lebih berbahaya dari hari ke hari,” paparnya.

Menurut dia, kondisi ini tercipta karena ketegangan geopolitik yang terus meruncing. 

"Akarnya dari ketegangan geopolitik dan kurangnya kepercayaan yang meracuni setiap bidang kerja sama global, mulai dari vaksin hingga sanksi hingga perdagangan," tegasnya.

Hilangnya ekspor biji-bijian dan pupuk penting dari Ukraina dan Rusia telah memicu krisis pangan, terutama di negara-negara berkembang, dan inflasi serta meningkatnya biaya hidup di banyak negara lainnya.

Raja Abdullah II dari Yordania mengatakan pandemi yang diperburuk oleh krisis di Ukraina telah mengganggu rantai pasokan global dan meningkatkan kelaparan. Banyak negara kaya yang kekurangan pasokan makanan.

“Makanan yang terjangkau harus sampai ke meja setiap keluarga. Di tingkat global, ini menuntut langkah-langkah kolektif untuk memastikan akses yang adil terhadap makanan yang terjangkau, dan mempercepat pergerakan bahan pokok ke negara-negara yang membutuhkan,” kata Abdullah.

Sementara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mendesak para pemimpin dunia di markas besar PBB untuk menciptakan solusi perdamaian di Ukraina. 

“Itu mungkin tidak mencerminkan kekurangan Turki, karena itu adalah fakta di mana kita berada sekarang di mana tidak ada badan atau negara yang dapat menemukan langkah-langkah praktis untuk mengakhiri perang ini,” katanya.

Sidang di PBB tersebut berlangsung saat para pejabat di empat wilayah yang dikuasai Rusia di timur dan selatan Ukraina akan mengadakan referendum untuk menjadi bagian dari Rusia mulai 23-27 September, yang dapat mengatur panggung bagi Moskow untuk meningkatkan perang.

Kepala NATO Jens Stoltenberg menyebut rencana referendum itu palsu. 

“Referendum semacam itu tidak memiliki legitimasi karena itu adalah referendum palsu,” katanya kepada Al Jazeera.

“Mereka tidak akan mengubah sifat perang. Ini tetap menjadi perang agresi terhadap Ukraina dan ini merupakan eskalasi karena jika tiba-tiba wilayah ini, yang merupakan bagian dari Ukraina, dinyatakan sebagai bagian dari Rusia, itu akan semakin meningkatkan konflik,” tegas Stoltenberg.

Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron, saat berpidato di PBB, mengatakan tidak ada negara yang bisa berdiri sendirian menghadang perang di Ukraina. Dia menuduh banyak negara tidak berdaya untuk menghalau invasi Rusia.

"Mereka yang tetap diam berarti terlibat dengan penyebab baru imperialisme yang menginjak-injak tatanan dunia saat ini dan membuat perdamaian menjadi tidak mungkin," pungkasnya. (Aljazeera/OL-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat