DPR AS Umbar Pengemplangan Pajak Trump
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) yang dikuasai Partai Demokrat mengungkap hasil investigasi eks Presiden Donald Trump. Selama di Gedung Putih, Trump kurang dan bahkan tidak membayar pajak hingga menutupi kepemilikan rekening di sejumlah negara.
Dalam dokumen yang dirlis Komite DPR AS, tokoh Partai Republik itu hanya membayar kewajiban pajak US$750 (Rp11,6 juta) pada 2016 dan 2017. Trump membayar pajak pendapatan federal senilai total US$1,1 juta (Rp17,1 miliar) sepanjang 2016 hingga 2019.
Trump tidak membayar pajak pada 2020, tahun terakhir masa kepresidenannya. Dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa Trump, yang memiliki afiliasi bisnis internasional dan rekening bank di Irlandia, Inggris, dan Tiongkok pada 2015 sampai 2017.
Isu ini menjadi sorotan partai rival Trump karena selama masa tersebut, dirinya berstatus sebagai Presiden AS. Trump pun memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan luar negeri yang berpotensi didasarkan pada kepemilikan rekening di negara-negara tersebut.
Sejak 2018 dan seterusnya, Trump hanya melaporkan memiliki rekening bank di Inggris. Menanggapi laporan itu pendukung Trump memperingatkan bahwa pengungkapan tersebut akan menyebabkan perpecahan politik di AS.
"Demokrat seharusnya tidak pernah melakukannya, Mahkamah Agung seharusnya tidak pernah menyetujuinya, dan itu akan menyebabkan hal-hal yang mengerikan bagi banyak orang," sebut pendukung Trump.
Trump juga berulang kali menolak mentah-mentah mengungkap laporan pajaknya. Don Beyer, selaku anggota DPR dari Partai Demokrat sekaligus anggota Komite DPR yang merilis dokumen tersebut, mengatakan Trump menyalahgunakan kekuasaan jabatannya untuk memblokir transparansi tentang keuangannya," paparnya.
Dia juga menilai Trump berpotensi mengeluarkan kebijakan luar negeri yang sarat konflik kepentingan. "Juga konflik kepentingan yang tidak pernah dilakukan oleh presiden sejak Nixon. "
Komite di DPR AS juga menemukan bahwa Internal Revenue Service (IRS), lembaga federal AS yang ditugasi mengumpulkan pajak, gagal mengaudit Trump selama dua tahun pertama menjabat presiden. IRS baru mulai melakukannya setelah proses pengawasan Kongres dimulai pada 2019.
Dalam beberapa tahun, Trump membayar nilai pajak yang jauh lebih kecil dari pendapatannya ketimbang presiden-presiden AS sebelumnya. Pada 2018, dia dan istrinya memperoleh US$24,3 juta (Rp378,3 miliar) dari pendapatan kotor yang disesuaikan.
Namun nilai pajak yang dia bayar kurang dari US$1 juta, sehingga tarif pajak yang dikenakan terhadapnya hanya 4,1%. Di Amerika, pasangan suami-istri wajib mengajukan laporan pajak bersama.
Di tahun-tahun lain, karena Trump melaporkan kerugian bisnis yang sangat besar, beban pajak Trump mendapatkan keringanan. Misalnya, pada 2017, dia merugi tapi tetap membayar pajak.
Sebagai perbandingan, penghasilan kena pajak Barack Obama dan istrinya, Michelle Obama, memuncak pada 2009, ketika mereka menghasilkan US$5,5 juta (Rp85,6 miliar), dan membayar pajak sekitar 30%. Sebagian besar pendapatan mereka berasal dari penjualan dua buku Obama, Dreams from My Father dan Audacity of Hope.
Ketika penjualan bukunya menyusut, pendapatan kena pajak Obama menurun drastis pada 2015, pasangan itu hanya memperoleh US$447.880 (Rp6,9 miliar), hampir semuanya dari gaji presiden, dan membayar sekitar 18% dari pendapatan mereka ke IRS.
George W Bush tidak menulis biografi kepresidenannya hingga meninggalkan jabatannya.Ketika dia menjadi presiden, dia dan istrinya, Laura Bush, berpenghasilan rata-rata sekitar US$800.000 (Rp12,4 miliar) setahun. Sekitar setengahnya berasal dari gaji, dan setengah lainnya berasal dari bunga dan investasi dengan tarif pajak rata-rata 27,8%.
Bill Clinton dan istrinya, Hillary Clinton, berada di Gedung Putih pada 1992 dengan penghasilan kurang dari US$300.000 (Rp4,6 miliar) setahun. Uang itu sebagian besar dari gaji dan mereka membayar 23,6% dari pendapatan untuk pajak.
Pada 1996, buku Hillary Clinton membantu pasangan itu menghasilkan lebih dari US$1 juta, tetapi tarif pajak yang dikenakan terhadap mereka benar-benar turun menjadi 18,5%.
Para ahli politik AS meyakini bahwa laporan pajak berdampak kecil pada popularitas Trump di kalangan pendukungnya. "Tidak masalah apa yang ada di sana (laporan pajak), kecuali ada pelanggaran hukum yang jelas," kata Doug Heye, mantan juru bicara Komite Nasional Partai Republik.(BBC/OL-4)
Terkini Lainnya
Gedung Putih Usulkan Pajak Minimum Baru untuk Miliarder AS
Publik Butuh Layanan Konsultan Pajak Berintegritas
Kontribusi Pasar Modal terhadap Ekonomi Indonesia
PT Joowon Tech Indonesia Mengantongi Izin Gudang Berikat dari Bea Cukai Banten
Cegah Barang Ilegal, Kebijakan Bea Masuk 200% Perlu Diikuti Penegakan Hukum
Implementasi Pemadanan NIK dan NPWP: Prodi Manajemen Pajak UKI Gelar PKM untuk Sosialisasi Peraturan Baru Perpajakan
KPK Ultimatum Pengusaha Tambang untuk Bayar Pajak dan Hindari Korupsi
Pemilu Iran: Pertarungan Dua Kubu Politik yang Sangat Berjarak
Spirit Dedikatif Petugas Haji
Arti Penting Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap