visitaaponce.com

Sudan Membara, Jepang Siapkan Evakuasi Warganya

JEPANG mempersiapan proses evakuasi warganya dari Sudan, setelah gagalnya gencatan senjata yang diinisiasi oleh Amerika Serikat.

Pada Rabu (19/4), Ibu kota Sudan dihujani berbagai serangan dari udara serta ledakan dari tentara dan paramiliter, membuat warga harus berlindung.

Serangan bertubi-tubi dan bombardir terdengar di tengah kota Khartoum, dekat area kementerian pertahanan serta bandara. Kedua lokasi itu sudah berhenti beroperasi sejak awal diperebutkan oleh kedua pihak yang berseteru. Asap tebal menyelimuti langit Sudan.

Baca juga : Perang Jenderal di Sudan, KBRI Khartoum Evakuasi 15 WNI ke Safe House

Negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, berupaya untuk melangsungkan inisiatif gencatan senjata, agar tentara dan Pasukan Bantuan Cepat (RSF) berhenti saling menyerang dan warga yang terjebak dalam pertempuran itu bisa segera mendapatkan akses ke bantuan dan stok yang dibutuhkan.

Keduanya mengindikasikan bahwa mereka akan melakukan gencatan senjata pada 18.00 (16.00 GMT) Selasa (18/4) waktu setempat. Akan tetapi, aksi saling tembak tidak dapat terhindarkan. Masing-masing pihak, yaitu tentara dan RSF mengeluarkan pernyataannya, menuduh pihak lawannya tidak bisa menepati janjinya.

Baca juga : Gencatan Senjata Tak Pernah Berlaku di Sudan

Petinggi tentara mengatakan mereka akan melanjutkan upaya mereka untuk mengamankan ibu kota serta berbagai tempat lainnya.

Seorang  warga yang tinggal di bagian timur Khartoum mengatakan bahwa pertempuran berlanjut pada Rabu dini hari, sebelum akhirnya terhenti lagi. Katanya, sehari sebelumnya, terdapat banyak serangan udara dan artileri dekat rumahnya.

"Kami tidak bisa tidur. Sepi hanya pas pukul 3 sampai pukul 5 pagi." katanya.

Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Hirokazu Matsuno mengatakan bahwa otoritas berencana untuk menggunakan pesawat dari Pasukan Bela Diri Jepang untuk mengevakuasi 60 warganya yang saat ini berada di Sudan, serta berkoordinasi dengan negara-negara lainnya.

Gagal transisi

Sejak Sabtu, 15 April 2023 pagi, untuk pertama kalinya selama beberapa dekade, pertempuran dahsyat pecah di Sudan. Pertempuran itu terjadi di Khartoum dan dua kota tetangga, Omdurman dan Bahri, yang berada dekat dengan Nil Biru dan Putih.

Perseteruan tersebut menggagalkan rencana terbaru untuk transisi ke demokrasi sipil yang didukung komunitas global, empat tahun setelah otokrat Islam Omar al-Bashir jatuh, dan dua tahun setelah kudeta militer.

Perang kedua kubu itu menyebabkan mati listrik, putusnya sambungan air, membuat warga kesulitan di hari-hari terakhir Ramadhan di mana umat Muslim harus berpuasa dari pagi sampai maghrib. Banyak rumah sakit harus menghentikan operasinya karena tidak ada daya.

Warga Khartoum diminta untuk hemat listrik, karena menurut badan distribusi negara, server yang melayani pembelian secara daring sudah tidak beroperasi.

Menurut pernyataan yang dikeluarkan badan itu, server terletak di tempat yang terlalu berbahaya, yang tidak bisa dijangkau oleh para teknisi.

Kompleks perkantoran dan sekolah yang ada di ibu kota ditutup sejak perseteruan itu terjadi. Banyak laporan tentang penjarahan dan penyerangan, dan banyak yang mengantre di toko-toko roti yang masih buka.

"Banyak barang yang tidak tersedia. Orang-orang mencari barang-barang, tapi tidak bisa menemukannya," kata Mohamed, seorang warga di Bahri.

Berbagai agensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan bahwa banyak dari program mereka yang tersebar di seluruh penjuru dunia, yang sudah berada dalam situasi genting, harus dihentikan pula.

Banyak warga yang berencana ke selatan, ke pedesaan di Khartoum atau Gezira apabila gencatan senjata sudah disepakati.

Ahmad Omer, koordinator komunikasi di Dewan Pengungsi Norwegia yang terletak di Al Qadarif, Sudan, berharap bisa ke Khartoum untuk bertemu ayah dan ibunya di akhir Ramadhan. Akan tetapi, perseteruan itu menggagalkan niatnya.

"Kami berharap perdamaian akan datang, dan pemerintahan akan terbentuk," katanya. "Mereka menghancurkan seluruh impian anak muda Sudan dan revolusi Sudan."

Pertempuran itu pecah antara tentara yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan kepala RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, menyusul ketegangan terkait rencana untuk mengintegrasikan RSF ke tentara nasional.

Burhan memimpin dewan penguasa yang dibentuk setelah kudeta militer pada 2021 dan penggulingan Bashir pada 2019. Sementara Dagalo, alias Hemedti, adalah wakil Burhan di dewan itu.

Perselisihan tentang jadwal proses itu akhirnya berujung pada penundaan penandatanganan kesepakatan kerangka kerja untuk transisi sipil. Seharusnya, kesepakatan itu diteken awal bulan ini.

Perang berlangsung sejak 2013

Perang saudara di Sudan adalah konflik bersenjata yang terjadi di Sudan sejak tahun 2013 antara pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak yang terutama berasal dari wilayah selatan dan barat Sudan. Konflik ini dimulai setelah Presiden Sudan Omar al-Bashir mengumumkan rencana untuk menghapus subsidi bahan bakar, yang menyebabkan harga naik secara drastis dan memicu protes di seluruh negara.

Para pemberontak menuduh pemerintah Sudan telah melakukan diskriminasi terhadap wilayah-wilayah yang dihuni oleh kelompok etnis non-Arab, serta mengejar kebijakan ekonomi yang merugikan wilayah-wilayah tersebut. Konflik ini telah mengakibatkan ribuan kematian dan jutaan orang mengungsi dari rumah mereka.

Pada tahun 2019, setelah berlangsungnya negosiasi selama beberapa tahun, pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak menandatangani kesepakatan damai di bawah kendali Dewan Transisi Militer. Namun, masih ada beberapa kelompok pemberontak yang menolak kesepakatan tersebut dan masih terjadi kekerasan di beberapa wilayah di Sudan. (Ant/Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat