visitaaponce.com

Ambiguitas Belanda Harus Dibalas Tuntutan oleh Indonesia

Ambiguitas Belanda Harus Dibalas Tuntutan oleh Indonesia
Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte.(AFP )

BELANDA bukan eks negara penjajah yang 'gentleman' seperti Inggris, Belgia dan Jerman. Ketiga negara itu secara terang-terangan mengakui kejahatan masa lalu dengan meminta maaf serta memberikan kompensasinya kepada pemerintah bekas jajahan mereka.

Hal itu ditegaskan mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam program Primetime News MetroTV yang dipandu Reno Reksa, Jumat (16/6). Pada kesempatan sama juga hadir sejarawan Bonnie Triyana.

"Pernyataan PM (Perdana Menteri Belanda Mark) Rutte itu berkelit dengan menggunakan fakta hukum yang parsial. Pernyataan Rutte juga tidak tulus, mendasarkan pada moral dan aspek politik, bukan yuridis," ungkapnya.

Baca juga: Belanda Wajib Bertanggungjawab atas Penjajahan di Indonesia

Hassan menjelaskan pernyataan de facto yang penuh dengan nuansa politik ini juga dibayangi oleh standar ganda. Satu sisi Rutte mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sementara pejabat lain, parlemen Belanda masih berpegang pada prinsip lama, 27 Desember 1949 dengan alasan PBB pun mengakuinya.

"Jadi Belanda tidak hanya menggunakan standar ganda, tetapi juga sikapnya mundur. Itu berbanding terbalik dengan negara penjajah lain seperti Inggris, Jerman dan Belgia yang mengakui telah melakukan penjajah sehingga meminta maaf dan membayarkan kompensasi," paparnya.

Baca juga: Kemlu Tunggu Laporan KBRI Den Haag

Menurut Hassan, pengakuan Rutte juga hanya didasarkan pada aspek moral dan politik. Jika benar-benar Belanda gentleman seperti tiga negara eks penjajah itu, seharusnya meminta maaf atas penjajahan sejak 1602 hingga 1949.

"Pengakuan Rutte itu berkelit untuk menghindari hukum," jelasnya.

Konsekuensi yang harus ditanggung Belanda, kata dia, sejak invasi VoC pada 1602 hingga 1949. Selama itu Belanda banyak melakukan kejahatan kemanusiaan dan perang. Sementara gugatan atas kejahatan kemanusiaan tidak dibatasi waktu.

Demikian pula, lanjut Hassan, Indonesia dapat meminta sejumlah uang yang nilainya ratusan triliun yang pernah dibayarkan kepada Belanda. Pada era pemerintah Soeharto pun Indonesia masih tetap membayar uang ganti rugi atas biaya agresi Belanda selama periode 1945-1949.

"Bukan sebaliknya, kita yang seharusnya diberikan kompensasi atas seluruh kejahatan Belanda sejak mereka menginvasi Indonesia. Itu ironisnya, padahal meminta ganti rugi biaya invasi itu ilegal sesuai hukum internasional," jelasnya.

Ia pun menyarankan pemerintah Indonesia meminta penjelasan atas pengakuan kemerdekaan oleh Rutte.

"Minta penjelasan atas ambiguitas atas pengakuan mereka, masih mengakui 1950, serah terima kekuasaan yang padahal kita berprinsip pemindahan kekuasaan. Juga soal fakta sejarah Belanda yang kaya akan war crime dan kejahatan kemanusiaan," pungkasnya. (Cah/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat