visitaaponce.com

Badan Intelijen Israel Dinilai Gagal Prediksi Serangan Mematikan Hamas

Badan Intelijen Israel Dinilai Gagal Prediksi Serangan Mematikan Hamas
Tentara Libanon dan orang-orang yang berada di sekitar berdiri di jalan yang menghadap daerah perbatasan dengan kota Metulla di Israel.(AFP/Mahmoud Zayyat.)

KEGAGALAN besar badan intelijen Israel dalam memprediksi serangan mematikan Hamas berasal dari kesalahpahaman total kelompok militan tersebut. Demikian kesimpulan para ahli.

Israel benar-benar terkejut pada Sabtu (7/10) pagi ketika Hamas menembakkan ribuan roket dari Jalur Gaza ke negara itu. Di tempat lain, lebih dari 1.000 pejuang menembak mati ratusan orang dan menyandera sedikitnya 100 orang.

Tentara Israel memulai pertempuran sengit dengan para militan yang bersembunyi di komunitas selatan, ketika angkatan udara mulai menyerang sasaran strategis di Gaza. Pada Senin (9/10) pagi, perkiraan resmi menyebutkan jumlah warga sipil dan tentara Israel yang terbunuh mencapai lebih dari 700 orang. Ini jumlah yang sangat besar untuk negara berpenduduk kurang dari 10 juta orang.

"Ini kegagalan besar sistem intelijen dan aparat militer di selatan," kata pensiunan jenderal militer Yaakov Amidror yang menjabat sebagai penasihat keamanan nasional Israel pada 2011-2013. Namun di luar kegagalan operasional badan intelijen Israel dalam mendeteksi serangan yang terorganisasi dengan baik dan ketidakmampuan tentara untuk memblokadenya, kata Amidror, tindakan Israel yang lebih luas terhadap Hamas sepenuhnya salah.

"Kami membuat kesalahan besar, termasuk saya, dengan percaya bahwa organisasi teror dapat mengubah DNA mereka," katanya kepada wartawan. "Kami mendengar dari teman-teman kami di seluruh dunia bahwa mereka berperilaku lebih bertanggung jawab dan kami percaya itu kebodohan kami," kata Amidror yang saat ini menjabat sebagai peneliti senior di Institut Strategi dan Keamanan Jerusalem.

Menahan kekerasan

Hamas dianggap sebagai kelompok teroris oleh Israel, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Kelompok ini menguasai Jalur Gaza yang miskin sejak mereka menggulingkan loyalis Presiden Palestina Mahmud Abbas pada 2007, dua tahun setelah Israel menarik diri dari sana.

Didirikan pada 1987 oleh sekelompok militan yang dekat dengan organisasi Ikhwanul Muslimin, piagamnya menyerukan pembentukan negara Islam di seluruh wilayah Palestina dan kelompok tersebut menyiapkan program bantuan yang berfokus pada sekolah kesejahteraan sosial.

Sebelum serangan Sabtu, Israel berperang empat kali dengan militan Gaza yang terakhir terjadi pada 2021. Perang-perang ini ditandai dengan serangan udara yang dahsyat ketika Israel berusaha menghancurkan kemampuan militer Hamas, sementara para militan menghujani roket melintasi perbatasan.

Dalam upaya untuk mencapai perdamaian, Israel baru-baru ini meningkatkan izin kerja dan perdagangan bagi warga Gaza, dengan sekitar 18.500 pekerja memberikan pendapatan yang signifikan bagi wilayah pesisir padat penduduk. Pasalnya, sekitar setengah penduduknya menganggur. Israel percaya bahwa insentif ekonomi, ditambah dengan ancaman kekuatan militer, membuat Hamas kehilangan selera untuk melakukan kekerasan.

Awal bulan ini, penasihat keamanan nasional Israel Tzachi Hanegbi mengatakan bahwa selama dua tahun terakhir Hamas belum memulai peluncuran roket apa pun sebagai bagian dari keputusannya untuk menahan kekerasan dengan cara yang belum pernah terjadi.

"Hamas sangat menahan diri dan memahami arti dari perlawanan lebih lanjut," katanya dalam wawancara dengan radio militer pada 1 Oktober.

Menulis di dinding

Kepada Michael Milshtein, ketua Forum Studi Palestina di Dayan Center Universitas Tel Aviv, pernyataan seperti itu menunjukkan, "Kami benar-benar salah memahami Hamas. Gagasan mengenai insentif ekonomi yang akan mengurangi motivasi Hamas untuk melakukan teror dan bahkan menyebabkan masyarakat menentangnya benar-benar runtuh," katanya kepada AFP.

"Anda sedang berhadapan dengan organisasi yang radikal dan ideologis. Apakah Anda benar-benar berpikir Anda bisa membeli ideologi mereka? Membengkokkannya? Ini kesalahpahaman total dan mungkin termasuk angan-angan belaka. Meskipun kami percaya bahwa kelompok radikal yang mengambil alih kekuasaan secara bertahap menjadi moderat, mereka mendapatkan kekuatan dan mempersiapkan tahap perang berikutnya."

Milshtein, pensiunan perwira intelijen yang merupakan penasihat COGAT, badan pertahanan Israel yang bertanggung jawab atas urusan sipil Palestina, mengatakan kepemimpinan Hamas telah secara terbuka menyatakan niatnya untuk melakukan serangan seperti yang terjadi pada Sabtu. "Operasi ini direncanakan selama hampir satu tahun. Ini merupakan hal yang luar biasa karena ini tahun Israel terus meningkatkan jumlah izin dan konsesi tenaga kerja," katanya.

"Konsep Israel ialah Hamas tidak menginginkan eskalasi," kata Milshtein. "Tulisannya ada di dinding. Mereka hanya tidak mau percaya bahwa itu benar."

Pada Sabtu, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan bahwa ketika dia menjadi kepala komando militer selatan pada 2009, dia ingin 'mematahkan leher' Hamas tetapi dihentikan oleh eselon politik. Kini, sebagai orang yang bersama dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menentukan jalannya perang, Gallant tidak lagi dibatasi.

"Kami akan mengubah kenyataan di Gaza," dia bersumpah. "Yang dulu, tidak akan ada lagi." (Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat