visitaaponce.com

Mitos Seputar Nyeri Pinggang, Punggung, dan Saraf Kejepit

Mitos Seputar Nyeri Pinggang, Punggung, dan Saraf Kejepit
Nyeri pinggang bisa disebabkan oleh sejumlah faktor.(Dok. Freepik)

NYERI pinggang dan punggung menjadi gangguan yang banyak dikeluhkan masyarakat. Ketika mengalaminya, sebagian orang khawatir kalau-kalau mereka mengalami saraf kejepit. Kekhawatiran tersebut semakin membebani pikiran sebab ada anggapan bahwa saraf kejepit harus dioperasi. Yang bikin tambah cemas, operasi di bagian tulang punggung disebut-sebut bisa menyebabkan kelumpuhan. Benarkah demikian?

Tidak semua anggapan masyarakat tersebut benar. Sebagian besar adalah mitos menyesatkan. Bagaimana penjelasannya? Mari simak uraian dokter spesialis ortopedi dan traumatologi dari rumah Sakit Premier Bintaro (RSPB), dr. Omar Luthfi, Sp.OT (K) Spine, tentang mitos-mitos tersebut.

Mitos 1: Sakit Pinggang Pasti Saraf Kejepit

Faktanya, sakit pinggang maupun punggung atas bisa disebabkan oleh banyak faktor. Selain saraf kejepit, ada penyebab lain yang bisa menimbulkan sakit pinggang, seperti cedera otot, ligamen, pergeseran tulang belakang, dan kelainan seperti skoliosis.  

Baca juga : Mengatasi Nyeri Pinggang dengan Laser

“Untuk memastikan penyebabnya, perlu dilakukan pemeriksaan oleh dokter. Pemeriksaan dilakukan bertahap sesuai kebutuhan, dimulai dengan anamnesa (wawancara) dan pemeriksaan fisik. Jika diperlukan, pemeriksaan dengan alat-alat penunjang seperti rontgen, MRI, dan CT Scan juga akan dilakukan,” terang dr. Omar yang merupakan dokter konsultan spine (tulang belakang).

Selanjutnya, pengobatan/penanganan akan dilakukan sesuai hasil diagnosis. Pengobatan sakit pinggang yang disebabkan karena cedera otot atau ligamen tentu berbeda dengan penanganan saraf kejepit.

Mitos 2: Saraf Kejepit Harus Dioperasi

Faktanya, penangan saraf kejepit dilakukan sesuai hasil pemeriksaan. Penanganan bisa saja cukup dengan obat-obatan dan fisioterapi. Jika kedua metode penanganan konservatif memberikan hasil baik, pasien tak perlu menjalani operasi.

Baca juga : Sakit Pinggang Sebelah Kanan pada Wanita, ini Penyebab dan Cara Mengobati

“Setiap langkah penanganan yang dilakukan dokter didasarkan pada indikasi tertentu. Tindakan operasi biasanya baru diperlukan untuk kasus saraf kejepit yang menyebabkan pelemahan/kelumpuhan tangan atau kaki, atau nyeri berkepanjangan yang tidak bisa diperbaiki dengan obat maupun fisioterapi,” terang dr. Omar yang meraih gelar dokter dan spesialisasinya dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Mitos 3: Operasi Saraf Kejepit Bikin Lumpuh

Ketika seorang pasien diindikasikan untuk menjalani operasi, jangan menunda-nunda. Operasi akan menghilangkan nyeri, mencegah perburukan kondisi, dan memulihkan pasien. Sayangnya, ada pasien yang diindikasikan menjalani operasi namun menolak dengan alasan takut menjadi lumpuh.

Terkait ketakutan tersebut, dr. Omar menjelaskan, memang ada risiko kelumpuhan pada operasi tulang belakang, namun risiko itu kecil sekali, kurang dari 2%. Risiko itu pun bisa semakin diminimalkan dengan prosedur operasi yang benar. Terlebih, saat ini metode operasi tulang belakang semakin canggih.

Baca juga : Atasi Nyeri Pinggang tidak Harus Operasi

“Ada metode endoskopi yang memungkinkan operasi pembebasan saraf kejepit dapat dikerjakan dengan sayatan kecil dan semakin presisi sehingga risiko kelumpuhan bisa dihindari,” papar dr. Omar.

Mitos 4: Setelah Operasi Wajib Bed Rest Lama

Faktanya, operasi pembebasan saraf kejepit dapat dilakukan dengan metode endoskopi yang tidak memerlukan bed rest lama. Sebab, metode ini dilakukan dengan dua sayatan kecil saja, sekitar 1 cm, untuk memasukkan scope (kamera khusus) dan alat operasi khusus. Melalui layar monitor yang tersambung dengan scope, dokter dapat melihat jaringan dalam bagian tulang belakang. Lalu, dengan alat operasi dokter membebaskan bagian saraf yang kejepit.

“Dengan metode endoskopi, karena luka sayatannya kecil, waktu pemulihan pasien jadi lebih cepat. Bahkan, beberapa jam setelah operasi pasien langsung dilatih duduk, lalu berdiri, dan berjalan. Esok harinya pasien bisa pulang dan meneruskan latihan pergerakan di rumah. Pasien bisa  melakukan aktivitas seperti berjalan, bahkan naik tangga,” terang dr. Omar.

Baca juga : Ketahui Penyebab Cerebral Palsy dan Sejumlah Gejalanya

Manfaat signifikan yang dapat segera dirasakan pasien setelah operasi, yaitu terbebas dari nyeri. Khusus untuk pasien yang sebelumnya sudah lama lumpuh, mereka perlu waktu lebih lama untuk bisa berjalan kembali, namun ada juga yang tetap tidak bisa berjalan.

“Sebab, dibandingkan dengan jaringan lain seperti otot, saraf yang rusak sulit untuk pulih. Kerusakan saraf inilah yang bisa terjadi pada pasien yang sebelumnya sudah lumpuh dalam waktu lama,” imbuh dr. Omar. 

Mitos 5: Orang Lanjut Usia tidak Boleh Operasi

Usia pasien bukan satu-satunya penentu boleh tidaknya ia menjalani operasi. Sebelum menjalani operasi, pasien akan menjalani sejumlah pemeriksaan untuk mengetahui fungsi organ-organ vitalnya. Dokter spesialis penyakit akan melakukan pemeriksaan dan mencermati hasil tes laboratorium untuk memastikan kondisi pasien. Lalu, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah akan meminta pasien menjalani pemeriksaan EKG dan mungkin juga tes ekokardiografi untuk memastikan kekuatan pompa jantungnya. Kemudian, dokter spesialis paru juga akan memastikan fungsi parunya.

“Jika semua normal, operasi bisa dilakukan meski usia pasien sudah lanjut,” kata dr. Omar.

Kalaupun ada kondisi yang kurang ideal, misalnya fungsi ginjalnya menurun, pasien mengalami diabetes, tekanan darah tinggi, atau ada asma, pasien akan menjalani pengobatan lebih dulu untuk mengoptimalkan kondisinya sehingga bisa menjalani operasi.

“Sejauh ini, di RSPB, sangat sedikit pasien yang sama sekali tidak bisa dioperasi karena kondisi umumnya tidak bagus. Jadi, untuk pasien lansia jangan khawatir. Tim dokter pasti akan memperhitungkan rasio manfaat dan risiko operasi. Kalau manfaatnya lebih besar daripada risikonya, operasi akan dijalankan. Kalau semua pasien tua dilarang operasi, tentu tidak bijak, terlebih sebagian besar atau sekitar 70% pasien gangguan tulang belakang berusia lebih dari 50 tahun,” pungkas dr. Omar.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eni Kartinah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat