visitaaponce.com

Ikhtiar Menuju Pasar Kopi Spesial

Ikhtiar Menuju Pasar Kopi Spesial
Pekerja membawa kopi jenis arabika di lereng Pegunungan Argopuro Situbondo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.(ANTARA/SENO)

HAMPARAN tanaman kopi yang tumbuh di lahan seluas 1,2 juta hektare menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar di dunia. Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat pada Desember 2023, lokasi dan iklim membuat Indonesia menjadi produsen kopi terbesar ketiga di dunia. Total produksi, termasuk robusta dan arabika, 9,7 juta kantong berukuran 60 kilogram pada tahun pemasaran 2023-2024.

Indonesia juga dikenal memiliki specialty coffee atau kopi spesial yang beragam, tersebar dari Aceh hingga Papua. Yang dimaksud kopi spesial, yakni kopi berkualitas baik dan diolah dengan cara khusus, mulai pengolahan perkebunan hingga menjadi biji mentah. Selain itu, rasa dan karakter kopi memiliki acuan. Kopi dapat dikatakan spesial ketika memiliki nilai cupping test di atas 80 menurut perhitungan Specialty Coffee Association (SCA).

Namun, organisasi nirlaba itu lantas memperluas definisi specialty coffee dengan mendeskripsikan sebagai kopi yang memiliki atribut unik sehingga memiliki nilai lebih di mata pasar.

Sementara itu, Indonesia memiliki organisasi bernama Specialty Coffee Association Indonesia (SCAI) yang menaungi seluruh komunitas kopi di Indonesia berdasarkan prinsip transparansi, keragaman, dan pembelajaran kolektif. Mereka mendorong pertumbuhan kopi spesial sebagai industri yang berkembang dan menguntungkan semua pihak yang terlibat dalam proses tersebut.

Ketua Umum SCAI Daryanto Witarsa menyatakan pasar kopi spesial di Indonesia memang potensial, terlebih untuk kawasan Asia Tenggara. Beberapa jenama kopi luar negeri menyatakan keinginan membuka kedai kopi spesial di Indonesia. Penglihatan mereka, pasar Indonesia akan berkembang dalam beberapa tahun ke depan.

"Indonesia terdepan di Asia Tenggara. Setelah kita ada Thailand untuk konsumsi kopi terbanyak. Semua pemain kopi melihat Indonesia jadi salah satu market di Asia Tenggara. Kalau kami lihat banyak company asing yang mau buka kedai kopi di Indonesia," kata Daryanto di Jakarta, Jumat (1/3).

Adanya peningkatan perekonomian dan pendapatan masyarakat, ucap Daryanto, menjadi salah satu faktor pendorong naiknya tingkat konsumsi kopi spesial. Optimisme itu didasarkan Daryanto pada aktivitas minum kopi yang kini menjadi gaya hidup. Meski tidak dikonsumsi setiap hari, setidaknya masyarakat mengonsumsi kopi minimal sekali dalam seminggu.

"Bakal ada pergantian yang sebelumnya minum kopi saset ke kopi botolan dan kopi spesial. It will takes time, itu habit pasti berubah. Enggak bisa instan," ungkapnya.

 

Terpacu kompetisi 

Bukan hanya penikmatnya yang melejit, petani dan prosesor kopi pun mulai menggeliat meningkatkan kualitas kopi. Daryanto melihat hal tersebut dari Cup of Excellence (COE), ajang kompetisi dengan penghargaan paling bergengsi yang diberikan untuk biji-biji kopi tertentu yang berasal dari negara produsen kopi. Para pemenang COE mulai bervariasi, ketika dimulai di 2021 mayoritas pemenang berasal dari Aceh. Sementara itu, pada 2023/2024, empat pemenang teratas COE berasal dari empat wilayah berbeda, yakni Ijen, Jawa Timur; Wajamala, Nusa Tenggara Timur; Angin-angin, Sulawesi Selatan; dan Aceh Tengah, Aceh.

Keempat kopi tersebut juga mendapatkan skor cupping di atas 90. Artinya, kualitas dan cita rasa keempat kopi tersebut masuk kategori outstanding. Penghargaan COE juga diaudit auditor profesional dalam hal pemilihan biji kopi terbaik.

"Banyak petani di Indonesia Timur yang tahun lalu gagal lalu kesal, marah, tapi lalu mengganti emotion fire into motivasi. Itu yang saya suka, petani itu enggak pernah komplain. Mereka tahu salah di mana dan tahu cara score-nya gimana. Jadi lebih prepare dan bikin kopi lebih bagus," ungkap Daryanto.

Upaya peningkatan kualitas di hulu beriringan dengan munculnya edukasi sekaligus sosialisasi kopi spesial di berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya, Daryanto melakukan perjalanan ke kota-kota di Pulau Kalimantan, yang mayoritas memang bukan penghasil kopi, untuk mengenalkan hingga membuat kompetisi barista.

"Contoh terakhir kami bikin event di Samarinda, Balikpapan, dan Palangka Raya. Kami edukasi tentang cara minum kopi, barista, hingga kompetisi. Ternyata banyak sekali yang tertarik dan pas banget market-nya saat itu milenial," tuturnya.

Selain edukasi, ada acara sensory bootcamp ditujukan individu yang tertarik dengan dunia perkopian. Tujuan awalnya mengenalkan ilmu dasar tentang kopi. Lalu, peserta mengikuti ujian dan yang lulus akan direkrut untuk menjadi juri kompetisi kopi.

"Kompetisi kopi mulai dikenal, mulai didengar. Banyak teman barista yang ingin ikut memajukan kualitas diri dengan mengikuti kompetisi. Nah, kompetisi yang banyak tak sebanding dengan juri maka kami buat sensory bootcamp."

 

Krisis iklim

Senada dengan Daryanto, peningkatan konsumsi kopi di dalam negeri juga disampaikan Co-Founder Anomali Coffee Irvan Helmi. Berdasarkan laporan lembaga permodalan Momentum Works berjudul Coffee in Southeast Asia: Modernising Retail of the Daily Beverage, Indonesia berada di urutan pertama di pasar kopi modern di Asia Tenggara pada 2023. Angkanya mencapai US$947 juta jika dikalkulasikan dari nilai omzet tahunan (annual turnover) dari pasar kopi modern di Indonesia. Sementara itu, dalam studi lain yang dilakukan Snapcart terhadap 4.538 responden pada 2023, dihasilkan data 79% masyarakat Indonesia ialah peminum kopi.

Peningkatan penikmat kopi rupanya bertalian dengan munculnya tantangan berupa perubahan iklim, yang diprediksi memengaruhi produksi kopi arabika. Dalam jangka panjang, kondisi krisis iklim akan memengaruhi pergeseran daerah sentra produksi kopi dan kesesuaian lahan. Robusta bisa tumbuh di dataran rendah, yakni kurang dari 400 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sementara itu, arabika hidup di tanah dengan ketinggian di atas 750 mdpl.

Dengan terjadinya peningkatan suhu, kopi arabika bisa saja terancam dan ketersediaannya semakin sedikit. Dalam laporan penelitian berjudul Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi Kopi di Indonesia oleh Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2023, menyebutkan iklim sangat memengaruhi sektor pertanian, termasuk tanaman kopi.

Daerah-daerah yang semula menjadi sentra produsen arabika, seperti di wilayah Aceh, Sumatra Utara, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan, akan mengalami penurunan produksi. Karena itu, butuh adanya intervensi yang serius pada sisi hulu untuk menyikapi produktivitas kopi.

“Karena enggak lucu sih, kalau enggak ada yang mikirin soal produktivitas kopi, terus kitanya asyik-asyik jualan doang. Kopinya enggak ada, akhirnya terpaksa untuk impor kopi,” ungkap Irvan. (Jek/M-3)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat