visitaaponce.com

Tapera Disebut Lebih Untungkan Pemerintah daripada Pekerja dan Pelaku Usaha

Tapera Disebut Lebih Untungkan Pemerintah daripada Pekerja dan Pelaku Usaha
Pekerja membangun rumah di salah satu kompleks perumahan subsidi di Rangkasbitung, Lebak, Banten, Jumat (20/11/2023). Badan Pengelola Tabung(ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

DIREKTUR Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda mengungkapkan bahwa Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dinilai akan lebih menguntungkan pihak pemerintah dibanding para pelaku usaha dan pekerja.

Menurutnya, permaslahan Tapera ini mencuat setelah Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.

Pasalnya, kebijakan tersebut dianggap memberatkan pekerja yang harus diwajibkan ikut dalam kepesertaan Tapera. Iuran kepesertaannya pun cukup besar dengan penghitungan persentase dari gaji atau upah.

Baca juga : BP Tapera Ungkap Kembalikan Rp4,2 Triliun ke Pensiunan PNS

"Jika pekerja berpendapatan di atas UMR, maka setiap bulan gajinya dipotong 2,5 persen. Di tengah pelemahan ekonomi dan daya beli masyarakat, tentu potongan tersebut sangat memberatkan. Wajar terdapat penolakan dari dunia usaha hingga asosiasi driver ojek online," ujarnya dikutip melalui keterangannya pada Selasa (4/6).

CELIOS sendiri merupakan lembaga riset yang bergerak pada lingkup analisis makro-ekonomi, kebijakan publik, ekonomi berkelanjutan dan ekonomi digital.

Sebagai lembaga riset ekonomi dan kebijakan publik, CELIOS pun meluncurkan Policy Brief berjudul 'Tapera untuk Siapa? Menghitung Untung Rugi Kebijakan Tapera'.

Baca juga : Wapres Minta Orang Asli Papua Dilibatkan dalam Penyusunan Rencana Pembangunan

Huda menyampaikan bahwa kebijakan Tapera berdasarkan hasil simulasi ekonomi menyebabkan penurunan PDB sebesar Rp1,21 triliun, yang menunjukkan dampak negatif pada keseluruhan output ekonomi nasional.

"Perhitungan menggunakan model Input-Output juga menunjukkan surplus keuntungan dunia usaha turut mengalami penurunan sebesar Rp1,03 triliun dan pendapatan pekerja turut terdampak, dengan kontraksi sebesar Rp200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat juga berkurang dan menurunkan permintaan berbagai jenis sektor usaha," ungkapnya.

Huda pun mencermati dampak selama kebijakan Tapera berjalan, masalah backlog perumahan juga belum dapat diatasi. Bahkan jika ditarik lebih jauh ke model Taperum, masalah backlog perumahan ini masih belum terselesaikan.

Baca juga : Terima Salinan, KPU bakal Bahas Putusan MA dengan DPR dan Pemerintah

"Adapun alasan backlog sempat alami penurunan lebih disebabkan oleh perubahan gaya anak muda yang memilih tidak tinggal di hunian permanen atau berpindah-pindah dari satu rumah sewa ke rumah lainnya," jelas Huda.

Sementara itu Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan bahwa efek paling signifikan terlihat pada pengurangan tenaga kerja, di mana kebijakan ini dapat menyebabkan hilangnya 466,83 ribu pekerjaan.

"Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan iuran wajib Tapera berdampak negatif pada lapangan kerja, karena terjadi pengurangan konsumsi dan investasi oleh perusahaan. Meskipun ada sedikit peningkatan dalam penerimaan negara bersih sebesar Rp20 miliar, jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang terjadi di sektor-sektor lain," imbuh Bhima.

Baca juga : Tidak Ada Jaminan Tapera Bisa Berjalan Baik

Sebagai informasi, dalam policy brief yang diterbitkan oleh CELIOS, terdapat setidaknya 7 rekomendasi untuk perbaikan Tapera antara lain pertama, melakukan perubahan agar tabungan Tapera hanya diperuntukkan untuk ASN, TNI/Polri, sedangkan pekerja formal dan mandiri bersifat sukarela.

Kedua, mendorong transparansi pengelolaan dana Tapera termasuk asesmen imbal hasil (yield) dari tiap instrumen penempatan dana. Ketiga, memperkuat tata kelola dana Tapera dengan pelibatan aktif KPK, dan BPK.

Keempat, meningkatkan daya beli masyarakat agar kenaikan harga rumah bisa di imbangi dengan naiknya pendapatan rata-rata kelas menengah dan bawah.

Kelima, mengendalikan spekulasi tanah yang menjadi dasar kenaikan ekstrem harga hunian. Keenam, menurunkan tingkat suku bunga KPR baik fixed (tetap) maupun floating (mengambang) dengan efisiensi NIM perbankan dan intervensi kebijakan moneter Bank Indonesia.

Ketujuh, memprioritaskan dana APBN untuk perumahan rakyat dibandingkan mega-proyek yang berdampak kecil terhadap ketersediaan hunian seperti proyek IKN. (Fal)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Reynaldi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat