visitaaponce.com

Jalan ke Bandung Tengok Saung Angklung Udjo

Jalan ke Bandung Tengok Saung Angklung Udjo
.(ANTARA/Raisan Al Farisi)

KOTA Bandung bukan hanya menjadi salah satu kota utama tujuan MICE di Indonesia tetapi juga menjadi tonggak penyelenggaraan kegiatan MICE di Tanah Air. Bandung telah mencatatkan sejarah sebagai tuan rumah Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 sekaligus menjadikannya kota pertama di Tanah Air yang sanggup menghelat kegiatan MICE berskala internasional.

Ada cerita menarik dalam perhelatan itu. Angklung menjadi atraksi utama yang dimainkan oleh Presiden Soekarno dan para pemimpin negara-negara di Asia dan Afrika. Kegiatan tersebut bukan saja berhasil memikat para pemimpin dunia yang hadir saat itu tetapi juga mempromosikan alat musik tradisional Indonesia ke dunia. Kini setidaknya ada 42 negara di dunia yang mengenalkan permainan angklung, bahkan di Korea Selatan angklung telah dikenalkan sejak masih sekolah dasar.

Saat itu, guru dari Udjo Ngalagena (pendiri Saung Angklung Udjo), Daeng Soetigna, terjun langsung memperkenalkan angklung kepada seluruh delegasi negara peserta Konferensi Asia-Afrika. Ia memimpin para pemimpin dunia dengan menjadi dirigen permainan angklung.Pada momen bersejarah itu, angklung menyatukan para pemimpin negara peserta dan menciptakan perdamaian melalui kerja sama yang kompak. Momen tersebut kemudian dikenal sebagai pertunjukan angklung yang pertama kali mendunia dan menorehkan nama Daeng Soetigna yang tak terpisahkan dari Konferensi Asia-Afrika.

Kata angklung berasal dari bahasa Sunda yaitu angkleung-angkleungan alias gerakan pemain angklung serta dari suara klung yang dihasilkan instrumen bambu ini. Angklung sebenarnya merupakan pengembangan alat musik calung, yaitu tabung bambu yang dipukul. Angklung merupakan tabung bambu yang digoyang sehingga menghasilkan hanya satu nada untuk setiap instrumennya. Mengingat angklung hanya bernada pentatonis (da mi na ti la), dibutuhkan puluhan orang untuk memainkan angklung agar terdengar harmonis. Kini dengan teknik tertentu bisa dimainkan oleh beberapa orang saja.

Pada 1938 Daeng Soetigna memodifikasi suara angklung menjadi diatonis (do re me fa so la ti). Sejak saat itu angklung mulai dikenal dan menemukan momentumnya saat ditampilkan dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Angklung terdiri dari 2 hingga 4 tabung bambu yang dirangkai menjadi satu dengan tali rotan. Tabung bambu dikuir detail dan dipotong sedemikian rupa oleh perajin angklung untuk menghasilkan nada tertentu ketika bingkai bambu digoyang. Setiap angklung menghasilkan nada atau akord yang berbeda sehingga beberapa pemain harus bekerja sama untuk menghasilkan melodi yang indah.

Angklung kini lebih sering ditampilkan dalam bentuk orkestra dan semakin banyak dibina di banyak sekolah. Salah satunya berkat peran Saung Angklung Udjo (SAU). SAU merupakan tempat seni angklung berkembang dengan dinamis dan memukau dunia. Tidak hanya memainkan musik instrumen tradisional tetapi juga memainkan lagu-lagu modern yang populer. Di sini pengunjung dapat menonton pertunjukan kesenian tradisional Sunda sekaligus belajar lebih banyak tentang angklung.

Saung Angklung Udjo (SAU) merupakan sanggar tempat pertunjukan seni tradisional, laboratorium pendidikan, sekaligus sebagai atraksi budaya khas Jawa Barat. Tempat ini mengandalkan semangat gotong royong antarwarganya. SAU merupakan contoh sanggar seni berhasil bertransformasi membina kekayaan budaya lokal sehingga bukan hanya bertahan dari desakan arus globalisasi tetapi juga menjadi daya tarik wisata yang memikat. Di SAU, pengunjung dapat merasakan kesegaran alam, kicauan burung, dan kegembiraan anak-anak dalam pementasan angklung.

Para pengunjung harus merasakan suara angklung digoyang dengan tangan sendiri karena alat musik ini menebar bunyi indah yang khas sekaligus menebarkan kebahagiaan. Saat ada gerakan, angklung menebar berjuta harmoni yang menyatu dalam suasana riang. Alunan rumpun bambu Saung Angklung Udjo berhasil menjadi representasi sketsa keindahan dan keceriaan bumi Tatar Sunda.

Selain sebagai alat musik tradisional, angklung juga melambangkan kehidupan manusia yang tidak dapat berdiri tetapi saling membutuhkan. Tabung besar dan kecil dari deretan bambu ini menggambarkan perkembangan kehidupan manusia. Tabung bambu kecil menggambarkan bahwa setiap orang memiliki impian dan keinginan untuk menjadi orang besar yang dilambangkan dengan tabung besar. Ketika angklung digoyangkan, semua tabung menciptakan harmoni yang menggambarkan kehidupan sebagaimana seharusnya.

Di Saung Angklung Udjo, kesenian angklung dikemas dengan sangat menarik oleh Udjo Ngalagena (alm) yang akrab dengan panggilan Mang Udjo dan istrinya, Uum Sumiati. Mang Udjo dikenal sebagai pembuat angklung sejak 1966. Udjo Ngalagena bersama istrinya belajar pada Daeng Soetigna mendirikan padepokan seni Saung Angklung Udjo, Sundanese Art & Bamboo Craft Center pada 1967. Saung Angklung Mang Udjo berusaha mewujudkan cita-cita dan harapan mendiang Mang Udjo yang atas kiprahnya mengenalkan musik angklung hingga dijuluki sebagai legenda angklung. Saung Angklung Udjo selain sebagai pusat seni angklung di Indonesia juga telah lama menjadi tujuan kegiatan MICE di Bandung.

Telah banyak rombongan perusahaan, organisasi, maupun pemerintah memasukkannya dalam agenda kunjungan mereka saat ke Bandung. Bahkan Saung Angklung Udjo menyediakan tempat untuk menyelenggarakan acara dalam jumlah besar. Lokasi tersebut berada di bagian belakang panggung pertunjukan yang biasa menampilkan kesenian khas Jawa Barat. Tempatnya berupa ruang terbuka yang sering dijadikan tempat berkumpulnya berbagai kegiatan, termasuk gathering korporat.

Saung Angklung Udjo berlokasi di Jalan Padasuka 118 Bandung merupakan sanggar seni, laboratorium pendidikan, sekaligus sebagai objek wisata budaya Sunda khas Jawa Barat. Saung Angklung Udjo dapat diibaratkan oase kebudayaan di tengah perkampungan padat, di atas tanah seluas 1,2 hektare. Karcis masuk SAU seharga Rp50 ribu per orang. Harga itu sudah termasuk suvenir berupa kalung berbandul angklung, brosur, dan minuman gratis. Pertunjukan Bambu Petang merupakan mahakarya Udjo Ngalagena yang masih dapat kita apresiasi hingga kini, dipentaskan setiap hari mulai pukul 15.30 WIB.

Sebelumnya pengunjung dapat berkeliling SAU. Di bagian belakang panggung terdapat semacam gudang tempat menyimpan angklung. Pengunjung dapat melihat persiapan pementasan angklung ketika seorang ibu sedang mendandani anak-anak kecil mengenakan kebaya. Keceriaan anak-anak adalah ruh Saung Angklung Udjo. Sejak 1966 proses regenerasi seni tradisi dilakukan dengan cara bermain sambil belajar. Di setiap sudut, senyuman, dan sapaan anak-anak akan menemani pengunjung berkenalan dengan budaya khas Sunda.

Amati pula di sini terdapat tempat produksi angklung sebagai pusat produksi angklung di Indonesia. SAU merupakan tempat untuk melihat dan belajar tentang sebatang bambu menjadi melodi yang merdu. Kenali dan ketahui proses khazanah kearifan lokal sebagai bagian dari upaya melestarikan budaya tradisi leluhur.

Dari loket karcis, pengunjung akan memasuki ruangan berupa toko suvenir. Toko Cenderamata Saung Angklung Udjo memiliki berbagai hasil kriya tangan terampil masyarakat Jawa Barat. Berbagai barang khas Sunda dijual di sini seperti gantungan kunci, kaos, kipas, gelang, sandal, tas, sampai replika angklung. Harganya relatif murah dan pilihannya banyak. (RO/OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat