visitaaponce.com

2 Bahasa di Alor Terancam Punah

2 Bahasa di Alor Terancam Punah
Sebuah bubu atau alat penangkap ikan yang ditempatkan di dasar laut di Perairan Pulau Pura, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur(Ilustrasi)

KEPALA Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggaa Timur, Syaiful Bahri Lubis, menyatakan kondisi bahasa di NTT saat ini terancam punah, utamanya dua bahasa di Kabupaten Alor yang dikenal memang memiliki beragam bahasa.

"Dari 72 bahasa daerah di NTT, ada dua bahasa yang menjadi fokus kami tahun depan yakni bahasa Sar dan bahasa kafoa, keduanya terancam punah," kata Syaiful dalam webinar Revitalisasi Bahasa yang Terancam Punah, Rabu (16/12).

Baca juga: Paslon Iwan-Iip Tempuh Jalur Hukum

Ia menjelaskan bahasa Sar merupakan bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Nule, kec. Pantar Timur kab Alor NTT. Saat ini, penuturnya hanya 1.125 jiwa di kampung Nuhawala dan kampung Adiabang. 

"Dengan jumlah penutur sebanyak itu, sudah terkategori terancam punah, bahasa ini juga sudah sedikit digunakan oleh penutur muda," ucapnya.

Bahasa Sar bertetangga dengan bahasa Teiwa di sebelah timurnya dengan perbedaaan bahasa 87,5%. Sementara, di sebelah baratnya bertetangga dengan bahasa Deing yang sementara ini belum mendapatkan data yang perbedaaan. 

"Ini rencana di 2021 akan memverifikasi data status kebahasaan," lanjutnya.

Sedangkan, pada bahasa Kafoa dituturkan masyarakat di sekitar desa Wolwar Barat, Tengah dan Selatan dan di desa Probur di Kec. Alor Barat NTT dengan penutur 1.227 jiwa.

M. Alie Humaedi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menerangkan bahasa ini masuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang memiliki ciri-ciri lebih banyak menggunakan pola urutan diterangkan, menerangkan, penunjuk kepemilikan di depan , pengucapan banyak dengan huruf v atau f dan digunakan komunitas etnik yang berada di perbatasan atar negara bagian timur indonesia.

Menurutnya, bahasa Kafoa digunakan di ranah keluarga 8,9%, ranah ketetanggaan 24,3%, ranah mata pencaharian 21,6%, namun karena di Alor memilki ragam bahasa yang berbeda, masyarakatnya akan menggunakan bahasa Indonesia saat berinteraksi dengan masyarakat wilayah lainnya. 

"Mungkin untuk mendorong bahasa Indonesia di berbagai ranah itu betul berhasil tapi kemudian di dalam penggunaan bahasa sendiri sangat memprihatinkan," ucapnya.

Ia juga mengatakan masyarakat berargumentasi bahwa anak-anak akan kenal dengan bahasa Kafoa dengan sendirinya, tetapi berdasarkan survey yang ia lakukan 2015 silam, kondisi bahasa Kafoa ada pada kondisi serupa.

Menggunakan bahasa Indonesia, menurut Alie, merupakan salah satu faktor pengancam bahasa dan budaya daerah.

"Ada 3 pengancam bahasa dan budaya daerah terancam punah, yakni pertama, kekuatan formal yaitu bahasa nasional, penutur lokal tunduk menggunakan bahsa nasional dalam berbagai ranah kehidupan," kata Alie.

Baca juga: Lapas Klas IIB Argamakmur Tidak Layani Pembezukan

Kedua, lanjutnya faktr bahasa daerah lain sekitar entitas bahasa daerahnya dan ketiga, permasalahan internal para penutur di wilayah penuturnya seperti perkawainan campuran, kurangnya kepercayaan diri dan ketidakmauan.

Menurutnya, jika bahasa dan budaya daerah itu dibiarkan lemah bahkan punah, negara gagal melindungi kekayaan budayanya, sebagaimaa amanat UUD 1945 dan UU no 24 tahun 2009. Kegagalan itu bukan hanya terletak pada faktor negara tetapi pada ketidakkomitmenan dan lemahnya partisipasi masyarakat penuturnya dalam memberdayakan bahasa daerahnya. (OL-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat