visitaaponce.com

Polisi Jerat Pelaku Kekerasan Seksual di Alor dengan UU Perlindungan Anak

Polisi Jerat Pelaku Kekerasan Seksual di Alor dengan UU Perlindungan Anak
Ilustrasi perlindungan anak(DOK.MI)

POLISI menjerat SAS, pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Kapolda NTT Irjen Setyo Budiyanto menegaskan penegakan hukum terhadap kasus tersebut dilakukan secara profesional dan prosedural.

"Pasti kita terapkan UU Perlindungan Anak. Harapan kami dengan dengan pembuktian yang kita sampaikan, hukumanya maksimal," kata Kapolda di Kupang, Senin (12/9).

Sejauh ini, korban kekerasan seksual yang dilakukan SAS, sebanyak 12 anak atau bertambah dari sebelumnya 6 anak berusia antara 13-19 tahun. Saat ini, SAS yang merupakan warga Kota Kupang dan calon pendeta tersebut sudah ditahan di Polres Alor dan ditetapkan sebagai tersangka.

Kasus ini terbongkar sejak 1 September 2022 setelah para korban melapor. Adapun kekerasan seksual diduga dilakukan sejak 2021 sampai Mei 2022.

Meski jumlah korban kini telah 12 orang, Kapolda mengimbau jika masih ada warga yang menjadi korban SAS agar tidak sungkan untuk melapor ke Polres Alor.

"Kalau masih ada keluarga korban dan belum terbuka, silakan melapor untuk melengkapi proses penyelidikan. Kasus ini akan dibuka secara terang benderang tetapi tentu privasi korban tetap dilindungi," kata Irjen Setyo.


Baca juga: Bupati Alor: Kasus Kekerasan Seksual tidak Ada Kaitan dengan GMIT


Sementara itu, pihak Polres bersama para pendeta juga melakukan pendampingan kepada para korban.

Jaringan Antikekerasan Terhadap Perempuan dan Anak NTT mengecam keras sejumlah media yang melanggar kode etik jurnalistik dengan membuka identitas korban kekerasan seksual di Alor ke publik.

"Mengecam keras segala bentuk pemberitaan media yang melanggar kode etik jurnalistik dengan membeberkan identitas korban," tulis Jaringan Antikekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang dikutip dari pernyataan sikap yang dikeluarkan, Rabu (7/9) malam.

Ketua Majelis Sinode GMIT Pendeta Merry Kolimon mengatakan, pihaknya komitmen sungguh-sungguh untuk mengawal kasus ini demi kepentingan terbaik bagi korban.

Komitmen tersebut ditunjukkan dengan menunda dan mempertimbangkan kembali penahbisan pelaku ke dalam jabatan pendeta sambil melakukan penjangkauan kepada para korban.

Saat ini, Majelis Sinode GMIT melakukan pendampingan psikologis dan hukum bagi para korban dan keluarga melalui Rumah Harapan GMIT (RHG).

Menurutnya, pendampingan dan koordinasi ini dimaksudkan untuk membangun persepsi bersama tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendampingan lanjutan untuk korban dan keluarga, serta mempersiapkan korban dan keluarga untuk proses hukum mulai dari penyidikan sampai putusan pengadilan.

"Kami memandang bahwa hal yang diduga terjadi adalah hal yang benar-benar tidak bisa ditolerir. Ini adalah kejahatan yang sangat
melukai harkat dan martabat anak-anak yang menjadi korban," tandasnya. (OL-16)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat