visitaaponce.com

Warga Perdesaan NTT Raup Rp540 Juta Per Bulan dari Kelor

Warga Perdesaan NTT Raup Rp540 Juta Per Bulan dari Kelor
Ketua Dekranasda NTT Julie Laiskodat (jongkok dua kanan)bersama petani yang mempersiapkan daun kelor basah untuk dijual ke sentra produksi.(DOK Dapur Kelor)

PROGRAM Kelorisasi yang digaungkan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat sejak 2018 mulai membuahkan hasil.

Direktur PT Moringa Wira Nusa sekaligus Founder Dapur Kelor NTT, Dudi Krisnadi menyebutkan setiap bulan, daun kelor basah yang dibeli dari masyarakat mencapai 36 ton dengan harga Rp5.000 per kilogram atau total Rp180 juta. Daun kelor tersebut dibeli dari masyarakat yang menanam pohon kelor di halaman rumah mereka maupun kebun budidaya untuk mendukung program kelorisasi tersebut, sedangkan Dapur Kelor tidak memiliki kebun kelor.

Dedi mengatakan, kelor dibeli oleh Babinsa dari masyarakat termasuk 14 petani mitra binaan Dekranasda NTT, kemudian diolah di 36 sentra produksi yang dikelola oleh Kodim dan Koramil tersebar di seluruh  wilayah NTT. Dapur Kelor telah bekerjasama dengan Korem 161 Wirasakti Kupang untuk membeli dan mengolah kelor.

Adapun 36 sentra produksi yang dikelola oleh TNI tersebut, sudah dilengkapi peralatan untuk mengeringkan daun kelor basah menjadi kering dengan suhu tertentu, serta mesin yang mengolah daun kelor kering menjadi serbuk atau tepung.

Menurut Dedi, estimasi total produksi mulai September 2022 mencapai 7,2 ton karena ketika itu seluruh unit sudah terdistribusi mesin pengolah kelor. Sebelumnya, pada Juli 2022, realisasi produksi baru mencapai 3,8 ton.

"Pembagian 7,2 ton raw material daun kelor ini terdiri dari 40% seduhan celup kelor, 35% serbuk premium kelor, 20% botol kapsul kelor, dan 6% produk lainnya," kata Dudi kepada wartawan di Kupang, Sabtu (20/8).

Menurutnya, serbuk kelor hasil produksi kodim dan koramil dibeli oleh dapur kelor untuk dibersihkan ulang dari bakteri menggunakan mesin khusus, setelah dikembalikan lagi ke sentra pengolahan untuk dikemas dalam berbagai produk yang siap dilepas ke pasar.

"Konsepnya untuk pemberdayaan masyarakat, petani hanya mengisi serbuk ke dalam kantong celup dengan kapasitas 1.440.000 kantong dengan upah Rp250 per kantong. Jika diakumulasi, perputaran uang di masyarakat dari kegiatan mengisi serbuk ke kantong ini sebesar Rp360 juta per bulan," ujarnya.

Menurut Dudi, jika diakumulasi, setiap bulan total uang yang beredar di masyarakat dari kegiatan ini mencapai Rp540 juta terdiri dari penjualan daun kelor basah sebesar Rp180 juta dan pendapatan dari mengisi serbuk ke kantong sebesar Rp360 juta.

Dengan gambaran itu, kata dia, program kelorisasi yang digaungkan oleh Gubernur NTT telah membawa dampak positif bagi petani dan para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Kebutuhan Gizi Anak Stunting

Dia menambahkan pada Juli 2022, kelor yang berhasil diproduksi sudah mencapai 3,8 ton kering. Jumlah ini lebih tinggi dari beberapa bulan sebelumnya. Dengan produksi sebesar itu, Dapur Kelor sudah memenuhi kebutuhan gizi bagi 16.000 anak terutama anak-anak stunting.

Karena alasan itulah, saat ini Dapur Kelor belum menjual produknya ke luar negeri. "Kalau kita melakukan ekspor, ada 16.000 orang di luar negeri terpenuhi gizinya, padahal kelor ini diambil dari halaman masyarakat NTT. Kalau ekspor, itu sama artinya kita mengkhianati warga NTT," imbuhnya.

Kelor memiliki kandungan nutrisi yang sangat baik untuk mengatasi masalah malnutrisi atau kekurangan gizi pada balita, ibu hamil dan menyusui, anak-anak pada usia penyapihan dan 1.000 hari pertama kehidupan, termasuk dalam upaya pencegahan dan penanganan stunting. (OL-15)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Widhoroso

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat