visitaaponce.com

Pakar Farmasi Nyatakan Pengawasan Obat dan Makanan belum Optimal

Pakar Farmasi Nyatakan Pengawasan Obat dan Makanan belum Optimal
Sejumlah pakar farmasi dan BPOM berbicara pada seminar yang menyoal obat dan pengawasannya di Kampus Universitas Airlangga, Surabaya.(DOK/UNIVERSITAS AIRLANGGA)

PENGAWASAN obat dan makanan yang saat ini beredar di masyarakat masih belum optimal. Perlu adanya inovasi kebijakan terkaitu hal itu, agar pengawasan dapat diterapkan dengan baik dan terintegrasi.

Kondisi itu diungkapkan Prof Junaidi Khotib, Pakar Farmakologi dan Biofarmasetika Universitas Airlangga.

Dalam Seminar Nasional “Inovasi Kebijakan dalam Menghadapi Tantangan Obat dan Makanan” yang diselenggarakan di ASEEC Tower, Surabaya, itu, dia mengungkapkan saat ini memang sudah ada pengawasan terkait dengan mutu obat dan makanan yang dilakukan kementerian maupun lembaga. Di antaranya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Dinas Kesehatan (Dinkes).

"Namun, perlu adanya inovasi-inovasi kebijakan terkait pengawasan obat dan makanan. Tujuannya, agar pengawasan dapat diterapkan dengan baik dan terintegrasi,” katanya.

Menurut dia, pengawasan obat dan makanan mempunyai dampak yang luar biasa untuk kesehatan maupun keselamatan masyarakat. “Oleh karena itu, satu-satunya upaya adalah melindungi kepentingan masyarakat dengan cara menegakkan pengawasan untuk obat dan makanan."

Prof Junaidi menegaskan bahwa cakupan pengawasan baik secara kualitatif maupun kuantitatif produk kefarmasian di Indonesia sangatlah besar. Untuk itu membutuhkan otoritas yang memadai dalam pengawasan dari pre hingga post market, sehingga dibutuhkan otoritas yang independen.

Menurutnya, otoritas akan berdampak pada pennguatan kapasitas pengawasan obat dan makanan, serta perbekalan farmasi lainnya yang berujung pada keselamatan dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan otoritas yang kuat, berupa payung hukum melalui RUU Pengawasan Obat dan Makanan (POM).

"Seperti halnya Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat yang setingkat dengan Kementerian, European Medicines Agency (EMA) di Eropa, Ministry of Food and Drug Safety (MFDS) di Korea Selatan dan Pharmaceuticals and Medical Devices Agency (PMDA) di Jepang,” ungkap dia.


Kompleks


Pada kesempatan yang sama, Plt Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif, BPOM RI, Togi Junice Hutadjulu menjelaskan betapa kompleksnya tantangan pengawasan obat dan makanan saat ini. Hal itu terjadi seiring dengan peningkatan kebutuhan dan kemudahan akses untuk mendapatkan produk obat dan makanan, serta kemajuan teknologi yang diiringi dengan tingkat literasi masyarakat yang belum memadai.

Ia menilai, belum mandirinya lembaga pengawasan obat dan makanan, serta lemahnya sistem pengawasan obat dan makanan disebabkan oleh lemahnya regulasi, penataan kelembagaan, dan terbatasnya sumber daya pemerintah dalam pengawasan obat dan makanan.

“BPOM terus berupaya meningkatkan pengawasan obat dan makanan, salah satunya dengan menambah loka di daerah-daerah yang berarti juga menambah sumber daya manusia,” ungkapnya.

Togi menilai bahwa perlu adanya penguatan sistem pengawasan obat dan makanan, kemandirian, serta perkuatan kelembagaan ke depannya. "Harapannya agar peran dan tugas fungsi BPOM  sebagai regulator dan pengawas, dapat maksimal dalam melindungi masyarakat dan dunia usaha atau industri dari kejahatan terkait obat dan makanan." (N-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Sugeng

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat