visitaaponce.com

Harga Beras Meroket, Tapi NTT Mengalami Deflasi

Harga Beras Meroket, Tapi NTT Mengalami Deflasi
Bank Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Timur(MI/Palce Amalo)

HARGA beras di Nusa Tenggara Timur (NTT) terus meroket selama 15 bulan terakhir. Beras juga termasuk dalam lima komoditas penyumbang inflasi di daerah itu.

Harga beras di pasar tradisional di Kota Kupang mencapai Rp16.000 per kilogram (kg), namun di kios-kios beras di kelurahan, harga beras telah mencapai Rp18.000 per kg, dan beras bulog dijual Rp11.500 per kg.

Kepala Bank Indonesia Perwakilan NTT Agus Sistyo Widjajati di Kupang, Rabu (3/4) mengatakan, sumbangan beras terhadap inflasi mencapai 0,23%, tertinggi dibandingkan komoditas lainnya seperti telur ayam dan cabai rawit masing-masing 0,05%, pisang 0,04%, dan emas perhiasan 0,03%.

Baca juga : Harga Beras Jadi Penyumbang Inflasi Terbesar di Kota Solo

Beras paling banyak menyumbang inflasi di NTT. Selama kurun 15 bulam tersebut, sumbangan beras terhadap inflasi sebanyak sembilan kali, angkutan udara menyumbang inflasi sebanyak tujuh kali, cabai rawit enam kali, kangkung lima kali dan ikan tembang empat kali.

Akan tetapi pada Maret 2024, lanjutnya, NTT mengalami deflasi sebesar 0,14%. 

"Jadi polanya ini berbeda dengan pola tahun-tahun sebelumnya. kalau di Februari 2024 NTT deflasi (-0,66%), kemudian di Maret deflasi lagi," ujarnya kepada wartawan.

Baca juga : Harga Beras di Padang Panjang Masih Tinggi

Dalam acara buka puasa bersama di Kantor BI Perwakilan NTT, Selasa (2/4) petang yang juga dihadiri Deputi Kepala Perwakilan BI NTT Didiet Aditya Budi Prabowo dan Kepala Seksi Kehumasan BI NTT Rifky Hanif, Agus menjelaskan, deflasi NTT Maret 2024 nomor empat terendah dari 38 provinsi, padahal NTT biasanya daerah ini selalu mengalami inflasi paling tinggi dibandingkan nasional.

Kondisi ini terjadi lantaran survei terhadap harga-harga barang yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) di lima kota di NTT mencapai ribuan komoditas. Hasilnya, harga sebagian besar komoditas yang disurvei tersebut mengalami penurunan.

Tidak hanya beras, ada beberapa komoditas juga mendorong deflasi yakni ikan tembang 0,12%, tomat 0,11%, angkutan udara 0,06%, daging babi 0,05%, dan daging ayam ras 0,05%.

Baca juga : Bank Indonesia dan TPID Kolaborasi Kendalikan Inflasi Pangan

"Jadi deflasi karena ada barang-barang yang disurvei itu mengalami penurunan, akhirnya dihitung maka harga-harga secara umum di masyarakat mengalami penurunan 0,14%, tetapi harga beras tetap naik," kata Agus Sistyo Widjajati.

Beras Selalu jadi Penyumbang Inflasi

Adapun beras selalu menjadi komoditas utama penyumbang inflasi disebabkan antara lain produksi beras di daerah ini jauh di bawah kebutuhan beras 117,19 kilogram per kapita per tahun atau 54,39 ribu ton per tahun untuk 5,57 juta penduduk.

Sebaliknya, pada Triwulan I 2024 produksi beras di NTT hanya mencakup 23% dari kebutuhan beras, sehingga terjadi defisit beras sebanyak 125,39 ribu ton.

Baca juga : BI NTT Kendalikan Inflasi Lewat Pasar Murah

Defisit beras itu dipenuhi dengan mendatangkan beras dari luar daerah sebanyak 70% dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan serta Vietnam dan Thailand, dan pengadaan bulog sebesar 7%. 

"Jawa Timur merupakan distributor utama beras demestik di NTT dengan pangsa pasar 52% dan Vietnam merupakan distributor utama beras impor NTT dengan pangsa pasar sebesar 59%," jelas Agus Sistyo Widjajati.

Produksi beras di NTT tidak memenuhi kebutuhan warga sebesar produktivitas lahan pertanain hanya sebesar 4,15 ton per hektare, dibandingkan dengan produktivitas beras di Bali sebesar 6,2 ton per hektare, di Jawa Timur sebesar 5,7 ton per hektare, atau rata-rata produksi beras di Indonesia 5,29 ton per hektare.

Baca juga : BI dan Pemprov NTT Perkuat Inovasi Pertanian Atasi Inflasi Pangan

Sedangkan peran Bank Indonesia terkait lonjakan harga beras yakni dalam jangka pendek menggelar operasi pasar, kemudian dalam jangka menengah meningkatkan produktivitas pertanian minimal 5 ton per hektare.

"Kita butuh effort karena kita lihat budaya (petani) menanam ternyata mengikuti kebiasaan, kita cek kebanyakan menanam bukan dijual tapi untuk kebutuhannya sendiri. Makanya, di desa-desa tidak merasa kelaparan karena bisa makan jagung, tapi yang tak biasa, dia terpaksa tetap beli beras," tandasnya. 

Untuk jangka panjang, tambahnya, Bank Indonesia  melakukan peningkatan produktivitas pertanian melalui smart farming.  (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat