visitaaponce.com

Jalan Terang Keadilan Restoratif

Jalan Terang Keadilan Restoratif
Ahsan Jamet Hamidi & Carolina Martha Sumampouw(dok.pribadi)

TAHUN 2011, dalam proses produksi film 'Arwah Goyang Karawang’, Julia Perez dan Dewi Persik terlibat aksi cakar-cakaran di lokasi syuting. Atas kasus ini, keduanya berurusan dengan hukum. Melalui proses persidangan panjang, Julia dijatuhi hukuman tiga bulan penjara dan masa percobaan enam bulan. Dewi divonis dua bulan penjara dan empat bulan masa percobaan. Kejaksaan Negeri Jakarta Timur mengeksekusi, meski keduanya telah berdamai secara tertulis dan lisan. 

Mengapa harus menghuni penjara ketika mereka sebetulnya sudah berdamai? Di penjara yang saat ini disebut Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Negara harus memenuhi kebutuhan tempat tinggal, makan, minum, biaya kesehatan, pembinaan dan pemulihan mental, pembekalan kekaryaan dan sebagainya. 

Ada pilihan jenis hukuman lain yang sebetulnya mampu menjerakan keduanya. Misalnya, pidana bersyarat atau biasa disebut pidana percobaan sesuai Pasal 14 (a) dan (c) KUHP dimana Hakim menetapkan bahwa pidana penjara dapat tidak dijalani asalkan terpidana bersyarat menjalankan syarat-syarat khusus tertentu yang ditetapkan oleh Hakim. 

Baca juga : John Irfan Kenway Dijebloskan ke Lapas Sukamiskin Terkait Korupsi Pengadaan Helikopter

Misalnya, selama menjalani hukuman, terpidana bersyarat bisa bekerja di Panti Jompo yang dikelola Dinas Sosial. Jenis pidana ini sebetulnya memang sudah diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini dan sudah direvisi dengan KUHP 2023 yang akan mulai berlaku pada tahun 2026. Pada Pasal 75 KUHP 2023 telah diatur mengenai pidana pengawasan untuk tindak pidana di bawah 5 (lima) tahun. Namun, diperlukan adanya komitmen dan perubahan paradigma dari aparat penegak hukum. Ada alternatif lain selain pidana penjara, yaitu dengan pidana pengawasan. 

Secara teknis, tentunya perlu ada koordinasi antar pihak terkait; mulai dari Kejaksaan dalam menetapkan tuntutan hukuman, Hakim ketika menjatuhkan pidana pengawasan beserta syarat-syarat khusus tertentu yang harus dijalani oleh terpidana. Pemasyarakatan berperan penting dalam pembimbingan. Dinas Sosial dalam menentukan jenis pekerjaan yang tepat untuk para terpidana. Mereka bisa saling berkoordinasi untuk melakukan pengawasan kepada terpidana yang menjalani pidana pengawasan. 

Tantangan Pidana Pemenjaraan

Baca juga : Pengertian Restorative Justice, Dasar Hukum, Syarat, dan Penerapannya

Saat ini, kita menghadapi tantangan penataan sistem peradilan pidana. Umumnya, hukuman bertumpu pada pemenjaraan. Salah satu implikasinya, terjadi ledakan penghuni di Lapas dan Rutan. Cita-cita yang ingin menjadikan Lapas sebagai sarana pemulihan bagi para warga binaan pemasyarakatan agar bisa diterima kembali oleh masyarakat, sulit terwujud. 

Menurut catatan Ditjen Pemasyarakatan, hingga bulan Mei 2024 ini, ada 228.204 jumlah warga binaan yang tersebar di 301 Lapas dan 161 Rutan yang daya tampungnya hanya untuk 128.656 penghuni. Ada kelebihan kapasitas hingga 77% (#).

Ketika warga binaan pemasyarakatan mendapat pembinaan dan pembimbingan secara tepat, maka mereka bisa mengakui kesalahannya dan terbuka kesempatan untuk memperbaiki hubungan baik dengan korban. Harapannya, ketika nanti keluar dari Lapas, maka korban, keluarga dan komunitas yang dulu terdampak itu bisa menerima kehadirannya di masyarakat. 

Baca juga : Kerja Sama Hukum di Lingkungan Hidup Diperkuat. Ada Apa?

Jalan Terang

Membangun terobosan terhadap sistem hukum pidana terutama yang memperhatikan kepentingan korban itu terus dilakukan. Salah satunya penerapan pendekatan keadilan restoratif. Yaitu penanganan tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkena dampak dari terjadinya tindak pidana untuk bersama-sama mencari ’jalan keluar’ yang adil dengan menekankan pada upaya pemulihan kembali hubungan pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. 

Di satu sisi, ada proses pemulihan bagi terpidana untuk memperbaiki diri dan terjadi hubungan baik di dalam proses reintegrasi sosial ketika menjalani kembali kehidupan bermasyarakat ke depannya. Di sisi lain, harus ada proses untuk memperhatikan kepentingan dan hak-hak korban. Para korban perlu pendampingan dalam menjalani proses pemulihan untuk ”bangkit” dari trauma yang dialaminya. Termasuk ada perhitungan dan penggantian kerugian materiil maupun immateriil dari korban.

Baca juga : Restorative Justice dalam Pemberantasan Tipikor

Jalan panjang untuk mewujudkan harapan itu mulai terang. Beberapa pilar utama lembaga penegak hukum telah membuat kebijakan yang berlaku secara internal dengan semangat keadilan restoratif. 

Pada konteks masyarakat, temuan dari survei nasional terhadap 1.220 responden yang dilakukan Bappenas dengan Kriminologi UI pada tahun 2023 atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) dan The Asia Foundation (TAF) menunjukkan angka penerimaan masyarakat Indonesia terhadap keadilan restoratif adalah 5,983 (dengan skala 1 untuk yang belum menerima penerapan keadilan restoratif s.d. 10 untuk penerimaan penuh keadilan restoratif). Temuan ini merupakan peluang dimana masyarakat sudah memiliki kecenderungan menerima penerapan keadilan restoratif di Indonesia. 

Jalan itu semakin benderang ketika ada kerjasama antara LBH Makassar dengan Pemerintah Kota Makassar atas dukungan TAF dan AIPJ2 menghasilkan Peraturan Walikota Makassar (Perwalkot) Nomor 91 Tahun 2023 tentang Layanan Pendukung Penerapan Keadilan Restoratif di Daerah. 

Kebijakan ini mengupayakan adanya sinergitas dan koordinasi perangkat kedinasan dan penegak hukum di daerah untuk menyediakan berbagai layanan seperti layanan mediasi, konseling, rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dalam penyelesaian permasalahan hukum. Keterlibatan Pemerintah Daerah sangat penting karena ketersediaan layanan pendukung menentukan keberhasilan dari keadilan restoratif.

Terobosan lainnya muncul di Mahkamah Agung yang telah menetapkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. Dengan peraturan ini, hakim bisa menerapkan prinsip keadilan restoratif secara selektif dengan memenuhi prasyarat terperinci. 

Prasyarat Perdamaian

Ada kekhawatiran dari beberapa pihak bahwa penggunaan prinsip keadilan restoratif berakibat adanya ’pendamaian’ secara paksa. Kekhawatiran sebagian orang itu bisa dimaklumi, namun perlu diketahui, bahwa proses penanganan tindak pidana dengan penerapan keadilan restoratif, hanya bisa dilakukan dengan berbagai syarat ketat. 

Adapun beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dan wajib melibatkan pelaku dan korban dalam keseluruhan proses, antara lain: pelaku sebagai tersangka, belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Pelaku menyadari kesalahannya, meminta maaf kepada korban dan memenuhi janji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Korban, dengan tanpa tekanan, benar-benar bersedia memberikan pemaafan, menerima ganti kerugian dan akan mendapatkan layanan bagi kebutuhan psikososialnya. Perdamaian dimungkinkan untuk tindak pidana yang ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun dan kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). 

Proses perdamaian harus dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi serta berorientasi kepada kepentingan dan hak-hak korban sesuai dengan prinsip keadilan restoratif. Keseluruhan proses tersebut bisa dilakukan dengan pertimbangan sosiologis dan mendapat dukungan positif dari warga masyarakat. 

Perwalkot Nomor 91 Tahun 2023 dan Perma Nomor 1 Tahun 2024 patut diapresiasi. Kedua kebijakan ini menjadi landasan hukum yang penting bagi aparat penegak hukum dan perangkat daerah untuk bekerjasama dan saling mendukung. Dalam praktiknya, semua pihak harus turut mengawal dan tentunya memperhatikan kepentingan para pihak terkait. Secara bersamaan, edukasi publik tentang prinsip-prinsip keadilan restoratif dan kepastian hukum dalam menjaga prasyarat perdamaian juga perlu ditingkatkan. 

Sejak kasus Julia dan Dewi mendapat sorotan, banyak kasus lain yang terus bergulir di tengah masyarakat yang juga membutuhkan ruang dialog yang berkeadilan tanpa menghambat proses ganti rugi dan pemulihan korban. Koordinasi intens antara lembaga penegak hukum dan unit kedinasan di dalam struktur pemerintah kota adalah keniscayaan. (P-5)

Ahsan Jamet Hamidi dan Carolina Martha S adalah Law and Justice Program Officer, The Asia Foundation, Indonesia

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat