BKKBN Sebut NTT Gagal Menikmati Bonus Demografi
KEPALA Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Nusa Tenggara Timur (NTT) Dadi Ahmad Roswandi menyebutkan rasio ketergantungan penduduk usia produktif terhadap non produktif di daerah ini masih tinggi yakni sebesar 55,66%. Hal itu membuat NTT gagal menikmati bonus demografi.
Data itu sesuai dengan hasil Long Form Sensus Penduduk (SP) 2020, yang mengakibatkan NTT tidak dapat menikmati bonus demografi. Bonus demografi Indonesia diperkirakan mencapai puncaknya mulai 2020 sampai 2025.
Menurutnya, penurunan fertilitas (kelahiran) menjadi penentu penting untuk tercapainya bonus demografi, karena dengan menurunnya kelahiran mengakibatkan proporsi penduduk usia anak atau usia 0–14 tahun ikut menurun.
Baca juga : Menaker Ida Ajak Semua Pihak Respons Bonus Demografi
"Penurunan fertilitas yang konstan dalam waktu yang lama akan memperkecil rasio ketergantungan penduduk produktif terhadap penduduk non produktif (usia 0-14 tahun dan 65+)," kata Dadi Ahmad Roswandi saat menyampaikan sambutan pada Rapat Kerja Daerah Program Bangga Kencana BKKBN NTT di Kupang, Rabu (3/4).
Rapat dihadiri Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Bonifasius Prasetya Ichtiarto, Sekda NTT Kosmas Lana, dan kepala OPD keluarga berencana dari kabupaten dan kota se-NTT, membahas antara lain program dan percepatan penurunan stunting, TFR yang masih tinggi, dan masih tingginya warga yang belum terlayani keluarga berencana.
Angka Kelahiran Masih Tinggi
Sesuai hasil Long Form SP 2020 tersebut, tambah Dadi, angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) NTT memang telah mengalami penurunan menjadi 2,79 anak per wanita usia subur. Turun dari sebelumnya 3,8 anak per wanita usia subur atau pada SP 2010. Sedangkan hasil pemutakhiran data pada 2023, TFR NTT telah turun ke angka 2,71 anak per wanita usia subur.
Baca juga : Puncak Bonus Demografi Indonesia Terjadi pada 2020
Kondisi ini menunjukkan adanya tren penurunan, Akan tetapi, angka tersebut masih tinggi jika dibandingkan TFR nasional sebesar 2,1.
"Kita droping alat kontrasepsi dan juga peningkatan kapasitas dari bidan dan dokter, sehingga masyarakat merasa nyaman dilayani oleh tenaga terlatih, juga advokasi tokoh agama dan tokoh adat karena jumlah ada per keluarga masih ada 4 sampai 5 orang, kita dorong 2 sampai 3 anak," kata Dadi Ahmad Roswandi.
Selain itu, lanjutnya, kebutuhan KB yang tidak terpenuhi mencapai 25,3% dari target 26,85%, persentase pemakaian kontrasepsi modern (mCPR) mencapai 41,53% dari target sebesar 51,78%.
Baca juga : Pengertian Bonus Demografi serta Dampak Positif dan Negatif
"Pencapaian ini masih jauh dari yang ditargetkan, namun perlu kami laporkan bahwa mCPR NTT didominasi oleh peserta KB MKJP (metode kontrasepsi jangka panjang) bahkan NTT menempati capaian MKJP tertinggi se Indonesia," katanya.
Data lainnya menyebutkan, angka kelahiran usia remaja usia 15-19 tahun mencapai 19,8% dari target 16 kelahiran per 1000 remaja 15-19 tahun. Indikator Pembangunan Keluarga (iBangga) yang diukur menurut 3 aspek yaitu ketentraman, kemandirian dan kebahagiaan keluarga yang menggambarkan peran dan fungsi keluarga Provinsi NTT telah melewati target mencapai 57,69 dari target 56,29.
Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Bonifasius Prasetya Ichtiarto mengatakan untuk mencapai bonus demografi, salah satu cara yang dilakukan ialah mengendalikan kelahiran. "Kalau tidak bisa mengendalikan kelahiran, artinya anak-anak yang ditanggung tidak terlalu banyak," ujarnya.
Baca juga : Disparitas Kuantitas dan Kualitas Penduduk Mengancam Bonus Demografi
Langkah lainnya yakni mempertahankan usia produktif agar tetap ada di NTT atau tidak migrasi ke luar daerah dengan cara menciptakan lapangan pekerjaan, serta meningkatkan skil, pemahamanan dan kesehatan para usia produktif agar mereka memiliki kemampuan yang cocok dengan lapangan pekerjaannya maupun lapangan pekerjaan yang akan diciptakan.
Adapun Sekda NTT Kosmas Lana menyebutkan NTT kurang menikmati bonnus demografi karena sesuai data Badan Pusat Statistik tingkat pendidikan usia produktif rata-rata Sekolah Menengah Pertama (SMP). "Mudah-mudahan akan ada perbaikan data (usia produktif dan tingkat pendidikan) termasuk data publikasi resmi oleh BPS," katanya.
(Z-9)
Terkini Lainnya
Angka Kelahiran Masih Tinggi
Jokowi: Kesehatan Menjadi Fundamen, Peluang Indonesia Meraih Peluang untuk Menjadi Negara Maju
Generasi Digital dan Bonus Demografi
Menaker Ida Ajak Semua Pihak Respons Bonus Demografi
Layanan Kesehatan Primer harus Fokus Jaga Masyarakat Sehat, bukan Mengobati Orang Sakit
Pesta Demokrasi di Tengah Bonus Demografi, Kesempatan Pemuda Jadi Aktor Utama
Arus Balik, Urbanisasi, dan Nasib Penduduk Perdesaan
12 Negara Terkecil di Dunia, Vatikan Berpenduduk Paling Sedikit
Angka Kesuburan di Indonesia Menurun, Pengaruhi Pertumbuhan Penduduk
Warga Jakarta Terkena Penonaktifan NIK Diizinkan Aktivasi Ulang, tapi Rumah Tinggalnya Harus Disurvei
Mengenal Penyakit Parkinson: Harapan dan Tatalaksana di Masa Depan
Pilpres 2024 Selesai, Semoga tidak Seperti Firaun
Kota (dalam) Plastik
Kartini dan Emansipasi bagi PRT
Menakar Kebutuhan Pendanaan untuk Pilpres 2024 Putaran Kedua
Arus Balik, Urbanisasi, dan Nasib Penduduk Perdesaan
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Gerakan Green Movement Sabuk Hijau Nusantara Tanam 10 Ribu Pohon di IKN
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap