visitaaponce.com

Pussy Riot dan Momentum yang Hilang

Pussy Riot dan Momentum yang Hilang
(news.sky.com)

MENYALAHKAN Pussy Riot atas kekalahan Kroasia dari Prancis memang sangat berlebihan. Namun menyebut 'ini cuma sekadar permainan' di sebuah pertandingan final yang ada insiden di dalamnya, tentu tidak bisa dibenarkan.

Tulisan ini bukan untuk membela pendukung Kroasia yang masih terpukul atas kekalahan 2-4 dari Prancis di final tadi malam. Penyebab kekalahan Luka Modric dkk tentu bisa dijelaskan dan dijabarkan. Pertahanan Les Blues terlalu kuat, dan Kroasia kerepotan untuk membongkarnya. Itu tak terbantahkan.

Setelah tertinggal 1-2 di babak pertama, Kroasia kembali menekan Prancis di babak kedua. Dua gol kecelakaan yang mereka dapat dari Prancis  di babak pertama, terlihat akan sangat mudah mereka balas.

Dan peluang untuk menyamakan skor terbuka setelah di menit ke-51 mereka memiliki kesempatan untuk melakukan serangan balik.

Operan jauh Modric dari sisi kanan yang sukses disambut Ivan Rakitic langsung terhenti ketika empat orang (tiga perempuan dan satu laki-laki) berkostum polisi menerobos masuk ke lapangan. Pussy Riot, band punk asal Rusia, tiba-tiba masuk ke lapangan dengan membawa agenda politik tertentu.

Grup band yang anti Presiden Rusia Vladimir Putin tersebut memang dikenal vokal menyuarakan berbagai isu sosial, mulai dari soal LGBT, kediktatoran dan lain sebagainya.

Meski langsung dihadang pihak keamanan, insiden tersebut membuat jalannya pertandingan terhenti seketika.

Rakitic yang sudah siap melakukan sprint untuk menerobos Benjamin Pavard di sisi kiri, akhirnya lemas. Wajah gelandang Kroasia tersebut terlihat kesal, namun masih tertahan.

Jika saja boleh berandai, menerima operan yang sangat enak dari gelandang sekaliber Modric, Rakitic pasti dengan mudah akan menggiringnya sebelum kemudian melepaskan umpan terukur kepada Ivan Perisic atau langsung ke Mario Mandzukic.

Namun, momentum untuk membuat serangan cepat ke jantung pertahanan Prancis langsung buyar. Peluang Kroasia untuk menyamakan kedudukan atau setidaknya membuat kiper Hugo Lloris terancam, sirna seketika.

Berbicara soal momentum, di setiap cabang olah raga, bukan hanya di sepak bola, selalu ada peristiwa yang bisa mengubah jalannya pertandingan. Biasanya, momentum tersebut tercipta dari buah kesabaran menjalankan taktik. 

Di laga final Liga Champions 1999, yang mempertemukan Manchester United vs Bayern Muenchen, momentum tercipta ketika Teddy Sheringham mencetak gol penyeimbang di masa injury time yang membuat kedudukan menjadi imbang 1-1.

Gol penyerang MU tersebut membuat mental pemain-pemain Muenchen rontok seketika. Padahal Piala si Kuping Besar sudah di depan mata untuk mereka raih.  Momentum itupun kemudian dimanfaatkan dengan sempurna oleh anak-anak Setan Merah lewat gol Ole Gunnar Solskjaer dua menit kemudian yang akhirnya membuat pendukung Muenchen menangis.

Di basket, laga gim ke enam final NBA tahun 1998 antara Chicago Bulls melawan Utah Jazz juga diwarnai momentum yang mengubah jalannya pertandingan. Sebuah lay up Michael Jordan di sisa 37 detik akhir pertandinggan membuat Bulls memperkecil ketinggalan menjadi 85-86.

Unggul setengah bola dan masih mendapat keunggulan untuk menyerang, Jazz sebenarnya bisa dengan mudah merebut gim keenam dan memaksa Bulls memainkan gim ketujuh.

Namun lay up dari Jordan tersebut ternyata membuat mental pemain-pemain Jazz hancur. Mereka justru membuat kesalahan setelah bola yang dipegang Karl malone berhasil dicuri oleh Jordan.

Dan momentum yang didapat Bulls tersebut itupun berhasil dimanfaatkan dengan baik setelah mereka kembali mencetak angka lewat tembakan dua angka Jordan untuk kemudian mengunci titel juara keenam bagi Bulls.

Dengan tidak mengecilkan perjuangan dan perlawanan yang dilakukan Pussy Riot kepada pemerintah Rusia, insiden di menit ke-51 tersebut memang telah mengubah jalannya pertandingan.

Konsentrasi pemain-pemain Kroasia yang tengah membongkar pertahanan Prancis langsung hilang. Mereka seperti kebingungan dengan taktik dan pola yang tengah dimainkan.

Bahkan, kalau boleh dibilang, Kroasia bermain tidak karuan seusai insiden tersebut.

Sebaliknya, bagi Prancis, insiden tersebut membuat mereka seperti mendapat oksigen tambahan di otak. Paul Pogba yang sebelumnya hanya ditugaskan Didier Deschamp untuk menjadi gelandang pemutus serangan dari Kroasia, tiba-tiba bisa menjadi lebih leluasa berganti peran menjadi seorang gelandang serang.

Sedangkan tiga pemain di depan Pogba, Blaise Matuidi, Antoine Griezmann, Kylian Mbappe, bisa bermain lebih rapih dengan mengubah posisi menjadi gelandang bertahan untuk memutus aliran bola duo Kroasia, Modric dan Rakitic.

Hasilnya, Les Blues sukses mencetak dua gol tambahan, di mana dua gol tersebut tercipta lewat transformasi Pogba dari seorang gelandang bertahan yang tiba-tiba langsung berubah sebagai pengatur serangan-serangan balik Prancis. Dua gol yang dihasilkan Prancis inipun lebih berkelas ketimbang dua gol mereka di babak pertama.

Insiden Pussy Riot mungkin hanya sebagian kecil dari faktor penyebab kalahnya Kroasia. Selebihnya, taktik Deschamp lah yang membuat Les Blues bersinar di stadion Luzhniki.

Sebagai mantan pemain yang lama merumput di Italia bersama Juventus, Deschamp tentu tidak asing dengan taktik bertahan. Dan semua cibiran dan tudingan mengenai buruknya permainan Prancis yang dinilai terlalu bertahan, tentu tidak diambil pusing oleh kapten yang membawa Prancis juara Piala Dunia 1998 tersebut.

Toh buktinya, dalam 11 laga final Piala Dunia terakhir, tidak ada tim yang mencetak gol lebih banyak dibandingkan Prancis.

Bagi Kroasia, hasil di stadion Luzhniki menjadi akhir dari upaya mereka untuk mencetak sejarah di sepak bola. Bagi generasi emas kedua Kroasia (setelah 1998) tersebut, semua usaha dan kerja keras mereka untuk membawa negaranya masuk final Piala Dunia sejak 2006 hanya berbuah gelar pemain terbaik untuk sang kapten.

Dan kesempatan untuk mencapai  final di Piala Dunia mendatang di Qatar pun akan sulit terulang. Mengingat usia anggota skuat saat ini sudah di atas 30 tahun pada 2022 nanti.

Namun sekali lagi, laga final ini bukanlah hanya sekedar permainan saja, di mana ungkapan 'kalah tetaplah kalah' menjadi hal yang biasa dan lumrah.

Seperti laga-laga besar lainnya di sepak bola, insiden Pussy Riot di stadion Luzhniki  telah menjadi salah satu drama di ajang Piala Dunia.

Drama-drama yang mengubah hasil akhir dari pertandingan besar. Seperti drama gol tangan Tuhan Maradona atau tandukan Zinedine Zidane.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat