visitaaponce.com

Literasi Media Kunci Menangkal Hoaks

Literasi Media Kunci Menangkal Hoaks
Aji Muhammad Said(Dok pribadi)

PROSES komunikasi erat kaitannya dengan individu. Hal ini tak lepas dari komunikasi merupakan bentuk dasar yang terjadi antar sepasang individu manusia dan cakupannya tidak meluas. Itu hanya terjadi antar individu yang menjadi komunikator dan komunikan begitu juga sebaliknya. Bila sudah melibatkan banyak orang, artinya bersifat massa.

Dalam pandangan ilmuwan politik dan komunikasi teori Harold Laswell, tujuan berkomunikasi untuk membina hubungan, menyampaikan informasi, agar bisa saling memahami. Di situlah pentingnya komunikasi bersifat dua arah, yang sebelumnya dilandasi lima unsur; sumber (source), pesan, saluran, receiver, dan efek.

Dalam konteks inilah respons balik (feed back), kemudian noise (gangguan), dan pengaruh situasi memegang peran penting. Terlebih setiap orang bisa memproduksi dan menyebarluaskan komunikasi pada saat bersamaan, sehingga perlu ada sikap kritis ketika menerima, dan mengolahnya. 

Berkembangan dunia teknologi informasi tak pelak membuat banjir pesan dari berbagai saluran media massa. Hoaks yang begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari, merupakan hasil produksi perkembangan teknologi informasi tersebut.

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks adalah informasi/berita bohong. Sedangkan bila dilihat dari etimologi, hoaks muncul pada abad ke-18 dan itu termaktub dalam Oxford English Dictionary pertama kali mengutip kata hoax sebagai kata kerja pada 1796. Merujuk pada kamus Grose’s Classical Dictionary of the Vulgar Tongue, “Hoaxing, bantering, ridiculing. Hoaxing a quiz; joking an odd fellow. University wit,”. 

Dalam Oxford English dictionary (OED), hoaks didefinisikan sebagai malicious deception atau kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat. Kata hoaks bukan merupakan kata yang asli, melainkan dari kata hocus dari mantra hocus pocus, frasa yang kerap diucapkan pesulap abad ke-17. 

Aktivis Southeast Asia Freedom of Expression (SAFEnet), Damar Juniarto melalui laman liputan6 menjelaskan tentang kategori-kategori hoaks atau fake news; berita hiburan, berita komersil/clickbait, dan berita politik.

Hoak berupa berita hiburan adalah berita yang bertujuan untuk hiburan seperti meme (mim), komik, atau infografis. Berita ini tentunya hanya untuk candaan, tidak perlu sampai penindakan secara hukum. Sedangkan kategori komersil/clickbait, cenderung memuat judul yang nyleneh menarik audiens untuk mencari tahu. Kecenderungan berita ini diplintir, semisal; “mengejutkan, apabila mengunakan ponsel bisa raup jutaan rupiah, cukup sekali klik dari rumah”. Sementara kategori hoaks berita politik, kecenderungannya mengarah ke gesekan dan menjatuhkan yang kaitannya dengan unsur politik. Biasanya terjadi menjelang pesta demokrasi (pemilu).

Kecenderungan hoaks umumnya tidak mencantumkan sumber yang valid dan terverifikasi, sehingga patut dipertanyakan keaslian dan dari mana sumbernya. Selain itu kebanyakan sumbernya tidak jelas, anonim, dan bukan fakta-fakta yang dimuat. Kesamaannya, ada pengiringan opini negatif. Aspek jurnalistik berupa cover both sides pun tak dilakukan. 

Jeratan hukum untuk penebar hoaks berkonten negatif telah tercantum dalam perubahan UU ITE. Kategori pelaku hoaks yang bisa dilaporkan; pertama, berita bohong harus punya nilai subyek obyek yang dirugikan. Kedua, melanggar Pasal 28 ayat 2 UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Melawan hoaks
 
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meredam hoaks dengan selalu mengupdate konten berita hoaks dalam laman resmi mereka setiap minggu secara berkala. Tujuannya untuk memberikan informasi mengenai berita hoaks yang sedang berkembang dan memfilter fakta atau berita sebenarnya yang diproses melalui mesin sensor internet dari kominfo. (https://www.kominfo.go.id/content/all/laporan_isu_hoaks).

Peran masyarakat tak kalah pentingnya, yaitu dengan cara melaporkan berita yang tidak valid atau aduan tentang hoaks kepada Kominfo. Langkahnya dengan melakukan screen capture disertai url link hoax tersebut, kemudian mengirimkan data ke [email protected]. Selain itu kita juga bisa aktif dalam forum diskusi TurnBackHoax.ID yang dikelola MAFINDO (Masyarakat Anti Hoax Indonesia). Sumber kontennya adalah Forum FAFHH (Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoax) dengan laman https://turnbackhoax.id.

Pengetahuan tentang jurnalistik tak serta merta menjadikan masyarakat menjadi jurnalis. Pasalnya, hal ini justru mengajak kita untuk bersikap kritis terhadap suatu informasi. Mengenali apakah kandungan informasi tersebut benar atau tidak, bisa dilihat dari rumus 5W+1H (what, who, where, when, why dan how). Validitas informasi menjadi berita yang baik dan benar bisa dimulai dari rumus itu.

Pranata masyarakat

Dalam kehidupan masyarakat kita mengenal pranata sosial, nilai-norma yang menjadi dasar dalam membina hubungan. Sikap dan perilaku kita itu mewujud menjadi sebuah etika, perilaku yang mengambarkan keindahan dan keharmonisan sosial. Menurut Nasution dalam buku Etika Jurnalisme: Prinsip-Prinsip Dasar, menjelaskan bahwa konsep etika merupakan filosofi untuk berperilaku yang dapat diterima dalam lingkunga dan orang lain. 

Etika mempertanyakan apa yang harus kita perbuat pada situasi tertentu (what we should do in some circumstance) atau apa yang harus kita lakukan selaku partisipan dalam berbagai aktivitas atau profesi. Etika sama halnya dengan netiket. Etika itu menjadi nilai keharmonisan dalam kehidupan, karena menyesuaikan keadaan dan cara mengambil sikap, pun demikian dalam dunia maya. 

Istilah etika dalam dunia maya ini disebut sebagai netiket. Virginia Shea dalam Jurnal Sociae Polites dari Sitepu, menyampaikan bahwa netiket merupakan seperangkat aturan untuk berperilaku di dunia maya. Aturan-aturan tersebut ialah; 1. Remember the human. Apabila kita tidak ingin disakiti oleh komentar-komentar orang yang berbau SARA, jangan menuliskan pendapat-pendapat yang mengandung unsur SARA tersebut.
 
2. Adhere to the same standards of behavior online that you follow in real life. Kita harus menaati peraturan di dunia maya, seperti menaati aturan yang berlaku di kehidupan nyata. 3. Know where you are in cyberspace. Kita senantiasa tahu bukan berada di dunia nyata. Ketika berada di dunia maya, apa yang kita lontarkan saat itu juga bisa tersebar viral ke banyak orang, bisa dilihat siapa saja di seluruh dunia. 

4. Respect other people’s time and bandwidth. Kita memiliki rasa hormat dan menghargai. Minta izin terlebih dahulu untuk mengunduh, membaca/melihat. Sebab bisa saja apa yang dikirimkan itu rentan akan virus. 5. Make yourself look good online. Mengatur cara berbicara, pemilihan kata yang tepat. 6. Share expert knowledge. Membagikan pengetahuan kepada semua teman dan orang lain melalui media yang kita pakai, sehingga menghasilkan manfaat, bernilai positif. 

7. Help keep flame wars under control. Apabila ada perselisihan di forum, bertindaklah secara netral (penengah), jangan sampai berlangsung lama bahkan berlanjut di dunia nyata. 8. Respect other people’s privacy. Menjaga rahasia atau privasi diri atau seseorang. 9. Don’t abuse your power. Apabila memiliki kemampuan lebih dibanding orang lain jangan disalahgunakan. 10. Be forgiving of other people’s mistakes. Memaafkan kesalahan orang lain. 

Melawan hoaks tidak bisa langsung dilakukan dengan sederhana. Literasi Media menjadi salah satu hal yang dapat menjembatani penggunaan media komunikasi. Tujuannya agar orang-orang dalam lingkaran penggunaan media komunikasi lebih bijaksana dalam menggunakannya. Solusinya adalah perlunya kesadaran etika dalam berselancar di dunia maya.

Survei Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama beberapa organisasi media pada pertengahan 2020 yang melibatkan 1.670 responden di 34 provinsi, menunjukkan indeks literasi digital Indonesia masih masuk kategori sedang, yaitu 3,47 dari 5. Skor terendah (3,17 dari 5) ada pada aspek literasi pengolahan informasi dan data. Sayangnya, selama 2010-2017 sekolah bahkan hanya menyumbang 3,7% dari 342 kegiatan literasi media digital yang diselenggarakan di Indonesia.

Ketika literasi diterapkan itu menjadi kunci permasalahan akan hoaks. Sehingga hal ini perlu masuk ke ranah pendidikan. Sasaran literasi media ketika masuk dunia pendidikan menjadi kunci bagaimana menghadapi tantangan zaman yang tidak terelakkan. 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat