visitaaponce.com

Merawat Bahasa Ibu

Merawat Bahasa Ibu
E. Aminudin Aziz Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek(Dok. pribadi)

SETIAP kita pasti memiliki bahasa ibu. Ini adalah bahasa yang pertama kali kita dengar, lalu kita kuasai sebagai bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi pada masa pertumbuhan kita. Kebanyakan, bahasa ibu kita juga merupakan bahasa daerah tempat kita tinggal, walaupun tidak selalu. Bisa jadi, bahasa ibu seseorang adalah bahasa nasional atau bahkan bahasa asing.

Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau di Indonesia muncul pemahaman bahwa bahasa ibu sama dengan bahasa daerah. Kemudian, peringatan Hari Bahasa Ibu menjadi identik dengan perayaan bahasa daerah. Bahasa ibu membentuk pola pikir dan karakter penuturnya sebab dengan bahasa ibu, mereka tumbuh dan berkembang. Dalam kaitan ini, bahasa ibu memiliki fungsi pendidikan yang sangat kuat pada usia dini.

Bahasa daerah lebih bersifat sosiokultural. Ia tidak bisa dan tidak mungkin dipagari oleh batas-batas wilayah administratif. Persebaran penutur bahasa daerah dapat melintasi batas-batas wilayah, bahkan negara. Bahasa daerah menjadi bahasa pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat kultural. Dengan demikian, ikatan seseorang terhadap bahasa daerah akan lebih bersifat emosional-kultural. Apabila bahasa ibu dan bahasa daerah seseorang kebetulan sama, ikatan emosional dan kulturalnya akan semakin kuat.

Indonesia merupakan negara paling multilingual kedua di dunia setelah Papua Nugini. Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Lebih dari tiga perempatnya ditemukan di wilayah timur Indonesia, dengan jumlah penutur yang rata-rata sedikit. Akibatnya, ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah seperti ini menjadi sangat kuat.

Situasinya akan semakin parah kalau tidak ada keberpihakan dari penuturnya, dan dari pemerintah daerah setempat. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pengembangan dan pelindungan bahasa, sastra, dan aksara daerah adalah tanggung jawab pemerintah daerah.

Paling sedikit, ada empat faktor penyebab kemunduran atau bahkan kepunahan bahasa daerah. Pertama, sikap penutur bahasa daerah terhadap bahasanya. Kedua, migrasi atau mobilitas sosial yang tinggi. Ketiga, adanya perkawinan dengan pasangan yang berbeda bahasa, dan keempat, bencana atau musibah yang menyebabkan berkurangnya penutur bahasa daerah.

Dari keempat faktor itu, sikap penutur bahasa kepada bahasa daerahnya menjadi penyumbang terkuat terhadap kepunahan sebuah bahasa daerah. Ketika para penutur bahasa daerah melihat bahasa daerahnya tidak lagi fungsional, kurang bergengsi, tidak keren, atau bahkan kampungan, maka keadaan dan cara pandang seperti itu menjadi pintu gerbang pertama bagi bahasa daerah untuk memasuki keranda matinya.

Bahasa daerah sesungguhnya merupakan aset. Ia merupakan salah satu kekayaan kultural bangsa Indonesia yang berbineka. Kelahiran bangsa Indonesia tidak terlepas dari keberagaman budaya yang ada di dalamnya, termasuk bahasa-bahasa setiap suku bangsa dan kelompok masyarakat tutur yang lebih kecil. Merawat dan memperlakukan aset takbenda seperti bahasa ini tentu saja berbeda dengan cara melihat aset berupa benda. Bahasa daerah merekam kearifan lokal, khazanah pengetahuan dan kebudayaan, serta kekayaan batin penuturnya. Kepunahan bahasa daerah sama artinya dengan hilangnya aset-aset takbenda yang terekam di dalam bahasa daerah tersebut.

Telah banyak upaya pelestarian bahasa daerah yang dilakukan. Pemerintah pusat, melalui Badan Bahasa dan unit pelaksana teknisnya di 30 provinsi, banyak melakukan kerja sama dengan pemangku kepentingan setempat. Upaya itu bukan tidak berhasil, melainkan belum optimal. Tampaknya, kekurangoptimalan itu terjadi karena pelindungan bahasa daerah belum dilandasi pemikiran yang komprehensif/holistik dan integratif. Dikatakan tidak komprehensif, karena hanya mengambil bagian kecil dari pelindungan bahasa, yaitu mendokumentasikan aspek kebahasaan dan mementaskan sastra lokal bersama masyarakat tutur.

Selain itu, program pelindungan tersebut selama ini tidak dilaksanakan secara berkelanjutan, tetapi hanya menjadi ‘upacara selintas’. Dengan demikian, masyarakat tutur tidak merasa memiliki ikatan atau kewajiban untuk terus memelihara bahasanya. Disebut tidak integratif, karena tidak melibatkan semua pemangku kepentingan, baik keluarga, penutur di lingkungan masyarakat, lembaga pemangku adat, lembaga pendidikan, maupun pemerintah setempat. Tanpa dukungan semuanya, maka tidak akan ada sinergi dan tanggung jawab bersama yang akan menjamin keberlangsungan program pelindungan bahasa daerah ini.

Inisiatif untuk mengubah arah dan praktik pelindungan bahasa daerah mulai digulirkan. Pelindungan bahasa yang awalnya lebih dipahami sebagai bentuk proteksi dibuat lebih dinamis melalui konsep revitalisasi. Upaya ini dilakukan sebagai cara menghidupkan kembali hasrat dan minat penutur bahasa daerah untuk menggunakan bahasanya. Pendekatan revitalisasi ini dilakukan berbasis sekolah dan komunitas tutur dengan melibatkan para pegiat serta maestro bahasa dan sastra daerah.

Materi pembelajaran disediakan seperti layaknya menu yang dapat dipilih oleh peserta sesuai dengan selera dan kesukaan mereka masing-masing. Kreativitas peserta digembleng di bengkel-bengkel bahasa dan sastra, yang hasilnya diapresiasi dalam wujud publikasi di media-media massa atau media sosial yang tersedia. Dengan adanya apresiasi seperti ini, para penutur muda itu merasa diberi ruang untuk aktualisasi diri melalui dunia digital yang memang sudah menjadi salah satu gaya hidup mereka.

Uji coba revitalisasi bahasa daerah yang dilaksanakan tahun 2021 di tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. Tingkat partisipasi para pemangku kepentingan di empat ranah—keluarga, sekolah, masyarakat, dan dinas pendidikan—sangat tinggi. Partisipasi itu, kelihatan bukan hanya pada waktu proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah dan masyarakat, melainkan juga di lingkungan keluarga. Ada semangat baru yang tumbuh di kalangan orang tua untuk mewariskan bahasa daerah kepada anak-anaknya, yang dimulai dari lingkungan keluarga.

Semangat mereka semakin kuat ketika dilaksanakan Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Catatan Badan Bahasa menunjukkan, lebih dari satu juta siswa dengan puluhan ribu guru, kepala sekolah, dan pengawas, serta pegiat bahasa dan sastra daerah, ikut aktif terlibat dalam program revitalisasi bahasa daerah ini. Padahal, menurut pengakuan para siswa, selama ini mereka tidak terlalu tertarik dengan pelajaran atau isu-isu terkait bahasa daerah.

Kita semua menyadari bahwa para penutur muda pada usia sekolah tingkat dasar dan menengah ini adalah calon-calon pewaris dan pengguna aktif bahasa daerah di masa mendatang. Semangat untuk menggunakan bahasa daerah di kalangan merekalah yang harus senantiasa ditumbuhkan. Anak-anak muda belia ini adalah aset bangsa kelak sebab merekalah pemilik masa depan.

Bahasa daerah juga adalah aset bangsa ini. Ketika dua aset ini menyatu dan terpelihara dengan baik, kita pantas untuk berharap bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa yang hebat, yakni warga bangsa yang tidak tercerabut dari akar budayanya, yang salah satunya dicirikan dengan kemampuannya berbahasa ibu/daerah. Tampaknya itulah cara yang sangat pantas dalam kita merawat aset takbenda bernama bahasa daerah. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan peduli?

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat