visitaaponce.com

Memaknai Kembalinya AKB Brotoseno Berdinas di Polri

Kepolisian Republik Indonesia bersama Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi mestinya berada di garda terdepan menjadi alat negara dalam upaya pemberantasan korupsi. Namun kenyataannya, Polri justru menampung koruptor untuk kembali mengabdi  di institusinya.

Polemik inilah yang kemudian dikritisi oleh Indonesia Corruption Watch terkait dengan pengaktifan kembali AKB Raden Brotoseno. Brotoseno kini bertugas sebagai staf di Divisi Teknologi Informasi dan Komunikasi Mabes Polri.

Baca juga: Bekas Koruptor AKBP Brotoseno Kembali Bertugas di Polri, Jadi Staf TIK

Melihat ini, ICW pun murka. Pasalnya, menurut ICW, Brotoseno itu telah terbukti secara sah dan meyakinkan melalui putusan pengadilan bahwa dirinya melakukan praktik korupsi dan dikenakan hukuman penjara lima tahun. Usai dipidana, Brotoseno disambut dengan tangan terbuka oleh Polri.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, kembalinya yang bersangkutan sebagai anggota kepolisian aktif menjelaskan semangat antikorupsi yang sangat buruk di institusi Polri.

Baca juga: ICW: Tampung Lagi Brotoseno, Polri Anti Pemberantasan Korupsi

Pengaktifan kembali Brotoseno ini membuat Polri seakan memberikan karpet merah bagi koruptor. Sebuah kebijakan yang jelas-jelas tidak hanya mengangkangi upaya pemberantasan korupsi, tapi juga melukai rasa keadilan publik.

Kasus ini tentu akan membuat publik mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi dari Korps Bhayangkara. Artinya, paradigma bahwa korupsi adalah sebuah extraordinary crime telah dianggap sebagai ordinary crime di institusi Polri, dan upaya untuk membangun semangat integritas antikorupsi, tidak hanya di internal Polri tapi juga di seluruh bangsa ini, rusak karena kasus Brotoseno ini.

Ini menjadi gambaran yang menunjukkan memang ada yang salah dengan pola pikir petinggi Polri menyangkut tindak pidana korupsi khususnya dalam kasus Brotoseno. Sikap permisif pada pelanggaran dan tindak pidana korupsi bila itu menyangkut anggotanya terbukti dilakukan oleh Polri dalam kasus Brotoseno.

Kasus ini pun tentunya akan membuat publik memahami atau bahkan bisa salah persepsi bagaimana etika profesi di Polri itu kali ini ditegakkan. Perlakuan seperti ini jelas menyakiti rasa keadilan yang ada di masyarakat.

Brotoseno pernah menjabat sebagai Kepala Unit III Subdit III di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri. Ia terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima suap sebesar Rp1,9 miliar. Hal ini berkaitan dengan proses penyidikan tindak pidana korupsi cetak sawah di daerah Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2016.

Hakim pengadilan memvonis Brotoseno selama lima tahun penjara dan kemudian Brotoseno  dinyatakan bebas bersyarat pada 15 Februari 2020 lalu. Setelah dinyatakan bebas, Brotoseno kembali bertugas di kepolisian. Penyebabnya ya karena hasil sidang etik yang digelar pada Oktober 2020 lalu menyatakan bahwa Brotoseno tidak dipecat. Alasannya, ia memiliki prestasi dan juga berdasarkan dukungan dari atasannya.

Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia Irjen Wahyu Widada membenarkan Brotoseno tidak dipecat keanggotaannya sebagai polisi. Hal ini berdasarkan keputusan sidang etik yang menyatakan Brotoseno tidak diberhentikan secara tidak hormat.

Tentu publik akan bertanya bagaimana bisa seorang dinilai berprestasi padahal yang bersangkutan menggunakan jabatannya untuk meraup keuntungan secara melawan hukum?

Dianggap berprestasi

Hal ini lah yang membuat Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaedi  Mahesa menyoroti sikap Mabes Polri terutama terkait hasil sidang kode etik. Menurut Desmond, sikap Polri yang terlalu membela anggotanya akan berdampak negatif terhadap citra lembaga tersebut. Bagi Desmond, bagaimana seorang yang dinyatakan membuat kerugian negara dinilai berprestasi di institusi negara.

Baca juga: AKBP Brotoseno Tak Dipecat, DPR Pertanyakan Parameter Berkelakuan Baik Polri

Benar juga logika Desmond. Bahwa ketika seorang secara hukum positif saja terbukti korupsi, jelas dari sisi etika sudah pasti melanggar. Kalau kita pakai logika kepublikan saja, kasus Brotoseno jelas-jelas harusnya diganjar dengan pemberhentian tidak hormat.

Apalagi, Polri juga sudah memiliki banyak instrumen aturan internal terkait dengan disiplin anggotanya. Misalnya, Peraturan Kapolri nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada pasal 21 ayat 3 huruf a yang menyatakan bahwa anggota Polri yang sudah diputus bersalah oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap akan dikenakan pemberhentian dengan tidak hormat dari dinas kepolisian.

Aturan lain juga menyebutkan hal serupa, yakni pasal 12 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia. Dalam aturan itu jelas bahwa anggota Polri diberhentikan tidak dengan hormat apabila dipidana penjara berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas kepolisian.

Mestinya dua beleid hukum tersebut cukup untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat terhadap Brotoseno. Tidak perlu logika hukum yang lebih tinggi lagi.

Standar ganda

Apalagi, selama ini  banyak kasus-kasus anggota kepolisian yang dipecat dengan tidak hormat karena kasus yang tidak termasuk dalam kategori exstraordinary crime seperti kasus yang dilakukan oleh Brotoseno, yakni korupsi.

Contohnya, pada Maret 2022, dua anggota Brimob Polda Maluku Utara dipecat dengan tidak hormat karena menelantarkan istri dan keluarganya. Lain lagi dengan nasib dua anggota Polres Lamongan dipecat dengan tidak hormat karena terlibat kasus penipuan, dua pelanggaran hukum yang derajatnya pelanggarannya jelas berada di bawah kasus korupsi.  Dan masih banyak lagi anggota Polri yang terlibat kasus lain yang kejahatannya lebih kecil dampaknya dibandingkan dengan pidana yang dilakukan oleh Brotoseno diganjar dengan pemecatan tidak hormat.

Fakta-fakta tadi seakan menegaskan ada standar ganda dalam penegakan aturan internal Polri. Kebijakan permisif Polri tersebut dampaknya akan memicu ketiadaan efek jera penegakan hukum dalam kasus korupsi yang mungkin saja bisa direplikasi oleh aparat lainnya atau bahkan institusi- institusi lainnya.

Polri harus cepat menuntaskan kasus Brotoseno ini. Publik tentu berharap Polri tidak bersikap toleran terhadap para koruptor. Jika dibiarkan berlarut, jangan salahkan jika asumsi publik akan tetap negatif kepada institusi Polri.

Jika ingin membersihkan korupsi di negeri ini, tentu sapunya harus bersih dulu. Dan Polri adalah salah satu sapunya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat