visitaaponce.com

Ganja dan Hak Atas Kesehatan

Ganja dan Hak Atas Kesehatan
Andrey Sujatmoko(Dok pribadi)

PEMBAHASAN mengenai ganja untuk kepentingan medis di Indonesia tampaknya akan semakin bergulir dalam beberapa waktu ke depan, terutama setelah viralnya di media sosial foto seorang ibu yang membutuhkan ganja (cannabis) untuk kepentingan medis bagi penyembuhan anaknya yang sedang menderita sakit. 

Melansir BBC News Indonesia (28/6), seorang ibu yang menginginkan minyak CBD (cannabidiol) untuk mengobati anaknya yang mengidap cerebral palsy pada bagian otak telah menjadi simbol perjuangan untuk melegalkan ganja untuk keperluan medis. Foto Santi Warastuti memegang papan bertuliskan "Tolong, anakku butuh ganja medis" saat acara car free day di Bundaran HI, Jakarta Pusat, akhir pekan lalu menjadi viral (26/6). Santi tampak berdiri di samping putrinya, Pika, yang duduk di kursi roda. 

Perempuan tersebut menyeru supaya Mahkamah Konstitusi segera memberikan putusan dalam upaya uji materi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dilayangkan dirinya serta sejumlah orang tua pasien cerebral palsy dan lembaga swadaya masyarakat. Uji materi yang diajukan pada November 2020 itu bertujuan supaya narkotika golongan I, termasuk ganja, dapat digunakan untuk kepentingan penelitian dan pelayanan kesehatan atau terapi.

Merespons hal di atas, melansir tempo.co (29/6), Wakil Presiden Ma'ruf Amin meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa baru mengenai penggunaan ganja untuk medis. Selama ini, kata dia, MUI melarang penggunaan ganja tanpa pengecualian. Menurutnya, kini MUI perlu membuat pengecualian larangan penggunaan ganja untuk medis. "Saya minta MUI nanti segera membuat fatwanya untuk dipedomani, agar jangan sampai berlebihan dan menimbulkan kemudaratan,” ujarnya lewat keterangan yang diterima Tempo, Selasa (28/6). Hal tersebut disampaikan Ma'ruf sebagai respons atas langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang kini tengah mengkaji wacana legalisasi ganja untuk kebutuhan medis,.

Menyangkut polemik di atas, tulisan ini akan membahas secara singkat bagaimana UU Narkotika mengatur penggunaan ganja untuk kepentingan medis. Lalu, mengkaitan hal tersebut dengan hak atas kesehatan sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM). Terkait dengan kesehatan, huruf b konsideran UU Narkotika, menyatakan bahwa undang-undang ini dibuat dengan pertimbangan untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain, dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
   
Selanjutnya, pada huruf c konsideran UU Narkotika, dinyatakan pula bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama.

Berdasarkan kedua konsideran di atas, dapat disimpulkan bahwa kehadiran UU Narkotika didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan derajat kesehatan SDM Indonesia. Lalu, UU Narkotika juga telah mengakui secara eksplisit bahwa narkotika, dari sisi positifnya, merupakan obat atau bahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan/pelayanan kesehatan serta pengembangan ilmu pengetahuan. 

Pengakuan itu sangat penting, karena hal tersebut merupkan entry point bagi penggunaan narkotika untuk kepentingan medis yang akan bermuara pada soal kesehatan (di samping juga ilmu pengetahuan). Jadi, spirit UU Narkotika adalah juga mencakup pemanfaatan narkotika untuk kepentingan medis. Namun, spirit di atas sayangnya malah dieliminasi oleh Pasal 6 ayat (1) a yang memasukkan ganja sebagai narkotika golongan I dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika yang melarang penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan. 

Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (1) a tersebut, narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan (berbeda halnya dengan narkotika Golongan II dan III). Kedua pasal tersebut secara eksplisit telah menutup ruang untuk pemanfaatan ganja bagi kepentingan medis yang di dalamnya termasuk untuk pemenuhan hak atas kesehatan. 

Oleh karena itu, pasal-pasal itu dimintakan oleh para pemohon (salah satunya adalah Santi Warastuti) untuk dilakukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi lantaran menghambat/menghalangi pemenuhan hak atas kesehatan (sebagai HAM dan juga sebagai hak konstitusional) dari para pemohon. Dalam konteks Santi Warastuti sebagai salah satu pemohon, langkah tersebut dilakukan agar anaknya mendapatkan pengobatan sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidupnya.  

Walaupun Pasal 6 ayat (1) a di atas memasukkan ganja sebagai narkotika golongan I, namun ayat (3) dari pasal itu sesungguhnya juga membuka ruang bagi adanya perubahan penggolongan narkotika. Ayat tersebut mengatur bahwa perubahan penggolongan narkotika diatur dengan peraturan menteri. Penulis menafsirkan bahwa menteri yang dimaksud oleh ayat itu adalah menteri kesehatan. Lalu, bagian penjelasan dari ayat tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perubahan penggolongan narkotika adalah penyesuaian penggolongan narkotika berdasarkan kesepakatan internasional dan pertimbangan kepentingan nasional. Kalimat 'pertimbangan kepentingan nasional' tersebut bersifat penting sebagai dasar bagi negara (pemerintah) dalam melakukan perubahan berupa penyesuaian penggolongan narkotika.

Narkotika berkaitan erat dengan hak atas kesehatan. Menurut International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights General Comment No. 14: The Right to the Highest Attainable Standard of Health (Art. 12) tahun 2000 dinyatakan bahwa kesehatan adalah HAM yang bersifat fundamental bagi pelaksanaan HAM lainnya, dan setiap manusia berhak untuk menikmati standar pencapaian kesehatan tertinggi yang kondusif untuk hidup dalam suatu kehidupan yang bermartabat.
 
Kemudian, melalui UU No. 7 Tahun 1997, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap narkotika dan Psikotropika (United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances) 1988. Langkah itu menunjukkan bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk senantiasa aktif mengambil bagian dalam setiap usaha memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Lalu, dengan UU itu akan memberikan landasan hukum yang lebih kuat untuk mengambil langkah-langkah dalam upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.

Implementasi pemenuhan hak atas kesehatan, antara lain, dapat dicapai melalui berbagai kebijakan negara (pemerintah) di bidang kesehatan. Oleh karena itu, dalam perspektif HAM, negara wajib untuk membuat kebijakan yang akan mengarah kepada terpenuhinya hak atas kesehatan (the right to health) sebagai suatu hak yang bersifat fundamental dan tidak dapat dipisahkan dari HAM lainnya, terutama hak untuk hidup (the right to life). 

Kebijakan negara untuk memberlakukan larangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, serta melegalisasi ganja untuk kepentingan medis sesungguhnya merupakan bentuk konkret implementasi kewajiban negara dalam soal HAM, yaitu pemenuhan terhadap hak atas kesehatan dan hak untuk hidup. Dalam scope yang lebih luas, kebijakan tersebut tentunya dibuat demi meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat