visitaaponce.com

Mencari Rektor Antikorupsi

Mencari Rektor Antikorupsi
Eko Supriatno(Dok Dikti Kemendikbud)

“DEMIKIAN cepat dan fananya kekuasaan, betapa suap dan godaan uang telah menghinakan.” (Najwa Shihab)

Perguruan tinggi (PT) tengah menjadi sorotan. Dunia pendidikan tinggi, terutama kampus, kembali tercoreng. Publik sempat dibuat tidak percaya dengan derasnya pemberitaan media massa tentang operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Karomani bersama beberapa orang lainnya, Jumat (16/8). 

Hasilnya, Karomani cs ditetapkan menjadi tersangka. Ia ditangkap KPK karena diduga menerima suap terkait penerimaan mahasiswa baru di Unila. Suap dilakukan orang tua calon mahasiswa yang ingin anaknya dinyatakan lolos seleksi jalur mandiri. 

OTT terhadap pihak kampus tersebut merupakan kali pertama terjadi. Bagaimana tidak, kampus sebagai lembaga pendidikan nyatanya juga tidak terlepas dari adanya praktik jahat, licik, culas, dan rasuah. Tentunya peristiwa OTT rektor Unila ini memiliki beberapa dimensi yang menarik untuk dicermati.

Kasus yang sedang menimpa Karomani telah mencederai korps guru besar, yang sejatinya menjadi garda terdepan penjaga moral dan integritas kampus. Seharusnya, dengan basis ilmu dan integritas yang dimiliki, guru besar menjadi role model akademikus dalam mengembangkan keilmuan. Kita mesti ingat akan bahwa posisi seorang rektor apalagi profesor yang menempati posisi paling paripurna dalam menapaki karier akademik. Ini karena tidak semua akademisi bisa meraih gelar profesor hingga rektor.

Karomani telah menelanjangi kebobrokan wajah kampus dengan membuka topengnya yang selama ini seolah-olah berada di menara gading yang sangat tinggi. Kasus ini telah membuka cara pandang kita bahwa kampus ternyata bukan tempat para malaikat ‘bersemayam’.

Berilmu memang harus dengan bermoral. Karenanya, menjadi manusia yang berilmu harus diimbangkan dengan keseimbangan kepribadian dan moralitas. Apalah arti seorang begawan, profesor atau rektor jika tidak mencerminkan teladan perilaku yang baik bagi kehidupan, walaupun secara nalar bahwa perkembangan tingkat pertimbangan seseorang sangat berhubungan dengan tingkat intelegensi pengetahuan dalam memahami nilai-nilai kehidupan.

Tidak bisa dimungkiri, kasus ini sangat berdampak terhadap kepercayaan publik dan terhadap eksistensi kampus. Dengan kebebasan informasi, publik kini sudah semakin cerdas dan pintar dalam memilih dan memilah informasi. Secara etis, kasus ini sudah membuat citra kampus dalam ‘keadaan’ yang tidak menguntungkan.

Kampus telah kehilangan ‘marwahnya’ di tengah masyarakat, mulai luntur kekuatan sebagai agent of change dan transformasi sosialnya. Mengembalikan ‘marwah’ kampus di tengah hiruk-pikuk kasus ini adalah pekerjaan yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. 

Paling tidak, hikmah besarnya sivitas akademika harus berusaha mengokohkan visi dan nilai luhur yang dianutnya. Publik harus masih percaya bahwa kampus masih sebagai pembawa perubahan bangsa ini ke arah yang lebih sempurna. 

Tren kasus korupsi perguruan tinggi

Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai tren penindakan kasus korupsi yang dirilis setiap tahun, telah menunjukkan bahwa korupsi sektor pendidikan sangat konsisten menjadi salah satu sektor yang paling banyak ditindak oleh aparat penegak hukum (APH). 

Setidaknya dari 2016 hingga 2021 semester 1, pendidikan masuk lima besar korupsi bersama dengan sektor anggaran desa, transportasi, dan perbankan. Meski terdapat faktor keaktifan dan fokus APH dalam melakukan penindakan, data tersebut menunjukkan bahwa sektor pendidikan masih menjadi ladang korupsi.

ICW mengkaji lebih jauh program, pelaku, modus, dan faktor korupsi sektor pendidikan. Kajian ini penting untuk melihat pada aspek mana bidang pendidikan terutama pendidikan tinggi kita rentan dijadikan ladang korupsi. 

Dengan mengetahui hal tersebut, pengambil kebijakan dan aparatur pengawas internal pemerintah (APIP) diharapkan dapat melakukan langkah-langkah pembenahan kebijakan, pencegahan, dan pengawasan yang diperlukan.

Dari data ICW, korupsi di perguruan tinggi cukup banyak ditindak APH dan menempati posisi ketiga. Namun meski demikian, korupsi di perguruan tinggi jika dilihat dari nominal kerugian negaranya jauh lebih besar dibanding korupsi di Dinas Pendidikan. Sebanyak 20 kasus korupsi perguruan tinggi yang ditindak oleh APH telah merugikan negara Rp789,8 miliar.

Tentunya banyak hal yang menyebabkan korupsi di perguruan tinggi. Misal persoalan ‘otonomi perguruan tinggi’. Pandangan penulis, otonomi dalam konteks akademik biasanya relatif telah membaik, namun tidak demikian dalam hal non-akademik. Salah satu contohnya adalah pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan di kampus biasanya tidak dibarengi dengan akuntabilitas. Ini yang menjadi cikal bakal korupsi. 

Contoh, penulis belum menemukan ada kampus yang rutin menjalankan praktik keterbukaan informasi. Informasi penerimaan dana yang masuk, penggunaan uang, program yang dijalankan, masih sulit untuk ditemukan. Hal itu juga diperparah dengan kesulitan mahasiswa untuk mengakses informasi tersebut. 

Catatan kritis

Ada beberapa catatan kritis penulis dalam mimbar tulisan ini; pertama, persoalan integritas kampus. Ke depan kampus perlu mengedepankan paradigma yang berperspektif etis. Misal, penulis prihatin dengan beragam problem yang melanda sejumlah kampus, terutama kampus negeri. 

Problem yang dimaksud tercakup tata kelola dan perilaku tidak terpuji dalam ranah akademik. Apalagi, tindakan yang tidak menjunjung tinggi nilai, etika, dan budaya akademik itu dilakukan pejabat pemerintah, pimpinan kampus, guru besar, ataupun dosen yang seharusnya menjadi panutan. 

Kampus memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas dan pintar bukan secara intelektual semata, tetapi juga cerdas dan pintar norma dan etika. Jika integritas kampus dan orang-orang yang di dalamnya masih banyak bermasalah, tentu harus ada evaluasi menyeluruh. 

Ke depan pengelolaan kampus harus digarap dengan open resources. Untuk itu perlu ada jaminan yang utuh mengenai kesiapan para pengelolanya dalam hal transparansi kampus.

Kedua, gagalnya pendidikan antikorupsi. Kurikulum pendidikan antikorupsi ternyata belum mempan membenahi mental korup. Pendidikan sebagai investasi intelektual dan moral bangsa, seharusnya menjadi alat membentengi bangsa dari korupsi. Kita perlu menegaskan bahwa tujuan dari pendidikan kampus adalah sebagai penopang pembangunan mental dan moral.

Akan tetapi, merevolusi mental bukanlah pekerjaan mudah dan tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat. Pendidikan di kampus itu tak hanya untuk peserta didik di semua jenjang pendidikan tinggi, melainkan juga pejabat yang memiliki otoritas atas kebijakan dan anggaran pendidikan yang bersangkutan serta rekanan pemerintah pusat dan daerah. 

Gagasan antikorupsi harus kafah terutama dalam hal sistem perencanaan, penganggaran, dan implementasi belanja dana pendidikan. Terutama pada hal pembagian kewenangan yang memadai pada berbagai institusi pendidikan serta pengawasan atas penggunaan kewenangan tersebut.

Ketiga, perlunya mengubah pola pikir tentang korupsi. Akar korupsi berawal dari pola pikir yang salah. Koruptor biasanya menganggap dengan uang melimpah bisa mendapatkan hidup bahagia, padahal mental tersebut keliru besar. 

Harus diakui, dalam beberapa tahun terakhir, isu korupsi atau secara umum didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Bukan tanpa alasan kalau skandal korupsi biasanya menjerat sejumlah aktor pejabat publik.

Perkara ini semakin menegaskan bahwa penggunaan jabatan memerlukan pengawasan ekstra guna memutus rantai korupsi yang semakin hari makin mengakar. Korupsi seolah telah menjadi siklus panjang yang sulit diputus. Kesenjangan antara political will, penegakan hukum, dan reformasi hukum merupakan determinasi utama begitu sulitnya pemberantasan korupsi dilakukan secara menyeluruh. 

Dengan pesan yang demikian, para pejabat diingatkan untuk jangan lagi ngawur menggunakan wewenang dan jabatan. Filosofi dari judul tulisan ini adalah mencari sebuah generasi bangsa yang benar-benar bersih, yang memiliki sifat jujur, adil dan asketis.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat