visitaaponce.com

Pelajaran dari Kanjuruhan

Pelajaran dari Kanjuruhan
(Dok. Pribadi)

TIM Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan sudah menyerahkan laporan mereka kepada Presiden. Peristiwa 1 Oktober 2022 itu menjadi bencana terbesar kedua dalam sejarah persepakbolaan dunia setelah insiden di Peru 1969 yang menewaskan 328 orang. Tercatat 132 orang meninggal dunia, dengan ratusan orang lainnya cedera ringan sampai berat. Kesedihan melanda dunia, masyarakat berduka dan mengirimkan doa, hati kita bersama para korban dan keluarga mereka.

Kita harus mengambil pelajaran agar insiden tersebut tidak terulang. Perlu dibahas dengan jujur kesalahan apa yang terjadi. Dalam perkembangannya, tampak usaha mengaburkan penyebab tragedi itu, dari menyalahkan penonton yang turun ke lapangan sebagai penyebab utama, sampai penyangkalan yang menggelikan, bahwa penyebab kematian bukan gas air mata, melainkan kekurangan oksigen. Kita bersyukur bahwa TGIPF jelas menyatakan penggunaan gas air mata ialah penyebab utama kematian dan perlu perbaikan menyeluruh atas semua aspek yang menyebabkan terjadinya tragedi tersebut.

Policy Center Ikatan Alumni (Iluni) FKUI mengadakan diskusi daring pada 7 Oktober 2022, dengan mengundang para pakar termasuk dari luar negeri terkait dengan manajemen pengumpulan massa dari latar belakang medis, psikologi, dan kebencanaan. Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono yang hadir menyampaikan bahwa Kemenkes memandang kejadian itu sebagai krisis kesehatan, dan menyampaikan komitmen Kemenkes untuk memperbaiki protokol penanganan acara yang mengumpulkan massa (mass gathering), dan manajemen korban massal (mass casualty management), untuk mencegah kejadian serupa di masa datang.

 

Panitia dan aparat sebagai pemegang kendali

Sebagai pemegang kendali, panitia dan aparat keamanan hendaknya mengerti dan memegang teguh panduan etika Badan Kesehatan Dunia WHO mengenai manajemen korban massal (WHO 2007). Prinsip pertama dan utama ialah mengutamakan kehidupan dan martabat manusia. Bahwa massa yang berkumpul tidak boleh dianggap musuh dan aparat hadir untuk memberikan perlindungan. Pemegang kendali perlu dilatih agar menguasai psikologi massa. Jangan sampai melakukan tindakan salah yang dapat memicu kepanikan dan mengancam keselamatan dan bila ada kekacauan, hendaknya melokalisasi, bukan memperluas.

Pada Tragedi Kanjuruhan, insiden memang didahului dengan turunnya penonton ke lapangan. Namun, rekaman video menunjukkan awalnya ada penonton yang turun bukan untuk rusuh, ia memeluk pemain dan officials di lapangan dan berswafoto. Kepanikan mulai timbul saat gas air mata ditembakkan bertubi-tubi, termasuk ke tribune yang tidak ada kericuhan. Dampak gas air mata yang menyebabkan iritasi dan kesulitan bernapas serta kepanikan yang ditimbulkan memiliki kontribusi besar terhadap jatuhnya korban.

Penonton yang berlarian ada yang terjatuh kemudian terinjak-injak. Media asing menyebut insiden Kanjuruhan bukan riot atau kerusuhan, tapi stampede, situasi massa tiba-tiba berlarian ke arah yang sama, dalam hal ini ke pintu keluar, karena panik. Massa yang menumpuk di depan pintu yang terkunci serta gas air mata yang terkonsentrasi di ruang yang terbatas mencetuskan kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen (asfiksia) sehingga menyebabkan kematian.

Kita pernah punya pengalaman pada pertandingan bola 29 Oktober 2019, saat Persebaya kalah dari PSS Sleman. Pendukung Persebaya turun ke lapangan mengejar pemain PSS Sleman kemudian merusak fasilitas Stadion Gelora Bung Tomo, bahkan pembakaran di tengah lapangan. Saat itu pemain PSS Sleman bisa diselamatkan dan tidak ada korban jiwa bahkan dari pelaku perusakan. Aparat dipuji karena tetap bersikap persuasif serta tidak ada gas air mata yang ditembakkan.

 

Psikologi massa

Massa pada keramaian sangat mudah terpicu emosi kolektifnya. Keadaan dapat memburuk menjadi kepanikan, kerusuhan, hingga bencana. Sebaliknya, pemegang kendali acara juga dapat menenangkan massa agar tidak tereskalasi.

Pada Tragedi Kanjuruhan, saat penonton mulai turun ke lapangan, panitia dapat berbicara melalui pengeras suara bersama pemimpin informal massa untuk menenangkan suasana. Sambil mengamankan pemain dan officials Persebaya yang mungkin diincar, aparat keamanan dapat tetap persuasif melokalisasi penonton yang memang rusuh. Bukan menggunakan kekerasan secara membabi buta, yang memicu kemarahan kolektif.

Sekali lagi, belajar dari insiden Gelora Bung Tomo 29 Oktober 2019, tindakan aparat yang persuasif bahkan simpatik walaupun massa anarkistis mencegah jatuhnya korban jiwa. Penegakan hukum kepada pelaku perusakan dapat dilakukan secara proporsional bila amarah kolektif massa sudah mereda dan situasi terkendali.

 

Sistem kegawatdaruratan

Dalam menghadapi bencana dengan jumlah korban yang banyak (mass casualty), pertolongan bertumpu pada sistem kegawatdaruratan di lokasi kejadian. Sistem harus dipersiapkan dengan baik, sejak di luar rumah sakit. Perlu kesiapan tenaga kesehatan, logistik, dan fasilitas penunjang. Kolaborasi dengan semua pihak, seperti panitia, aparat keamanan, dan pemadam kebakaran, ialah keniscayaan.

Kelebihan persiapan (overplanning) ialah hal yang baik karena kita bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk walau tentu mengharapkan kejadian yang terbaik. Perlu ada pedoman yang mengedepankan aspek kesehatan dan keselamatan, dengan prinsip pencegahan sebagai penekanan. Hal yang berpotensi buruk perlu dilarang. Karena itu, kelebihan kapasitas dan waktu penyelenggaraan yang rentan insiden seperti pada Tragedi Kanjuruhan tidak boleh terulang.

Saat korban berjatuhan di Tragedi Kanjuruhan, sistem kesehatan kewalahan menangani kegawatdaruratan yang terjadi. Bahkan, sempat ada kasus ada korban diminta membayar biaya yang tidak sedikit oleh ambulans ‘swasta’ yang memang komersial. Diperlukan latihan teratur dan stress test untuk menguji kesiapan sistem pelayanan kesehatan di daerah, tempat mass gathering dilakukan.

Tertutupnya pintu keluar menyebabkan massa tidak dapat keluar dari Stadion Kanjuruhan yang kemudian menimbulkan korban jiwa. Sebelum dimulai sampai selesainya acara pada setiap mass gathering apakah itu pertandingan sepak bola atau konser musik, perlu dipastikan alur massa (crowd flow) yang terbuka. Prosedur penyelamatan dan jalur evakuasi bila ada insiden seperti kerusuhan atau kebakaran harus disampaikan melalui sistem pengeras suara beserta aturan keselamatan lainnya dalam bentuk safety briefing sebelum acara dimulai. Ada baiknya, safety briefing ditutup dengan berdoa bersama untuk menenangkan psikologi massa.

 

Tak ada sepak bola seharga nyawa

Pertandingan sepak bola dan mass gathering lainnya tidak hanya harus aman, ia semestinya menjadi acara hiburan bahkan bagi keluarga. Aspek kesehatan dan keselamatan perlu dikedepankan. Pedoman penyelenggaraan yang dipatuhi dan dijalankan dengan hati ialah kunci agar tidak terjadi lagi Tragedi Kanjuruhan di kemudian hari.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat