visitaaponce.com

Lingkaran Besar Kebudayaan Gus Dur

Lingkaran Besar Kebudayaan Gus Dur
(Dok. Pribadi)

SELAIN sebagai kiai, intelektual Islam, dan negarawan, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ialah pemikir kebudayaan. Pemikirannya terentang sejak dalam konteks budaya secara antropologis sehingga melahirkan gagasan tentang budaya Islam Indonesia. Hingga dalam konteks filosofis yang melahirkan gagasan serta perjuangan kemanusiaan.

Dalam rangka peringatan haul ke-13 pada 30 Desember lalu, pemikiran kebudayaan Gus Dur layak kita pahami.

Dalam pemikiran kebudayaan tersebut, Gus Dur telah mewariskan dua definisi tentang kebudayaan. Pertama, kebudayaan secara antropologis. Dalam definisi itu, Gus Dur merumuskan kebudayaan sebagai sistem nilai yang dibentuk pandangan hidup (weltanschauung) suatu masyarakat. Pandangan hidup itu lalu membentuk identitas kultural yang terjaga dalam tradisi, sastra, dan karya seni (Wahid, 1988). Dalam konteks itulah, tradisi perlu dirawat sebagai penjaga sistem nilai yang hidup di masyarakat tersebut.

Definisi antropologis dari budaya itu yang membuahkan gagasan pribumisasi Islam. Gagasan khas Gus Dur itu merupakan upayanya untuk menjaga tradisi Nusantara agar tidak tergerus oleh kehadiran Islam yang membawa budaya sendiri. Islam yang bersifat universal harus dibumikan ke budaya Nusantara agar proses konversi agama tidak menimbulkan konflik dan ‘gegar’ budaya.

Melalui pribumisasi Islam, hubungan antara agama dan budaya lokal dijembatani justru melalui kebudayaan. Hal itu dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama, penempatan budaya sebagai konteks bagi penerapan ajaran agama. Proses itu didasarkan pada pemahaman Gus Dur bahwa hubungan antara agama dan budaya seperti hubungan antara filsafat dan ilmu (sains). Sebagai studi tentang idealisme, filsafat tentu bukan ilmu. Akan tetapi, filsafat membutuhkan ilmu sebagai metode afirmatif, apakah idealisme tersebut sesuai dengan realitas empiris?

Demikian pula agama dan budaya. Bagi Gus Dur, Islam ialah agama hukum (religion of law). Hal itu yang menjadi tantangan sebab Islam sebagai ‘jaringan aturan’ harus diletakkan dalam konteks budaya yang merupakan ‘proses perubahan’. Antara aturan dan perubahan harus dipertemukan, justru melalui keduanya. Bagaimana caranya? Inilah yang mengantarkan kita pada substansi gagasan pribumisasi Islam.

Metode kedua dari pribumisasi Islam ialah perluasan sumber perumusan hukum Islam. Tidak hanya pada sumber keagamaan, yakni Al-Qur’an, hadis, ijma, dan qiyas, tetapi juga sumber-sumber kemanusiaan, yakni kemaslahatan (mashlahah), tradisi (‘urf) dan kebaikan (istihsan). Artinya, nilai-nilai kemanusiaan dijadikan sebagai sumber perumusan hukum. Tentu, nilai-nilai itu tidak bertentangan dengan teks suci (nash) meskipun tidak tertulis dalam kitab suci (mashlahah mursalah). Metode itu Gus Dur dasarkan pada filsafat hukum Islam (ushul fiqh) yang menjadi ‘ratu pengetahuan’ pesantren. Dengan demikian, harmonisasi budaya dan agama dimungkinkan metode dalam hukum Islam itu sendiri.

Melalui pribumisasi Islam itulah, nilai-nilai universal Islam dibumikan ke dalam budaya Nusantara. Proses pribumisasi itu bahkan telah membentuk identitas keislaman tersendiri yang menyatu dengan pandangan hidup masyarakat Nusantara, termasuk karya seninya. Misalnya, Wayang Purwa yang digubah Sunan Kalijaga tidak hanya merupakan adopsi atas karya seni Hindu Nusantara, tetapi juga telah melahirkan karya seni Islam Nusantara. Itu karena Wayang Purwa merupakan karya seni khas Islam Nusantara yang memuat ajaran Islam tersendiri.

MI/Duta

 

Kehidupan manusiawi

Definisi kedua dari kebudayaan menurut Gus Dur ialah kebudayaan secara filosofis yang ia rumuskan sebagai kehidupan sosial manusiawi (human social life). Konsepnya seperti ini: jika makan ialah kebutuhan kodrati manusia, sistem ekonomi yang memenuhinya ialah kebudayaan sehingga ketika sistem ekonomi tidak berkeadilan, krisis ekonomi secara sah menjadi krisis kebudayaan (Wahid, 1985). Jika mengetahui kebenaran ialah kebutuhan kodrati manusia, sistem pendidikan ialah kebudayaan. Ketika sistem pendidikan justru menghambat anak didik mengetahui kebenaran, krisis pendidikan secara sah menjadi krisis kebudayaan.

Karena mendefinisikan kebudayaan sebagai human social life ini, Gus Dur menolak penyatuan negara dan kebudayaan. Hal itu ia sampaikan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Kongres Kebudayaan yang diinisiasi negara (Wahid, 1987). Tebersit dalam pemikiran Gus Dur sebuah premis anarkisme-filosofis, yakni kemurnian manusia tidak bisa dipenuhi otoritas politik.

Dalam konteks itu pula Gus Dur menempatkan kebudayaan secara otosentris. Meminjam Karl Jaspers, kebudayaan ialah lingkaran besar (das umgreifende), yakni semua sektor kehidupan, mulai politik, ekonomi, sosial, praktik agama, hingga budaya itu sendiri harus tunduk pada lingkaran besar tersebut. Kebudayaan menjadi lingkaran besar kehidupan karena ia merupakan upaya manusia memanusiawikan diri melalui pemanusiaan kehidupan (man humanizes himself in humanizing the world around him), pinjam istilah JWM Bakker. Definisi Gus Dur bahwa kehidupan ialah human social life menunjukkan bahwa ia menempatkan kebudayaan sebagai proses manusia memanusiawikan kehidupannya.

 

Pemenuhan kodrati

Dalam konteks ideal kebudayaan sebagai human social life inilah, seluruh pemikiran Gus Dur terpatri. Artinya, ketika kebudayaan merupakan lingkaran besar kehidupan, kebudayaan itu pula menjadi lingkaran besar berbagai subpemikiran Gus Dur terletak di sana.

Hal itu ia dasarkan pada doktrin Islam tentang kesatuan nilai antara tauhid, Syariah, dan akhlak. Menurut Gus Dur, tauhid memang diamalkan melalui syariah dan ibadah. Akan tetapi, ujung dari syariah tersebut ialah akhlak (etika). Dalam kaitan itu, Gus Dur mengembangkan etika, baik secara individual maupun sosial. Sebagai bagian dari kaum Sunni, etika individual Islam hanya bisa terbentuk melalui spiritualitas (tasawuf). Itulah yang membuat Gus Dur menyebut tradisi fikih (syariah) di pesantren sebagai fikih-sufistik, yakni tradisi fikih yang diamalkan melalui pendalaman tasawuf.

Penghayatan sufisme itu tidak hanya dilakukan secara personal oleh seorang muslim, tetapi juga secara organisasional. Dalam konteks inilah Gus Dur menyatakan kata nahdlah dalam Nahdlatul Ulama (NU) diambil dari hikmah kitab tasawuf al-Hikam karya Ibnu Athaillah yang berbunyi: La tashhab man la yunhidluka haluhu ilallah wala yadulluka maqaluhu ilallah. Artinya, janganlah berteman dengan orang yang tindakan dan perkataannya tidak membangkitkan dirimu (la yunhidluka) kepada Allah. Oleh karena itu, terma kebangkitan dalam Kebangkitan Ulama (Nahdlatul Ulama) ialah kebangkitan menuju Allah SWT (Wahid, 1989).

Sementara itu, secara sosial, akhlak juga bersifat sosial (etika sosial) yang Gus Dur rumuskan sebagai cita-cita Islam untuk membentuk ‘struktur masyarakat berkeadilan’. Artinya, akhlak sosial yang merupakan praksis dari syariah ialah pembentukan masyarakat yang etis, yakni sifat etis tersebut diartikan sebagai keadilan sosial (Wahid, 1987). Bagaimana Gus Dur bisa sampai pada kesimpulan ini?

Kesimpulan tersebut, Gus Dur dapatkan dalam tujuan utama syariah Islam (maqashid al-syari’ah) yang memuat perlindungan terhadap hal-hal kodrati manusia (maqashid al-dlaruriyyah), yakni agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Kelima hak kodrati (ushul al-khamsah) inilah yang menjadikan Islam sebagai etika sosial dan menjadi parameter bagi kehidupan sosial manusiawi yang merupakan hakikat kebudayaan tersebut.

Dalam rangka memenuhi hak kodrati manusia itu, Gus Dur memilih negara-bangsa dan demokrasi daripada negara Islam. Mengapa? Karena bagi Gus Dur, negara Islam cenderung terjebak dalam ‘ideologisasi negara’ dan membuat negara tersebut hanya memperjuangkan simbolisme Islam, bukan substansi Islam. Simbolisme itu mengacu pada formalisasi (simbol) syariah, padahal substansi syariah (maqashid al-syari’ah) telah selaras dengan prinsip-prinsip politik kenegaraan modern.

Dalam rangka menjaga kemerdekaan beragama dalam masyarakat yang majemuk, melindungi nyawa warga negara dari otoritarianisme politik, merayakan kebebasan berpikir dan berserikat, merawat keturunan, serta mewujudkan kesejahteraan rakyat inilah, Gus Dur memilih demokrasi. Itu karena hanya demokrasi, dalam artian substantif, yang bisa memastikan terwujudnya maqashid al-syari’ah. Itu artinya, demokrasi pula yang menjadi sistem politik ideal bagi lingkaran besar kebudayaan: human social life. 

 

Kepenuhan pemikiran

Hanya dalam lingkaran besar kebudayaan tersebut kita bisa memahami utuh pemikiran dan pergerakan Gus Dur. Jika dianalogikan, akar dari pemikiran Gus Dur ialah cita-cita perwujudan kehidupan sosial manusiawi. Akar itu lalu menumbuhkan pohon pemikiran yang memuat ‘tiga dahan’, yakni demokrasi (syura), persamaan (musawah), dan keadilan (‘adalah). Ketiga nilai dan gagasan besar yang menyatu itu oleh Gus Dur disebut sebagai pandangan dunia Islam (Islamic world-view).

Dalam ‘demokrasi’ kita mendapatkan pemikiran Gus Dur tentang Islam, negara, dan demokrasi, termasuk perjuangannya di masyarakat sipil melalui NU dan Forum Demokrasi. Dalam ‘persamaan’ kita mendapatkan gagasan Gus Dur tentang persamaan warga negara di hadapan hukum (konstitusi) yang membuatnya menjadi ‘Bapak Kebinekaan’. Sementara itu, dalam ‘keadilan’ kita mendapatkan tujuan utama pemikiran dan gerakan Gus Dur, yakni keadilan, baik keadilan hukum maupun keadilan ekonomi.

Pemikiran Gus Dur tidak akan terbaca utuh jika kita hanya membacanya dari ‘ranting’ dan bukan dari ‘dahan’, apalagi dari ‘akar’. Kepenuhan pemikiran dan perjuangan itulah yang menjadi lingkaran besar kebudayaan Gus Dur yang patut kita pahami, taati, dan lanjutkan!

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat