visitaaponce.com

Kiai Achmad Siddiq, Islam, dan Pancasila

Kiai Achmad Siddiq, Islam, dan Pancasila
(Dok. Pribadi)

SALAH satu tantangan besar bangsa ini ialah menguatkan Pancasila, tidak hanya sebagai dasar dan ideologi negara, tetapi juga pandangan hidup bangsa. Sebagai dasar negara, Pancasila terbatas mendasari lembaga negara. Namun, sebagai pandangan hidup, ia menjadi nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan berbangsa.

Tantangan penguatan itu terletak pada pengakaran Pancasila pada nilai yang lebih tua dari dasar negara tersebut. Salah satunya ialah agama, terutama Islam. Sebagaimana diketahui, hubungan di antara keduanya bersifat dinamis. Pada satu sisi, masih terdapat kelompok yang membenturkan Islam dan Pancasila. Pada saat bersamaan, terdapat pula kelompok yang mencurigai agama sehingga alergi dengan segala hal yang berbau agama. Padahal, secara fitrah, agama bersifat moderat dan mampu menyerap berbagai kemajuan, termasuk hal bernegara.

Salah satu tokoh yang berhasil menyelaraskan Islam dan Pancasila ialah Kiai Achmad Siddiq (1926-1991). Beliau seorang kiai, ulama, dan Rais Aam PBNU yang terpilih pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984. Sebagaimana pengakuan karib beliau, yakni Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Kiai Achmad ialah tokoh yang menuntaskan hubungan ideologi nasional dan agama. Penuntasan itu dilakukan tidak secara taktis, tetapi filosofis. Hal tersebut bisa terjadi karena baik Pancasila maupun Islam memuat dimensi filosofisnya sehingga keduanya bisa dipertemukan dalam konteks ilmu keagamaan.

Pemikiran Kiai Achmad perlu kita pahami bersama dalam rangka menguatkan Pancasila sebagai pandangan hidup, khususnya yang selaras dengan nilai-nilai agama. Sebagaimana semangat pemerintah saat ini. Ketika penulis bertugas di Arab Saudi pada 1982-1987, penulis menjadi manggala penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila untuk warga Indonesia di negara tersebut. Pemikiran Kiai Achmad menjadi salah satu pedoman untuk menjelaskan hubungan Islam dan Pancasila yang masih banyak disalahpahami.

 

Proporsional

Sebagai ulama moderat, Kiai Achmad mengajak kita untuk bersikap proporsional dalam mendudukkan hubungan Islam dan Pancasila, atau istilah beliau wadl’u syaiin fi mahallihi, menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Bagi Kiai Achmad, Pancasila ialah dasar dan ideologi negara, sedangkan Islam ialah agama. Pandangan itu senada dengan sikap pemerintah Orde Baru saat itu yang menegaskan Pancasila bukan agama dan tidak akan dijadikan pengganti agama. Penegasan itu ditujukan agar pemuka agama tidak menilai kebijakan asas tunggal Pancasila pada waktu itu sebagai kebijakan 'mengagamakan' Pancasila.

Pandangan Kiai Achmad soal proporsionalitas Islam dan Pancasila tersebut tecermin dalam butir pertama Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila yang dikeluarkan munas Alim Ulama NU di Pesantren Salafiyah, Sukorejo, Situbondo, pada 1983. Butir pertama menyatakan Pancasila bukan agama, tidak bisa mengganti agama, dan tidak akan dijadikan sebagai pengganti agama.

Itulah yang membuat Kiai Achmad mengajak kita untuk tidak berlebihan dalam berpancasila (al-ghuluwwu fil Pancasila), tetapi juga tidak berlebihan dalam menerapkan ajaran agama (al-ghuluwwu fiddin). Sikap yang pertama cenderung menempatkan Pancasila sebagai kuasi-agama, sedangkan sikap yang kedua bisa berbentuk penolakan terhadap Pancasila.

Dalam hubungan yang proporsional itu, relasi Islam dan Pancasila tidak bersifat polarisatif, tetapi dialogis. Menurut Kiai Achmad, hal itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, keterlibatan para tokoh Islam sebagai perumus Pancasila. Yang dimaksud Kiai Achmad ini ialah anggota Panitia Sembilan yang menyusun Piagam Jakarta. Tokoh Islam tersebut ialah Kiai Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikusno Cokrosuyoso, dan Kahar Muzakkir. Sementara itu, kelompok nasionalis, yakni Ir Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan Achmad Soebardjo merupakan muslim. Hanya Mr AA Maramis yang seorang kristiani.

Tokoh nasionalis muslim mengusung paham 'nasionalisme-religius' dengan menekankan pentingnya nilai ketuhanan di dalam dasar negara. Dalam pidatonya pada 31 Mei 1945 di sidang BPUPKI, Mr Soepomo, nasionalis sekaligus ahli studi Islam (islamolog), menegaskan negara nasional ialah negara berdasarkan nilai-nilai luhur yang dimuliakan agama.

Bahkan, dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno mengusulkan prinsip 'bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa' sebagai sila kelima dari usulan awal Pancasila. Artinya, Soekarno mengusulkan prinsip ketakwaan sebagai bagian dari Pancasila. Hanya saja pada 1 Juni, Soekarno menempatkan sila ketuhanan sebagai sila kelima. Hal itu yang direvisi Panitia Sembilan yang menaikkan ketuhanan sebagai sila pertama.

Peran utama para tokoh Islam terjadi dalam proses menuju finalisasi Pancasila, yakni momen 18 Agustus 1945 menjelang sidang PPKI. Pada momen itu, Bung Hatta melobi empat tokoh Islam, yakni Kiai Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Muhammad Hasan. Lobi tersebut bertujuan mengganti sila Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam, untuk diganti dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Para tokoh Islam tersebut sepakat dengan alasan demi persatuan bangsa serta terdapatnya keselarasan antara sila Ketuhanan YME dan nilai Islam.

MI/Duta

 

Keselarasan Islam

Dalam buku karya beliau; Islam, Pancasila dan Ukhuwah Islamiyah (1985), Kiai Achmad menjelaskan kalimat 'Yang Maha Esa' pada sila pertama merupakan imbangan dan imbalan tujuh kata yang dihapus menurut rumusan semula. Sila Ketuhanan YME itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme) menurut akidah Islamiyah (Al-Qur’an surat Al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, kita bersyukur dan berdoa.

Kedua, keselarasan nilai-nilai Pancasila dan Pancasila. Bagi Kiai Achmad, meskipun Pancasila bukan agama, melainkan nilai-nilainya mencerminkan nilai-nilai agama. Ia memberikan analogi, jika sila Ketuhanan YME mencerminkan prinsip keimanan (aamanu) kepada Allah SWT, sila-sila lainnya mencerminkan prinsip amal saleh ('amilussholihat).

Mengapa sila-sila lainnya disebut sebagai amal saleh? Karena sila kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial merupakan bagian dari ajaran Islam. Surat Al-Maidah (32) menyatakan, Allah SWT mengutuk pembunuhan satu nyawa sebab seakan-akan hal itu membunuh seluruh umat manusia.

Sebaliknya, menyelamatkan satu nyawa, seakan-akan menyelamatkan seluruh umat manusia. Ayat itu mencerminkan sila kemanusiaan. Demikian pula Al-Maidah (48) menegaskan tujuan penciptaan manusia yang beragam agar kita bisa bijak dalam menyikapi keberagaman itu dengan berlomba berbuat baik (fastabiq al-khairat). Ayat itu mencerminkan sila persatuan di tengah keragaman (kebangsaan).

Bahkan, redaksi sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, bersumber dari peribahasa Arab, raks al-hikmah al-masyurah (mahkota kebijaksanaan ialah musyawarah). Menurut Nurcholish Madjid, redaksi tersebut diusulkan Haji Agus Salim dalam rapat Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945.

 

Satu abad NU

Menjelang satu abad NU yang akan diperingati pada 16 Rajab 1444 Hijriah atau 7 Februari 2023, teladan Kiai Achmad Siddiq yang berperan sebagai jembatan Islam dan Pancasila perlu ditindaklanjuti. Teladan ini tidak hanya diberikan oleh beliau, tetapi juga oleh kiai-kiai lain, terutama oleh NU sebagai organisasi.

Jembatan Islam dan Pancasila pertama kali diperankan KH Wahid Hasyim, anggota BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI. Sebagaimana diakui proklamator kita, Mohammad Hatta, dalam Memoir-nya (1979), bahwa Kiai Wahid memberikan pemaknaan terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai cerminan dari tauhid.

Atas dasar pemikiran inilah, para tokoh Islam dari Muhammadiyah dan Aceh bersedia menerima sila tersebut. Tradisi menjembatani Islam dan Pancasila juga dilanjutkan Gus Dur. Bahkan, Gus Dur memiliki pemikiran yang radikal tentang hal itu dengan menempatkan agama sebagai salah satu sumber dari Pancasila. Status agama sebagai sumber Pancasila ini dimungkinkan keberadaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang jika meminjam istilah Prof Notonagoro disebut sebagai sebab utama bagi sila-sila lainnya. Itulah hubungan yang unik antara ideologi negara dan agama; satu sisi agama menjadi sumber bagi Pancasila, dan pada saat bersamaan, negara melindungi hak warga negara dalam beragama.

Teladan jembatan Islam dan Pancasila itu mesti dilanjutkan NU. Jika saat ini NU ingin lebih berperan dalam membangun peradaban global, keberhasilan NU dalam mengawal dasar negara nasional Pancasila, layak menjadi teladan dunia. Berdasarkan Pancasila, Indonesia menjadi negara yang sangat islami meskipun secara formal bukan negara Islam.

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat