visitaaponce.com

Narasi Semu Keterbukaan Informasi Pemilu

Narasi Semu Keterbukaan Informasi Pemilu
(Dok. Pribadi)

SAAT ini, proses penyelenggaraan Pemilu 2024 tengah menghadapi tahapan krusial, yakni verifikasi faktual calon perseorangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan pemutakhiran daftar pemilih. Pascapenetapan peserta Pemilu 2024 serta penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, problem keterbukaan informasi publik penyelenggara pemilu kembali menjadi sorotan.

Mencuatnya isu dugaan manipulasi dan kecurangan data Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) yang terjadi pada subtahapan pendaftaran dan verifikasi faktual partai politik, serta adanya gugatan sengketa pada verifikasi administrasi pencalonan DPD tahun 2024 akibat kendala aplikasi Sistem Informasi Pencalonan (Silon), mengindikasikan bahwa implementasi keterbukaan informasi publik di Pemilu 2024 masih jauh dari harapan.

Narasi pemilu inklusif dan terbuka yang kerap kali digaungkan seakan menjadi paradoks tatkala ketertutupan masih menjadi kendala utama dalam membangun demokrasi yang mapan. Padahal, sejatinya, lembaga demokrasi seperti penyelenggara pemilu harus mampu mentransformasikan dirinya menjadi lembaga yang terbuka, partisipatif, aksesibel, dan akuntabel sebagai bentuk perwujudan dari demokratisasi dalam menciptakan masyarakat informatif dan berkeadilan.

Dalam teori tindakan komunikatif yang dicetuskan oleh Habermas, masyarakat komunikatif dapat melakukan kritik melalui argumentasinya dengan diskursus publik (Hardiman, 2009). Ruang publik sebagai ruang demokrasi dapat memfasilitasi antara penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pemilih.

Keterlibatan warga negara (citizen engagement) menjadi inti dalam demokrasi deliberatif. Kontribusi pemilih dalam pemilu akan menjadi signifikan ketika memiliki pengetahuan dan kesadaran yang cukup untuk ikut serta berpartisipasi. Keterbukaan informasi dan tersedianya ruang komunikasi menjadi sarana untuk mengedukasi pemilih dalam meningkatkan intensitas dan kualitas keterlibatannya dalam proses penyelenggaraan pemilu.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik semakin memperkuat bahwa regulasi tersebut dapat menjadi spirit badan publik. Terkhusus, penyelenggara pemilu untuk mewujudkan proses penyelenggaraan tahapan dengan lebih terbuka mengenai informasi kelembagaannya sehingga dapat membuka partisipasi publik secara luas. Keterbukaan dan transparansi penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP menjadi sangat penting untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dalam memperkuat legitimasi proses dan hasil pemilu (Balington, 2014).

Komunikasi politik terbuka oleh semua elemen yang terlibat dalam pemilu menjadi kunci memperkuat demokrasi. Keterbukaan informasi juga dapat membangun budaya politik yang adil dan setara sehingga dapat diimplementasikan melalui aspek formal regulasi dengan menghadirkan gagasan (Voltmer, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Moore (2018) mengungkapkan bahwa keterbukaan lembaga publik dapat membangun kepercayaan publik (public trust) serta komunikasi dua arah (two way commucication).

MI/Seno

 

Narasi semu transparansi dan akuntabilitas

Di tengah kerumitan dan kompleksitas Pemilu 2024 yang akan dihadapi, KPU sebagai pelaksana pemilu telah beradaptasi dengan menghadirkan teknologi informasi (TI) pemilu. Harapannya, data dan informasi yang disuguhkan kepada publik dapat lebih mudah diakses untuk membangun interaksi dengan publik, efektif, efisien, serta menjamin transparansi dan akuntabilitas sistem TI.

Publik juga berhak memberikan respons atas perkembangan teknologi informasi tersebut dalam rangka memberikan pelayanan informasi secara utuh. Namun, kenyataannya, teknologi informasi justru menimbulkan polemik baru, terutama pada permasalahan teknis. Digitalisasi pemilu seakan menjadi ruang gelap, dan masyarakat kesulitan untuk melakukan pengawasan serta mendapatkan informasi di setiap tahapan. Hasil survei sederhana yang dilakukan oleh Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), sekitar 47% masyarakat kita belum mengetahui hari pemungutan dan penghitungan suara yang akan digelar pada 14 Februari 2024.

Sebagai contoh lain, respons publik baik secara individu maupun kelompok sangat besar muncul untuk melakukan pengecekan terhadap pencatutan nama saat pendaftaran, verifikasi dan penetapan partai politik melalui info.pemilu.kpu.go.id yang telah disediakan oleh KPU. Tidak sedikit masyarakat, jurnalis, penyelenggara pemilu, akademisi, pemantau pemilu, anggota TNI/Polri, serta ASN yang namanya dicatut oleh partai politik melalui pengepul KTP.

Bahkan, warga sudah menempuh jalur keberatan dan mengajukan pengaduan pada https://helpdesk.kpu.go.id/tanggapan, tetapi responsnya sangat lamban. Hingga penetapan peserta Pemilu 2024, masih terdapat banyak warga negara yang namanya masih dicatut. Sebagian warga tersebut, tidak sedikit yang melapor dan mengadu kepada DEEP untuk dibantu namanya dihapus dari keanggotaan partai karena hendak mendaftar menjadi penyelenggara pemilu ad hoc. Sayangnya, pengaduan yang disampaikan publik tidak langsung cepat direspons dan ditindaklanjuti oleh KPU kepada partai politik.

Tidak hanya itu, fakta terbaru hasil pemantauan yang dilakukan oleh DEEP pada subtahapan pencocokan dan penelitian (coklit) di enam provinsi, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Gorontalo, Sumatra Utara, Jawa Timur, dan Lampung, terdapat PPS dan Pantarlih yang mengeluhkan aplikasi coklit (e-coklit) sulit diakses, trouble, dan eror. Mereka kesulitan dalam melakukan input data yang berkaitan dengan perbaikan elemen data pemilih atau memasukkan pemilih baru.

Pengawas pemilu juga tidak sedikit yang mengalami kendala dalam melakukan pengawasan karena mengalami hambatan akses data sistem yang dimiliki KPU. Tatkala kepada sesama penyelenggara pemilu saja tidak terbuka, lalu bagaimana pertanggungjawaban kepada publik?

Dalam proses pencalonan DPD RI 2024 juga terjadi hal yang sama. Banyak warga yang namanya dicatut karena merasa tidak memberikan dukungan kepada bakal calon anggota DPD. Hasil pengawasan Bawaslu Kabupaten Bandung, jumlah pemilih yang namanya dicatut sebagai pendukung calon DPD sangat fantasis, mencapai 534 orang. Ternyata, banyak warga yang melakukan pengecekan melalui info.pemilu.kpu.go.id namanya tidak tercatat, tetapi di Silon ternyata ada. Potret ini menunjukkan bahwa ternyata sistem TI yang dikelola oleh KPU tersebut tidak terintegrasi antara satu sistem dan sistem lainnya. Dengan begitu, hal ini juga dapat memicu tingginya potensi sengketa yang diajukan calon DPD kepada Bawaslu.

Sistem teknologi informasi ini seakan menjadi eksklusif karena hanya dapat diakses dan dikontrol oleh jajaran KPU sampai tingkat kelurahan/desa. Padahal, partisipasi publik dalam penyelenggaraan setiap tahapan pemilu ikut serta membantu terselenggaranya proses penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil (free and fair election). Dengan demikian, potensi kecurangan semakin kecil karena penyelenggara pemilu dapat diawasi secara langsung oleh publik. Hasil kajian Ashari (2019) terkait teknologi informasi KPU, jaminan akurasi informasi serta common acceptance yang menurut International IDEA adalah alasan penting penggunaan teknologi belum dapat diwujudkan.

Administration and Cost of Elections (ACE) Project menyarankan kepada penyelenggara pemilu yang menerapkan teknologi untuk mengikuti beberapa prinsip yang telah diidentifikasi oleh beberapa lembaga internasional, yakni penilaian yang menyeluruh (holistik) terhadap kemajuan teknologi, mempertimbangkan dampak dari penerapan teknologi, menjaga transparansi dan etika, memperhatikan dan memastikan keamanan teknologi, serta mencoba/mengetes akurasi data yang dihasilkan. Selanjutnya, memastikan kerahasiaan yang bersifat data pribadi, memastikan inklusivitas, mempertimbangkan efektivitas biaya, mengevaluasi efisiensi teknologi, mudah digunakan dan dipercaya masyarakat, juga menilai fleksibilitas teknologi dengan regulasi pemilu.

Berkaitan dengan penguatan regulasi, Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak mengatur satu frasa pun menyangkut teknologi informasi pemilu. Namun, penggunaan teknologi informasi secara teknis telah diatur, baik itu di peraturan KPU maupun Bawaslu, meskipun hal tersebut sudah diusulkan dalam revisi UU Pemilu agar memiliki payung hukum yang kuat, tetapi ditolak Komisi II DPR.

Di tahapan lain, pada proses seleksi KPU yang tersebar di 20 provinsi gelombang pertama, 118 kabupaten/kota di gelombang kedua, serta di 5 Bawaslu provinsi, rekrutmen tidak dilakukan secara terbuka seperti halnya pada seleksi Bawaslu sebelumnya. Penetapan tim seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu secara tertutup tersebut menimbulkan pertanyaan karena seolah menutup ruang partisipasi publik. Pemilihan timsel oleh KPU ataupun Bawaslu menjadi sangat subjektif. Tidak ada jaminan bahwa timsel yang terpilih benar-benar independen dan sesuai amanat undang-undang.

Hasil penelusuran organisasi masyarakat sipil seperti yang dilakukan JPPR dan KIPP, ada timsel yang terindikasi memiliki keberpihakan dengan partai politik tertentu. Ada pula tim seleksi yang masih menjabat sebagai penyelenggara pemilu sehingga benturan kepentingannya sangat kuat. Meskipun KPU juga meminta masukan dan saran masyarakat mengenai rekam jejak timsel, bagaimana masyarakat bisa proaktif tatkala pengumuman timsel hanya diketahui oleh kalangan tertentu. Di samping itu, pelibatan perempuan dalam timsel dinilai masih sangat minim dan rendah, belum memenuhi kuota 30%.

 

Keterbukaan partai politik

Bukan hanya penyelenggara pemilu yang dituntut untuk terbuka, tetapi juga partai politik sebagai lembaga publik dan tulang punggung demokrasi. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa partai politik belum sepenuhnya terbuka sehingga menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat.

Sebagian kalangan menilai partai politik justru menjadi episentrum dalam masalah politik di Indonesia karena ketidakterbukaan (Haris, 2014). Imbasnya, pemilu di Indonesia belum benar-benar sehat sehingga lahirlah kebijakan yang eksklusif, tidak aspiratif, salah sasaran, dan tidak relevan.

Pemilu 2024 menjadi momentum yang tepat untuk mendorong partai memiliki performa lebih baik dalam keterbukaan informasi publik. Amanat Pasal 39 UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, di mana informasi politik menjadi salah satu bagian dari informasi publik, serta Pasal 15 UU No 14 Tahun 2008 yang mengatur kewajiban partai politik dalam menyediakan informasi publik, harus direalisasikan dan tak sekadar seremonial.

Partai politik tidak hanya didorong untuk terbuka dalam mekanisme pengambilan keputusan partai, tapi juga harus terbuka mengenai masalah sumber keuangan dan penggunaannya, termasuk juga dana kampanye pemilu. Perlu diakui, keberadaan partai selama ini belum berhasil merangkul masyarakat dengan segenap kepentingannya (Noor, 2022). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika party identity di Indonesia masih berada dalam posisi yang rendah.

Pemilu bukan sekadar ajang memperoleh suara dengan menghalalkan segala cara, tetapi menjadi pembuktian 18 partai politik dan 6 partai lokal Aceh mampu menunjukkan komitmen untuk berkompetisi secara sehat dengan pendekatan idealisme dalam meyakinkan pemilih.

Bangun komunikasi publik secara terbuka dua arah, jangan menjelma menjadi lembaga yang elitis. Lakukan kaderisasi dan rekrutmen caleg dengan membuka partisipasi publik agar masyarakat bisa mengenal caleg dari setiap partai sehingga menghasilkan calon-calon wakil rakyat yang benar-benar merakyat dengan kampanye politik tanpa mahar.

Menjalankan asas keterbukaan memang menjadi tantangan yang berat, apalagi untuk partai baru. Akan tetapi, bukan berarti partai tidak bisa melakukannya sebab keterbukaan informasi tidak hanya untuk membangun kepercayaan publik dalam jangka panjang semata, tapi juga menjadi ikhtiar mengembalikan demokrasi ke arah yang benar dan terlepas dari partai politik kartel yang selama ini menyelinap dalam pusaran kekuasaan elitisme.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat