visitaaponce.com

Hidup Minimalis

Hidup Minimalis
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

“SEBENARNYA wajar jika harga sepotong blus cuma Rp25 ribu di pasar loak, namanya juga bekas. Kalau perkara kebersihan kan bisa dicuci dulu. Lagian ngapain bela-belain beli barang mahal dan bermerek, kalau akhirnya hanya menumpuk di lemari dan mendongkrak tagihan kartu kredit,” begitu kata kawan saya ketika saya ajak berdiskusi perihal impor pakaian bekas yang kini kembali ramai diperbincangkan. Sesekali, kawan saya ini memang suka berburu baju bekas di Pasar Senen untuk dipadu padankan sebagai busana sehari-hari. Makanya saya minta pendapatnya mengenai hal ini dari sisi konsumen. Ia bukan kere, tetapi suka bergaya simpel, kece, dan sederhana.

Konsumen pakaian bekas seperti kawan saya ini tentu tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, sesuai teori supply-demand, bisnis semacam itu kian subur, baik yang berjualan secara daring maupun luring. Itulah yang kabarnya membuat gerah sejumlah petinggi negeri, dari Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, hingga Presiden Jokowi. Mereka khawatir jika bisnis yang dianggap ilegal ini terus dibiarkan akan mematikan industri nasional, terutama UMKM. Padahal, satu hal yang harus diingat, para pengusaha thrifting (bisnis pakaian, sepatu, atau tas bekas) ini, umumnya juga golongan kecil-menengah dan belum tentu semuanya ilegal.

Lagi pula, urusan legal dan tidaknya beserta regulasi yang mengaturnya, itu kan memang wewenang dan tugas aparatur pemerintah. Aturan larangan impor pakaian bekas bahkan sudah ada sejak beberapa tahun silam melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015. Regulasi itu pun terus dimutakhirkan melalui Permendag Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor, yang di dalamnya termasuk pakaian bekas. Jika mereka gusar dan kesal mengapa bisnis ini masih marak, tentu instansi dan pihak terkaitlah yang mesti dimintai pertanggungjawaban.

Namun, kita mungkin juga bisa melihat persoalan ini dari perspektif lain, tidak semata dari aspek hukum. Sebagai bagian dari budaya populer, industri fesyen (termasuk baju, tas, dan sepatu di dalamnya) memang didesain sedemikian rupa agar tidak bertahan lama. Tujuannya, ya agar terus berputar dan dikonsumsi massal, seperti halnya juga musik dan film. Makanya ada istilah tren, style/gaya, atau genre. Semua itu tidak lain hanyalah siasat dagang, mantra para saudagar untuk memasarkan produk mereka. Kalau trennya begitu-begitu saja, mereka enggak akan pernah untung banyak. Makanya, berbagai upaya dikreasi para juragan fesyen ini, termasuk dengan menciptakan berbagai istilah yang terdengar atau terkesan keren. Tujuannya, seperti kata Jean Baudrillard, pemikir Prancis, tiada lain mendorong kita untuk terus mengonsumsi sampai mati.

Celakanya, industri fesyen yang tergolong fast dan konsumtif ini, belakangan mulai disadari berdampak buruk pada lingkungan. Selain dari proses pembuatannya, pakaian-pakaian yang diproduksi cepat dan massal ini kerap berakhir sebagai limbah yang mencemari lingkungan. Makanya, untuk melawan hegemoni ini, belakangan muncul gerakan yang mendorong sustainable fashion di kalangan anak muda, termasuk yang dilakukan aktivis lingkungan, Greta Thunberg. Remaja asal Swedia itu memutuskan tidak lagi membeli baju baru, tetapi saling bertukar dengan remaja lainnya. Budaya thrifting, juga bagian dari gerakan ini. Tujuannya, untuk mengurangi produksi limbah yang dihasilkan dari industri fesyen. Gerakan atau aksi ini juga sebagai bagian dari upaya untuk menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim.

Dari perspektif ini, mungkin saatnya kita kini juga bisa mulai mengubah cara dalam mengonsumsi dan memulai gaya hidup minimalis. Misalnya, membeli barang (bukan cuma pakaian) sesuai dengan nilai guna, bukan apa yang menarik di mata. Apalagi sekadar kesan semu yang ingin dicitrakan di Instagram, seperti yang dilakukan keluarga dan anak-anak pejabat itu, atau jika ada sepatu atau baju yang tidak terpakai menumpuk di rak dan lemari, bisa juga dilego lewat garage sale untuk amal atau disumbangkan ke orang lain yang membutuhkan. Mumpung ini katanya bulan baik. Siapa tahu, itu bermanfaat buat mereka untuk menyambut Hari Raya. Wasalam.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat