visitaaponce.com

Mengomunikasikan Kebaikan

Mengomunikasikan Kebaikan
Suwatno(Dok pribadi)

SEBAGAI bulan yang sarat rahmat, Ramadan sepatutnya diisi oleh setiap individu dengan laku kebaikan. Perilaku dan perbuatan baik selayaknya menjadi ekspresi syukur atas kelimpahan mahabbah (cinta) Tuhan kepada manusia. 

Tentu tidak semata di tiap bulan suci. Tapi setidaknya secara psikologis momentum ini menjadi instrumen bagi manusia untuk lebih 'menahan diri' dari hasrat profan. Termasuk dari godaan gurihnya korupsi, atau penyalahgunaan kekuasaan.

Sayangnya, laku keburukan-kejahatan manusia tidak libur di bulan suci. Televisi dan media sosial masih kerap mewartakan warna-warni kasus yang membuat kita geleng kepala. Baik dari masyarakat jelata, hingga pejabat negara. 

Secara dialektik, kebaikan dan kejahatan memang telah ditakdirkan untuk terus bertarung. Saat kebaikan lebih dominan, masyarakat kian beradab dan berkarakter madani. Saat yang terjadi sebaliknya, masyarakat kian barbar dan berjiwa satanik. 

Di titik ini, saya teringat dengan ucapan seorang kyai muda yang tengah kondang, Gus Baha (KH Bahaudin Nursalim). Beliau berkali-kali memotivasi para jamaahnya untuk terus mengomunikasikan kebaikan, juga kebenaran. Kata Gus Baha kebaikan itu harus dimaklumatkan.

Anjuran tersebut, dalam perspektif komunikasi, menemukan relevansinya. Pertama, komunikasi itu, sebagaimana dijelaskan Bartol dan Martin, adalah pertukaran pesan untuk tujuan mencapai makna bersama. Dalam hal ini, pesan-pesan kebaikan yang terus dikomunikasikan oleh banyak orang akan membentuk 'budaya kebaikan'. Sesuatu yang baik (ma’ruf) harus terus dikatakan baik. Sebaliknya sesuatu yang buruk (munkar) harus terus dikatakan buruk. Menempatkan keduanya di ranah abu-abu mengakibatkan risiko-risiko sosiologis.

Ekspresi ini akan menjaga kesehatan psikologi publik, sehingga mereka tidak malu atau ragu untuk merekognisi perbuatan baik, dan tidak mendukung laku keburukan. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika manusia meng-endorse keburukan. Kita bersyukur, masyarakat masih mengutuk perilaku pembunuhan yang dilakukan oleh seorang dukun pengganda uang bernama Mbah Slamet di Banjarnegara, Jawa Tengah. 

Publik juga menampilkan ekspresi geram atas kejanggalan transaksi Rp349 triliun yang diduga dilakukan oleh banyak pejabat negara untuk merengkuh kekayaan pribadi. Demikian pula perilaku penganiayaan yang dilakukan oleh seorang anak pejabat serta gaya hidup hedonisnya, masih dikritisi oleh sebagian besar warganet. Dalam konteks ini, meski terkadang sikap warganet Indonesia terlalu berlebihan, namun akan lebih berbahaya jika mereka masa bodoh terhadap segala fenomena yang terjadi.

Kedua, mengomunikasikan kebaikan (dan kebenaran), sejatinya merupakan tugas profetik. Para nabi diutus untuk hal itu. Yang menarik, sepengetahuan saya, semua nabi dengan sangat jelas mendeklarasikan kepada ummatnya tentang positioning mereka. Setidaknya 25 nabi yang dikisahkan di Al-Qur’an, tidak ada satupun dari mereka yang menyembunyikan status kenabiannya. Dengan demikian ummatnya tahu kepada siapa mereka harus bertanya. Inilah yang membedakan nabi dengan filsuf atau manusia bijak, yang hanya mengajarkan nilai-nilai moral-humanistik.

Dalam hal ini, menyampaikan 'status' yang menunjukkan kapasitas dan kompetensi seseorang sangatlah penting. Dalam konteks mengomunikasikan kebaikan, faktor ini kerap dikesampingkan. Padahal, kredibilitas komunikator kebaikan menjadi unsur penguat efektivitas tindakan komunikasi. 

Harus dengan cara baik

Mengomunikasikan kebaikan juga seyogyanya dilakukan secara kontekstual dengan cara-cara yang ahsan (baik). Sebagaimana dijelaskan oleh Jones (2013), bahwa komunikasi adalah proses menghasilkan makna dengan mengirim simbol verbal maupun nonverbal yang dipengaruhi oleh berbagai konteks. Efektivitas komunikasi tidak hanya memperhatikan kata-kata, tapi juga ketepatan penggunaan bahasa tubuh. Pesan berlatar cinta dan kebencian akan menghasilkan dampak yang berbeda.

Kita bisa belajar bagaimana Nabi Musa memberi peringatan kepada Fir’aun dengan kata-kata yang santun. Bahkan, saat khalifah Harun Ar-Rasyid didatangi oleh seorang laki-laki pedalaman untuk memberikan kritik kasar kepadanya, ia menjawab; "Demi Allah, aku tidak bersedia mendengarnya. Karena Allah telah mengutus orang yang lebih baik darimu (Nabi Musa) kepada orang yang lebih buruk daripadaku (Firaun)." 

Dalam ilmu komunikasi, kita mengenal beberapa keterampilan untuk menghasilkan komunikasi efektif. Biasanya disingkat 7C; clear, concise, concrete, correct, coherent, complete, courteous (jelas, ringkas, konkrit, benar, koheren, lengkap, dan santun). Ketujuh teknik ini memang mudah secara teori namun seringkali sulit dipraktikkan. Apalagi jika dilakukan di dunia maya, dimana kebenaran, kelengkapan dan kesantunannya kerap problematik.

Untuk itu, di momen Ramadan ini, seyogyanya menjadi arena latihan kita untuk membangun keterampilan komunikasi yang lebih beradab. Karena mengomunikasikan kebaikan harus dilakukan dengan cara yang baik pula. Apalagi, tahun ini kita tengah masuk ke tahun politik, yang rawan dengan 'perang narasi'. Alangkah lebih indah, apabila para kandidat dalam Pemilu nanti lebih fokus mengomunikasikan kebaikan-kebaikannya, tanpa menjatuhkan para rivalnya. Semoga Ramadan kali ini bermakna.
 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat