visitaaponce.com

Kapolri, Titik Terbit Kepercayaan Publik dan Isu Polarisasi

Kapolri, Titik Terbit Kepercayaan Publik dan Isu Polarisasi
Endang Tirtana, kandidat Doktor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Peneliti Senior MAARIF Institute(MI/HO)

MUNGKIN  belum banyak ‘mengubah permainan’ seperti yang diharapkan publik. Namun jelas, Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo dalam 26 bulan masa baktinya sejak akhir Januari 2021 sebagai Kapolri, telah menancapkan beberapa tonggak mengejutkan untuk memperbaiki trust masyarakat kepada institusi kepolisian kita.
 
Keraguan sebagian pengamat dan kelompok masyarakat di masa awal pengangkatannya, akan mampu “mengubah permainan” dalam usaha mereformasi Polri, setahap demi setahap tampaknya mulai berganti dengan kepercayaan yang makin meningkat.

Proses hukum berujung vonis mati terhadap Ferdy Sambo, jelas menjadi titik tolak terbitnya kepercayaan publik itu. Dalam waktu yang berhampiran, polisi juga memproses seorang mantan Kapolda Sumatra Barat yang terlibat kasus narkotika. Sejumlah petinggi Polri aktif berpangkat AKB dan setaranya belakangan juga telah dipolisikan dan dijerat kasus pidana.
 
Secara tradisional, masyarakat menganggap penegakan hukum atas perwira aktif berpangkat tinggi dan sedang menjabat merupakan tolok ukur sederhana untuk menilai kesungguhan seorang penegak hukum seperti Kapolri. Pepatah, hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas timbul karena jarangnya keadaan itu berlaku di Republik ini. Manakala masyarakat kemudian menyaksikan ternyata polisi berani mengambil tindakan tegas pada anggotanya yang berpangkat jendral, tentu menimbulkan kesan besar di hati masyarakat; seakan-akan fajar keadilan telah terbit. Terbaru, hasil survey beberapa lembaga survey nasional yang memperlihatkan meningkatnya kepercayaan pada lembaga Polri telah memperkuat anggapan semacam ini.
 
Tetapi survey adalah model pengujian permukaan berdasarkan “mood sosial”. Sifatnya tidak stabil, tidak permanen. Sementara di balik meningkatnya kepercayaan publik pada Polri itu sebenarnya terkandung tuntutan yang lebih mendalam, yakni Polri yang transformatif – dalam arti kepolisian yang dapat memulihkan peran sebagai penegak hukum dan pemberi rasa aman yang adil, yang menurut konsepsi ideal demokrasi modern, mampu berdiri di jalur tengah antara berbagai kepentingan dan kelompok masyarakat yang bervariasi dan saling berbenturan. Antara yang baik dan yang jahat, antara kebutuhan elit dan kebutuhan rakyat kawula, antara kepentingan pemodal dan kepentingan umum. Dengan kata lain, konsepsi ini bertujuan untuk menciptakan rasa aman yang merata melalui penegakan hukum bagi warga negara sebagai syarat dari terciptanya suatu masyarakat yang demokratis.
 
Konsep kepolisian kita selaras dengan konsep itu. Menurut Undang-undang No 2 tahun 2002 poin a, tentang kepolisian, substansi dari keberadaan lembaga kepolisian Republik Indonesia adalah untuk menjadi instrumen pokok bagi mewujudkan masyarakat madani: “keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
 
Selanjutnya pada poin b diterangkan bahwa kepolisian adalah operator utama untuk mewujudkan rasa aman itu; “ bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Polri selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
 
Cakupan substansi tugas dan tanggungjawab yang luas semacam itu, tentu memberi wewenang yang luas pula. Namun pada saat bersamaan, membuat polisi rentan berada dalam posisi yang dilematis – terutama bila kekuasaan salah dalam mengambil satu kebijakan untuk menangani berbagai persoalan sosial, politik dan keamanan. Definisi alat negara kadang mengandung bias, karena itu dapat juga berarti ‘alat kekuasaan’ atau dapat diinterpretasi menurut kepentingan kekuasaan. Pada momen seperti itu, polisi tak jarang didorong bertindak represif demi kebutuhan kekuasaan, sehingga menciptakan jarak dengan masyarakat yang seharusnya dilindungi dan diayomi.
 
Jendral Listyo Sigit ingin polisi dicintai, itulah yang tampak menjadi obsesinya melalui langkah-langkah pembenahan kultur yang telah ia terapkan di lembaga yang ia pimpin. Metode yang ia percayai untuk melakukan itu juga sangat sederhana dan mudah dimengerti, yakni memperbaiki dari hal kecil, sebagaimana dapat kita baca pada tweetnya di akun twitternya @ListyoSigitP pada pukul 1:16 PM, 25 Februari 2022. Di bawah tagar #setapakperubahan ia menyebut; Alur Perubahan Kultur SDM Polri terdiri dari nilai kebaikan yang baik dibiasakan, perilaku di mana norma/moral menjadi keutamaan, tidak menimbulkan pelanggaran, sehingga kebaikan kecil terakumulasi & mengubah budaya organisasi. dan akhirnya menjadi polisi yang dicintai dan dekat dengan masyarakat.
 
Belum kita ketahui sejauh mana tagar #setapakperubahan itu telah tersosialisasi dengan baik di kalangan anak buahnya. Namun mengingat tweet di atas ia cantumkan di akun media sosial pribadinya, dapatlah kita maknai, bahwa seluruh upayanya untuk memperbaiki lembaga yang ia pimpin kini memang pertama sekali didasari oleh obsesi agar polisi dicintai masyarakat secara berkesinambungan dari waktu ke waktu. Suatu keinginan yang pastinya diangankan banyak orang dan terpenting, memang begitulah tuntutan undang-undang negara yang berlaku.
 
Netralitas dan potensi polarisasi
 
Situasi politik, jelas menjadi salah satu sektor yang menjadi fokus perhatiannya. Ia intens mewacanakan “netralitas polisi” untuk ambil bagian mencegah apa yang ia sebut “polarisasi masyarakat”. Kita mengerti, yang ia tuju dengan topik itu tak lain Pemilu 2024 yang prosesnya sudah dimulai.
 
Sejauh berdasar hasil pengkajian yang dilakukan oleh beberapa peneliti dan telah diumumkan ke publik, cukup logis mengapa seorang Kapolri perlu meningkatkan kewaspadaannya pada topik polarisasi masyarakat menjelang pemilu 2024 itu. Laboratorium Psikologi Politik UI antaranya, 19 Maret 2023 (kompas.id) lalu kembali merilis potensi polarisasi bukanlah mitos, tetapi fakta. Hasil riset akademis lembaga itu menyatakan Polarisasi seperti yang terjadi pada pemilu 2019 kemungkinan terulang pada pemilu 2024 nanti.
 
Lebih jauh, LPP UI menyatakan faktor yang mendorong polarisasi itu adalah sentimen agama. Dengan demikian, seperti biasa, kita akan melihat agama kembali akan menjadi tumpukan bubuk yang siap menyala demi kepentingan politik praktis. Selain itu, rilis peneletian itu juga menyebut adanya polarisasi berbasis kinerja pemerintah dan anti-asing.
 
Di Indonesia, polarisasi telah menjadi topik yang diminati akademisi sejak pemilu 2014 hingga sekarang.  Istilah ini digunakan untuk menggambarkan bagaimana kompetisi brutal di dunia politik menjadi momentum yang membuka potensi keterbelahan masyarakat yang memang sudah ada akar historis dan kulturalnya. Sering disebut, di antara faktor yang paling menyumbang proses polarisasi itu adalah sentimen agama.
 
Tetapi, Eve Warburtond (2020) dalam Deepening Polarization and Democratic Decline in Indonesia menulis faktor agama perlu dijelaskan dalam kerangka kerentanan Indonesia terhadap populisme dan tumbuhnya Islamisasi masyarakat Indonesia. Ada kecenderungan tinjauan topik polarisasi memberi porsi yang terlalu besar pada ketegangan antara Islam konservatif (baca Islam Populis) dan pluralisme.
 
Walaupun sebenarnya, dilihat dalam kerangka populisme, hampir semua agama yang ada di Indonesia mengalami semacam masa puber yang mirip satu sama lain. Khususnya dalam merayakan politik identitas (Riki Dhamparan, 2018). Fenomena inilah yang mudah dimobilisasi atau termobilisasi dalam suatu kontestasi politik yang tak terkendali. Terlepas dari fenomena politik Indonesia yang memiliki budaya kompromi dan patronase politik yang sesaat dapat meredam berlarutnya polarisasi. Yang jelas, kekhawatiran terhadap akan terulangnya polarisasi masyarakat memiliki basis argumentasi yang referensial dan patut dikemukakan.
 
Kapolri Listyo Sigit sangat menyadari, netralitas polisi tentu menjadi krusial dalam mengantisipasi bahaya polarisasi itu. Ia pun mengambil beberapa langkah yang patut, melalui program deteksi dan mediasi yang kini ia terapkan di jajarannya melalui penguatan fungsi Bhabinkamtibmas yang sejauh ini telah dimiliki kepolisian. Suatu usaha yang akan memerlukan adaptasi, dialog, dan bahkan internalisasi mendalam antara kepolisian selaku penegak hukum dan masyarakat luas. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat