visitaaponce.com

Cuaca dan Perubahan Perilaku Manusia

Cuaca dan Perubahan Perilaku Manusia
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

BELAKANGAN  ini banyak orang mengeluh tentang cuaca panas yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Sinar matahari dirasakan begitu menyengat. Udara terasa sumuk. Pers, baik yang medioker maupun arus utama, ikut memberitakan fenomena tersebut. Beberapa di antaranya bahkan disertai dengan judul yang heboh dan menakutkan. Belum lagi potongan video ataupun gambar yang berseliweran di media sosial terkait fenomena itu, yang entah dicomot dari mana. Padahal, menurut Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu panas di wilayah Indonesia dalam beberapa hari terakhir ini merupakan fenomena wajar. 

Menurut badan pemantau cuaca yang dipimpin Dwikorita Karnawati itu, sepanjang April dan Mei memang terjadi peningkatan suhu maksimum harian yang dipengaruhi gerak semu matahari, sebuah siklus yang biasa dan terjadi pada setiap tahun. Lantas, kalau memang itu fenomena biasa, mengapa kini banyak masyarakat mengeluh? Bukankah selama ini kita memang tinggal dan bermukim di wilayah tropis yang terbiasa bermandi sinar matahari?

Persoalannya saya kira bukan pada pola cuaca yang berubah. Dari dulu suhu rata-rata wilayah di Indonesia, ya, begitu-begitu saja, dalam arti tidak terlampau ekstrem seperti di Amerika yang sering dihantam badai dahsyat atau Afrika yang dilanda kekeringan parah, misalnya. Data dari sejumlah stasiun pemantau cuaca BMKG juga tidak menunjukkan adanya anomali yang berlebihan. Masalahnya barangkali terletak pada pola perilaku kita yang memang sudah berubah.

Selama ini kita mungkin sudah terlalu dimanja dengan udara yang direkayasa. Dari rumah, sekolah, sarana transportasi (baik pribadi maupun umum), kantor, restoran, supermarket, toko, hingga bengkel, dilengkapi penyejuk udara. Akibatnya, kita jadi seperti drakula, makhluk yang takut dan rentan sengatan sinar matahari. Tidak usah heran jika berbagai produk skincare, terutama produk pemutih, laku keras di negeri ini, ditambah banyak pula yang percaya dan mengimani mitos white is beauty. Padahal, bule saja banyak yang terobsesi dengan eksotisme kulit sawo matang orang Indonesia. 

Perubahan perilaku masyarakat itu juga dapat kita lihat pada fenomena kebakaran hutan yang kerap terjadi pada musim kemarau di sejumlah wilayah yang sering membuat negara tetangga marah-marah. Padahal, empat atau lima dekade lalu, peristiwa semacam itu jarang terjadi. Semua itu lantaran pola hidup kita, terutama dalam industri perkebunan dan pertanian yang mulai berubah. Itu artinya pola kebudayaan manusia secara tidak langsung juga ikut memengaruhi kondisi alam. Begitu pula fenomena banjir bandang, tanah longsor, dan berbagai bencana hidrometeorologi lainnya, tidak terlepas dari ulah tangan-tangan manusia, bukan karena alam yang tidak lagi bersahabat. 

Jadi, kondisi cuaca yang terjadi saat ini tidak usah terlampau dikeluhkan, apalagi sampai menakut-nakuti jika alam sedang murka. Justru kita sebagai manusia yang harus berbenah diri. Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi belakangan ini, suka atau tidak suka, akibat perilaku kita juga, termasuk dalam mengonsumsi makanan, cara berbusana, mobilitas, dan gaya hidup lainnya. Perilaku tersebut yang semestinya dikembalikan agar selaras dengan alam, termasuk dalam sistem pola pertanian ataupun pariwisata. 

Jadi, kalau cuma udara panas dan gerah, jangan cuma mengeluh dan curhat di media sosial. Itu lebay, kalau istilah anak sekarang. Laku dan gaya hidup kitalah yang justru mesti berubah. Ini yang semestinya juga diedukasi para pemangku kepentingan di negeri ini, termasuk oleh mereka yang hendak berkontestasi pada pemilu kali ini. Wasalam.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat