visitaaponce.com

Pemolisian Partisipatif Transformasi Penegakan Hukum Polri

Pemolisian Partisipatif; Transformasi Penegakan Hukum Polri
AKBP Dr Dedy Anung Kurniawan(Dok pribadi)

DI akhir 2022 dan awal 2023 Kepolisian Republik Indonesia (Polri) diganjar kabar baik dari sejumlah survei nasional yang semuanya menunjukkan peningkatan kepercayaan publik secara signifikan. 

Survei yang dilakukan oleh Indopol di akhir 2022 misalnya, menyebut tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri meningkat hingga 69,35%. Sementara survei yang dilakukan oleh Indikator pada 11—17 April 2023 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri meningkat menjadi 73,2%. 

Bagi sejumlah kalangan, data ini cukup mengagetkan karena di waktu yang hampir bersamaan, institusi Polri juga tengah dihinggapi pandangan miring, terutama terkait proses penegakan hukum yang dianggap janggal karena hanya menindak setelah kasusnya viral. Artikel pendek ini akan mengulas anomali yang bersumber dari kesalahpahaman tersebut sambil menyandingkannya dengan konsep dan teori pemolisian yang relevan.

Mari mengawalinya dengan membahas sentimen umum yang kurang lebih bernada begini; kenapa polisi baru bekerja setelah ada kasus yang viral di media? Sentimen ini tentu tidak benar. Aparat kepolisian memang 'terlihat' bergerak cepat menangani kasus yang viral, tetapi hal itu tidak berarti bahwa aparat kepolisian tidak melakukan hal yang sama untuk kasus-kasus yang kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian masyarakat. 

Data dari survei yang dilakukan oleh Indopol menyebut bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Polri meningkat tajam karena masyarakat puas dengan kinerja penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri. Salah satunya melalui lima program Quick Wins yang dianggap sangat krusial dalam peningkatan kepercayaan ini.

Lima program tersebut adalah; 1. Meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui media sosial, 2. Optimalisasi pelayanan publik, 3. Pengembangan sumber daya manusia unggul, 4. Perbaikan interaksi polisi dan masyarakat di jalan atau area publik, dan 5. Optimalisasi pemolisian masyarakat.

Masyarakat juga memandang kinerja Polri meningkat melalui respons cepat aduan di akun resmi Polri, sehingga dapat segera ditangani tanpa perlu menunggu viral. Polri juga mengoptimalkan kegiatan sambang oleh Bhabinkamtibmas, serta penggunaan tilang elektronik (ETLE/electronic traffic law enforcement) yang sangat efektif. Poin penting lain yang memengaruhi tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri adalah transparansi dan akuntabilitas. Polri terbukti transparan dan tegas dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum, bahkan yang melibatkan sejumlah anggota internal Polri. 

Transformasi bersama teknologi

Digital Civility Index (DCI) pernah merilis hasil survei pada 2020 yang menunjukkan bahwa warganet di Indonesia memiliki skor paling tinggi untuk kategori penyebaran hoaks dan penipuan, ujaran kebencian, serta diskriminasi. Hal ini direspons cepat oleh Kapolri dengan menerbitkan surat edaran tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif (SE/2/11/2021). Surat ini menjadi dasar untuk lahirnya polisi virtual yang akan rutin berpatroli di dunia maya. Fungsi utama polisi virtual adalah menciptakan media sosial yang bersih, sehat, dan produktif. 

Surat edaran tersebut juga mewajibkan polisi untuk mengedepankan upaya preemtif dan preventif. Jikapun harus dilakukan upaya penegakan hukum, penyidik harus berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium), karenanya mereka harus mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Hal inilah yang mendasari Polri agar terus bekerja secara profesional, bukan mengejar viral.

Dalam konteks inilah, laporan masyarakat melalui media sosial kepada Polri dipandang sebagai partisipasi positif dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Terutama karena kepolisian berpegang teguh pada prinsip-prinsip pemolisian partisipatif. 

Secara teori, pemolisian partisipatif adalah sebuah konsep dalam bidang keamanan dan penegakan hukum yang menekankan pentingnya keterlibatan aktif masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Konsep ini menyatakan bahwa polisi harus bekerja sama dengan masyarakat, memberikan wewenang dan tanggung jawab pada masyarakat untuk ikut serta dalam proses pencegahan kejahatan, serta meningkatkan hubungan yang harmonis antara polisi –baik sebagai aparat maupun institusi— dan masyarakat.

Membangun partisipasi

Dalam The Evolving Strategy of Policing: Case Studies and Concepts (1983) George L Kelling dan Mark H Moore, dua penggagas teori ini, menyebut pemolisian partisipatif adalah alternatif dari model pemolisian tradisional yang cenderung bersifat reaktif dan hanya bertumpu pada tindakan penegakan hukum. Dalam pemolisian partisipatif, keamanan dan ketertiban masyarakat dicapai dengan membangun kemitraan antara polisi dan masyarakat. 

Dalam kemitraan ini, masyarakat ditempatkan sebagai mitra strategis dalam upaya penanganan kejahatan dan pencegahan tindak kriminal. Itu sebabnya, polisi harus dapat menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat sehingga masyarakat merasa memiliki tanggung jawab yang sama dengan polisi dalam memelihara keamanan dan ketertiban. 

Prinsip lain yang ditekankan dalam pemolisian partisipatif adalah penekanan pada upaya pencegahan kejahatan melalui tindakan yang proaktif, preventif, dan interaktif. Hal ini terejawantahkan dalam bentuk kerja sama antara polisi dan masyarakat dalam melakukan patroli, pengawasan lingkungan, dan pembentukan komunitas yang peduli dengan keamanan dan ketertiban. 

Responsivitas dan keadilan juga menjadi prinsip utama dalam pemolisian partisipatif, yang mana polisi harus mampu merespons dan menanggapi kebutuhan serta aspirasi masyarakat secara cepat dan adil. Terakhir, keterbukaan dan transparansi menjadi prinsip penting dalam menjalankan tugas dan fungsi penegakan hukum, di mana polisi harus terbuka dan transparan dalam memberikan informasi yang mudah diakses oleh masyarakat. 

Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini secara konsisten, pemolisian partisipatif dapat menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat yang lebih baik serta memperkuat hubungan antara polisi dan masyarakat.

Khusus terkait aktivitas masyarakat di media sosial, penting untuk selalu mengingat wejangan Wakapolri Komjen Pol Prof Dr Gatot Eddy Pramono M.Si yang tertuang dalam Pemolisian Humanis: Transformasi Penegakan Hukum yang Berkeadilan (2022), "Setiap warga negara memiliki hak untuk berpendapat, dan hak itu dilindungi oleh undang-undang, tetapi hak-hak tersebut terbatas pada aturan dan kebijakan yang berlaku. Berpendapat tidak sama dengan mengumpat, beropini juga tidak sama dengan menyebar provokasi."

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat