visitaaponce.com

Bersiap Menghadapi Risiko Transisi Menuju Net Zero Emission

Bersiap Menghadapi Risiko Transisi Menuju Net Zero Emission
(Dok. Pribadi)

DATA terbaru International Energy Agency (IEA) menyebutkan emisi gas rumah kaca (CO2) global tumbuh sebesar 321 Mt pada 2022, mencapai tingkat tertinggi dalam sejarah (lebih dari 36,8 Gt). Memang terdapat fluktuasi besar dalam level penggunaan energi dan emisi selama dua tahun terakhir, yang sebagian disebabkan oleh pandemi covid-19. Namun, secara keseluruhan, tren sejauh ini masih menunjukkan adanya tantangan besar untuk 'menutup celah' menuju target net zero emission yang menjadi cita-cita global.

Negara-negara yang menandatangani Perjanjian Paris sepakat untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celsius, bahkan berupaya untuk membatasi rata-rata kenaikan suhu maksimum di level 1,5 derajat Celsius di atas tingkat masa praindustri. Target itu membutuhkan pengurangan emisi global sebesar 45% dari level 2010 pada 2030 dan 100% level 2010 pada 2050.

Dekarbonisasi pada skala itu memerlukan terjadinya perubahan struktural berskala masif. Suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah perekonomian global, termasuk perubahan besar pada alokasi modal dan arus investasi keuangan.

Setiap tahun penundaan tindakan untuk mengurangi emisi, akan berakibat semakin tinggi beban target pengurangan yang perlu dicapai dalam horizon waktu yang akan semakin pendek.

Hal itu berarti meningkatkan risiko transisi secara 'tidak teratur', yakni kecepatan perubahan ekonomi dan sosial yang dibutuhkan akan lebih cepat. Lalu, biaya serta risiko yang terkait dengan transisi tersebut akan lebih tinggi.

MI/Seno

 

Risiko transisi

Berdasarkan laporan rekomendasi Task Force on Climate-Related Disclosures (TCFD), terdapat empat pendorong utama risiko transisi. Risiko tersebut ialah risiko kebijakan dan hukum, risiko teknologi, risiko perubahan pasar, dan risiko pergeseran sentimen.

Banyak sumber risiko kebijakan dan hukum yang akan berdampak pada perusahaan dalam berbagai cara. Tentu, semua bergantung pada sektor/industri tempat mereka beroperasi, intensitas karbon aktivitas operasi mereka, dan kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan model bisnis mereka.

Kebijakan di banyak negara akan difokuskan pada pengalihan kegiatan ekonomi dari aktivitas yang bergantung pada bahan bakar fosil ke kegiatan yang memiliki emisi jauh lebih rendah. Misalnya, mengganti pembangkit listrik dari yang berbasis bahan bakar fosil ke energi terbarukan.

Contoh lain, memberlakukan pajak karbon sehingga 'eksternalitas' (dampak polusi dan perubahan iklim) yang terkait dengan bahan bakar fosil akan diberi nilai/harga secara efektif, juga memandatkan pengungkapan terkait dengan iklim untuk mempromosikan transparansi di pasar terkait dengan risiko dan peluang dari proses transisi.

Kebijakan lain, mewajibkan peningkatan efisiensi energi dan penyerapan alami. Penyerapan alami berkaitan dengan aktivitas seperti menanam lebih banyak pohon yang bertindak sebagai penyerap emisi karbon.

Berbagai jenis litigasi terkait dengan iklim juga berpotensi untuk meningkat. Itu termasuk tuntutan/klaim terhadap direktur atau perusahaan karena berkontribusi terhadap perubahan iklim, tuntutan terkait dengan kegagalan perusahaan untuk mempertimbangkan emisi dalam keputusan bisnis. Lalu, tuntutan untuk mempercepat tindakan iklim dan hingga keluhan terhadap aktivitas greenwashing.

Pada aspek yang lain, kemajuan teknologi tidak hanya berpotensi membantu mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim (misalnya, infrastruktur tahan iklim).

Kemajuan teknologi juga akan menambah risiko bagi perusahaan yang bergantung pada teknologi berbasis bahan bakar fosil (kecuali mereka dapat menyesuaikan bisnisnya). Walaupun terdapat peluang komersial yang ditawarkan, penggunaan teknologi baru akan menimbulkan risiko bahwa teknologi tersebut tidak diadopsi secara luas atau terbukti tidak berhasil.

Transisi ke ekonomi net zero juga akan melibatkan perubahan, baik di sisi penawaran maupun permintaan terhadap barang, jasa, dan komoditas. Pergeseran harga relatif pasti terjadi. Perusahaan harus dapat beradaptasi dengan konteks yang kompleks dan dinamis itu agar berhasil dalam menavigasi transisi.

Perubahan iklim juga menjadi sumber potensial risiko reputasi bagi perusahaan karena persepsi konsumen dan investor akan berubah. Ketika konsumen menjadi lebih sadar akan dampak perubahan iklim, mereka mungkin menuntut produk yang lebih ramah lingkungan.

Perusahaan yang dipandang sebagai 'perusak' mungkin menghadapi risiko serangan terhadap reputasi mereka. Kesadaran dan ekspektasi investor terhadap perusahaan juga akan meningkat, dengan sejumlah pertimbangan risiko terkait dengan iklim (lingkungan) akan dimasukkan ke keputusan penempatan investasi mereka.

 

Dampak transisi

Bagaimana risiko transisi berdampak pada perusahaan akan bergantung pada jenis paparan dan kerentanan yang dimiliki perusahaan dan bagaimana perkembangan situasi dari empat faktor pendorong tersebut.

Sektor ekonomi yang berbeda akan terkena dampak yang berbeda oleh risiko transisi. Besarnya dampak akan bergantung pada intensitas emisi serta kemampuan perusahaan untuk mengurangi emisi dan menyesuaikan model bisnis mereka.

Sektor-sektor ekonomi yang paling terpapar risiko transisi ialah sektor yang memiliki intensitas karbon relatif tinggi dan sektor terkait yang beroperasi dalam rantai pasokan sektor-sektor tersebut. Misalnya, inovasi dalam sektor transportasi.

Saat ini pertumbuhan kendaraan listrik terus meningkat, diikuti maraknya penelitian dan pengembangan bentuk transportasi rendah karbon lainnya (seperti sel bahan bakar hidrogen). Hal itu akan membuat perusahaan produsen kendaraan dengan mesin pembakaran internal (ICE)—ataupun perusahaan pemasok ke pabrikan ini—perlu beradaptasi atau menghadapi keusangan.

Perusahaan angkutan dengan armada ICE, misalnya, akan menghadapi risiko aset mereka menjadi 'stranded’. Perubahan kebijakan atau kemajuan teknologi mengakibatkan aset armada yang ada menjadi tidak ekonomis dan harus dihapusbukukan sebelum waktunya.

Terdapat pula beberapa sektor padat energi, tetapi 'sulit untuk bertransisi', dalam arti bahwa di saat ini belum ada alternatif teknologi rendah karbon yang jelas dan layak secara ekonomi untuk diterapkan pada sektor ini. Hal itu termasuk sektor-sektor seperti petrokimia, aluminium, baja, semen, dan pupuk.

Dalam sektor-sektor itu, operator dengan basis biaya lebih rendah akan diuntungkan ketika berhadapan dengan perubahan kebijakan seperti diberlakukannya pajak karbon. Perubahan kebijakan akan membuat beberapa perusahaan menjadi tidak ekonomis. Dalam jangka panjang, perusahaan yang berhasil memperkenalkan teknologi rendah karbon yang layak secara ekonomi, tentu akan menikmati keuntungan komersial yang signifikan.

Evolusi dari keempat faktor pendorong risiko transisi itu tidak pasti. Bukti empiris tentang dampak pemicu risiko transisi relatif masih terbatas. Umumnya, para peneliti dan regulator mengandalkan analisis skenario untuk memperkirakan kisaran efek ekonomi dari transisi.

Perusahaan menggunakan skenario yang berbeda untuk menganalisis risiko yang berbeda. Skenario yang paling populer digunakan untuk mengeksplorasi risiko transisi ialah skenario disorderly transition dari Network for Greening the Financial System (NGFS).

Namun, dengan emisi karbon dunia dan risiko transisi yang terus meningkat secara bersamaan, semakin penting bagi perusahaan untuk mulai berinvestasi dalam kemampuan manajemen risiko iklim mereka.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat