visitaaponce.com

Kelahiran Prematur PP 262023

Kelahiran Prematur PP 26/2023
(Dok. LPPM IPB)

LAHIRNYA kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut boleh dibilang masih terlalu prematur. Ada beberapa poin yang bisa dilihat sebagai indikasinya.

Pada Pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa hasil sedimentasi diambil untuk mencegah terjadinya kerusakan ekosistem dan pelayaran. Dengan narasi seperti itu terlihat ada dua rujukan penting yang perlu dijadikan sebagai konsideran, yaitu UU Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran yang tidak dimuat.

Selain itu, ketika material yang akan digali ialah sedimen yang akan diambil pasirnya, juga tidak menyertakan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba sebagai konsideran. Sementara itu, UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan yang dijadikan sebagai konsideran tidak menunjukan relevansi yang kuat karena eksploitasi sedimen tidak selalu akan menyelamatkan ekosistem.

Walaupun ada narasi yang menyebutkan bahwa pengerukan sedimen akan menyehatkan ekosistem, dalam konsep pengelolaan ekosistem, justru peran ekosistem yang kemudian membantu sedimentasi seperti perakaran mangrove dan lamun.

Jika ditelaah lebih jauh, UU Nomor 32/2014 yang dijadikan dasar atas konsideran Pasal 56, sama sekali tidak memandatkan adanya pengerukan pasir laut. Artinya, kebijakan yang mendasari PP itu tidak jelas rujukan dan mandat yang mana. Kealpaan dalam menyinergikan dengan kebijakan pemerintah lainnya menjadi petunjuk bahwa PP itu hadir sendiri tanpa pegangan.

Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, pertama, apakah PP Nomor 26 itu muncul karena kegentingan atau darurat? Jika jawabanya iya, sudah sampai level mana darurat sedimen di perairan laut kita. Fakta empiris dipahami bahwa dinamika oseanografi akan selalu membentuk keseimbangan ekosistem dan lingkungan baru. Namun, dalam situasi apa pun, PP itu seharus menempatkan semua konsideran terkait pada bagian awal, sebagai bentuk kepatuhan terhadap kebijakan di atasnya.

Kedua, soal ruang yamg akan beririsan dengan berbagai pihak. Naskah akademik yang memuat tentang deposit sedimen, kesesuaian menurut zonasi, serta aktivitas lainnya belum dipetakan secara baik. Walaupun didorong untuk diselesaikan dalam peraturan menteri, data dasar itu tetap menjadi bagian penting dari hadirnya PP. Karena PP Nomor 26/2023 itu berlakunya pada tingkat nasional, semua ruang dalam zonasi pesisir dan laut di Indonesia akan turut terdampak kebijakan itu.

Ketiga, soal teknis pengambilan dengan menggunakan kapal isap dapat menjadi kontradiktif dengan kebijakan ekonomi biru yang dicanangkan pemerintah. Kegiatan eksploitasi yang bersifat eksploitatif dan eksploratif dinarasikan sebagai ekonomi merah (red economy). Pengambilan dengan kapal isap cenderung mengarah pada degradasi habitat. Sementara itu, ekonomi biru lebih mengarah pada keberlanjutan ekosistem, kesejahteran, dan keadilan.

Sebagai fakta saat ini kita sedang memacu komitmen dalam menurunkan karbon yang tertuang dalam NDC. Salah satu instrumen yang dipakai sebagai ekosistem karbon biru ialah seagrass. Menurut habitatnya, seagrass itu merupakan habitat yang tumbuh pada substrat sedimen dan pasir. Tumbuhan lamun dengan perakaran akan mesekuestrasikan karbon ke dalam sedimen.

Selain itu, keberadaan lamun sebagai perangkap sedimen untuk melindungi ekosistem terumbu karang menjadi berkurang. Dengan adanya pengangkatan sedimen, karbon yang terperangkap dalam sedimen kembali akan lepas sehingga program pengurangan emisi karbon disektor kelautan dan perikanan terancam.

 

Keempat, yang paling kentara ialah tidak terlihatnya aspek keadilan dengan masyarakat terdampak. Walaupun dijelaskan bahwa pada zona pengelolaan daerah akan ada pendapatan terhadap daerah, jelas masyarakat akan terdampak lebih luas. Beberapa di antaranya akan kehilangan daerah penangkapan, daerah pemijahan ikan, daerah nursery, dan daerah mencari makan. Pada sedimen lumpur sebagai sumber makanan bagi biota dasar termasuk kepiting, rajungan, dan ikan dasar menjadi sangat vital.

 

Observasi ulang

Memperhatikan perjalanan selama 20 tahun, tanpa eksploitasi pasir laut, rasanya tidak ada yang mendesak pasir laut untuk dieksploitasi termasuk ekspor. Sebelum lebih jauh ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami. Pertama, konsepsi sedimen dan substrat. Kedua, dukungan naskah akademis. Ketiga, soal relevansi dengan tujuan pembangunan perikanan dan kelautan.

Konsepsi sedimen menurut Bent, et, al 2001 adalah partikel hasil dari pelapukan batuan, material biologi, endapan kimia, debu, material sisa tumbuhan, dan daun. Material itu terdistribusikan oleh oseanografi kemudian diendapkan. Seiring dengan itu ada yang dikenal sebagai substrat, yaitu hamparan dasar yang menjadi tempat hidupnya berbagai biota.

Substrat juga ada yang berbentuk batuan, pasir, ataupun batuan. Ketika ada pengaruh arus laut, substrat berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dan kemudian diendapkan (sedimented). Ketika hanya dipandang sebagai sedimen, seolah tidak bermanfaat baik. Namun, ketika dipandang sebagai substrat, banyak fungsi yang harus dilindungi di atasnya.

Terkait dengan dukungan akademis yang harus diungkapkan dalam naskah akademis, PP tanpa dukungan naskah akademis yang memadai, itu seperti ahli tanpa pengetahuan. Dalam konteks sedimentasi laut itu, naskah akademis seharusnya sudah dapat memuat tentang potensi atau deposit pasir laut (baik pasir maupun lumpurnya), nilai ekonominya untuk tingkat lokal dan pasar luar. Selanjutnya, analisis terhadap risiko secara fisik, risiko secara ekologi, social, dan ekonomi.

Berdasarkan kajian PKSPL IPB (Kusumatanto, 2003), biaya yang dikeluarkan untuk setiap 1 meter kubik setara dengan 5% dari harga yang diperoleh dari penjualan pasir laut. Artinya, jika Rp1 biaya produksi diperlukan Rp5 biaya pemulihan ekosistem dan lingkungan. Kalau dilihat angka itu, jauh lebih besar biaya yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan dari manfaat yang dapat diperoleh.

Kemudian, soal relevansi PP sedimentasi dengan target pembangunan perikanan masih lemah. Selain itu, juga perlu memperhatikan tujuan pembangunan perikanan kelautan lainnya, seperti kesejahteraan nelayan, keberlanjutan, dan kehilangan habitat bagi ikan dan area ekonomi nelayan.

Kehadiran PP 26/2023 yang tidak mempunyai rujukan yang tepat, tidak menyertakan data-data akademis yang memadai serta risikonya, masih perlu dievaluasi kembali. Jika belum tersedia seharusnya PP itu belum bisa operasional. Kehadiran PP tanpa naskah akademis yang memadai, analisis risiko yang baik, serta tujuan terhadap kesejahteraan nelayan dan pembudi daya ikan, sungguh terlihat prematur bagi pembangunan.

Maka untuk itu, perlu dilakukan telaah ulang agar tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat serta ilmu pengetahuan. Semoga KKP menyadari situasi seperti ini untuk mencegah terulangnya kejadian seperti kasus benih bening lobster (BBL) tempo hari.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat