visitaaponce.com

Pancasila dan Pendidikan

Pancasila dan Pendidikan
(Dok. Pribadi)

SEBAGAI ideologi dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila semestinya diterjemahkan dalam prinsip-prinsip dan langkah-langkah yang konkret, tidak menara gading, serta dijadikan pijakan dalam menentukan kebijakan dan program-program negara di semua kementerian atau lembaga-lembaga negara.

Selain itu, Pancasila bersifat dinamis dan kontekstual sesuai dengan situasi dan kebutuhan yang mendesak di satu masa tertentu yang mengharuskan adanya skala prioritas. Saat ini, menurut saya, Pancasila mendesak diejawantahkan dalam tiga skala prioritas, yaitu dalam aspek pembangunan, pendidikan, dan kohesi sosial.

 

Pembangunan

Saat ini, kebijakan kepemerintahan Presiden Jokowi tecermin pada program-program yang telah direalisasikan dalam pembangunan, baik pembangunan infrastruktur maupun pembangunan suprastruktur. Pembangunan infrastruktur terkait dengan pembangunan fisik seperti jalan, bandara, pelabuhan, investasi, dan kemajuan ekonomi di berbagai aspek. Untuk menggenjot laju pembangunan dan ekonomi, pemerintahan Jokowi membentuk kementerian baru, yakni Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dibentuk pada 28 April 2021. Sebelumnya juga ada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Adapun pembangunan suprastruktur terkait dengan pembangunan manusia sebagai subjek penentu dengan melalui keagamaan, pendidikan, local wisdom dan local genius (kearifan dan kegeniusan lokal), budaya, tradisi, kultur, serta kesenian. Pembangunan infrastruktur yang bersifat fisik dan pembangunan suprastruktur tersebut sudah seharusnya berpijak dan berorientasi kepada nilai-nilai Pancasila.

Pembangunan berbasis Pancasila itu mengingatkan saya pada satu bait kata dalam lagu Indonesia Raya, ‘Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya’. Berbagai pembangunan baik fisik maupun nonfisik yang berbasis Pancasila sejatinya adalah hanya untuk Indonesia Raya, bukan untuk pribadi, keluarga, atau golongan. Indonesia Raya sama dengan untuk dan bagi kemakmuran rakyat secara keseluruhan.

Pembangunan fisik dan nonfisik seharusnya juga dipikirkan antara maslahat dan mudaratnya, manfaat dan potensi kerusakannya, maupun keuntungan dan kerugiannya. Ini tentu saja domain para ahli di bidangnya. Dengan demikian, pemerintah sebagai pemilik kebijakan dan kuasa berkolaborasi bersama para ahli yang dapat mengeksekusi program secara maksimal dan mengurangi atau menghindari dari risiko buruk.

Tak kalah pentingnya lagi ialah teknologi. Ada dua poin penting yang ditekankan oleh Presiden Jokowi. Pertama, transfer knowledge. Kedua, hilirisasi, tidak menjual bahan mentah ke luar negeri.

Poin penting pertama, terkait transfer knowledge, Indonesia menekankan kerja sama dan ivestasi negara lain dengan syarat negara tersebut mau mentransfer pengetahuan tentang teknologi dan sains. Hal itu mau tidak mau harus melibatkan dunia pendidikan.

Apa yang diupayakan pemerintah Indonesia ini pernah dilakukan oleh Tiongkok. Pada 1994, Tiongkok bekerja sama dengan Israel, dengan cara Israel mentransfer pengetahuan tentang teknologi yang kemudian dipelajari, dipahami, dan dipraktikkan oleh warga Tiongkok.

Setidaknya ada dua hal, sebagaimana yang diungkapkan oleh As’ad Sa’id Ali dalam bukunya, Perjalanan Intelijen Santri. Pertama, teknologi yang dapat memperbanyak susu sapi. yang semula satu sapi menghasilkan 8 liter atau 16 liter per hari, dengan menggunakan teknologi Israel akhirnya Tiongkok dapat menghasilkan 40 liter per hari. Ini penting, mengingat penduduk Tiongkok sudah mencapai 1 miliar lebih sehingga membutuhkan susu lebih banyak.

Adapun yang kedua, pada 1994 Israel menjual teknologi IAI Harpy ke Tiongkok seharga US$55 juta, dengan perjanjian pada 2004 dikembalikan ke Israel untuk di-upgrade. IAI Harpy adalah semacam AWAC yang digunakan Amerika untuk mendeteksi serangan rudal canggih.

Poin penting kedua yang ditekankan Jokowi ialah hilirisasi dan tidak menjual bahan mentah ke luar negeri. Semua bahan mentah diolah dan diproduksi di dalam negeri.

Kedua poin penting itu, di samping untuk mencerdaskan anak bangsa dengan mendapatkan pengetahuan teknologi terbarukan dan kekinian, juga untuk menyerap investasi dari luar untuk masuk ke dalam, sekaligus memosisikan Indonesia sebagai subjek yang dapat menikmati keuntungan sebesar-besarnya yang nantinya dikembalikan lagi untuk kemakmuran rakyat.

Menurut saya, kedua poin tersebut merupakan ejawantah dari Pancasila yang relevan dan maslahat untuk terus dijaga dan memerlukan kontinuitas sehingga Indonesia dapat move on dari negara berkembang ke negara maju.

MI/Duta

 

Pendidikan

Yang menarik, sebagaimana yang difragmentasikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam profil pelajar Pancasila yang dijadikan pijakan program dan orientasi pendidikan nasional yang berbasis Pancasila, dirumuskan enam nilai. Yakni, pertama beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia. Kedua, berkebinekaan global. Ketiga, bergotong royong. Keempat, mandiri. Kelima, bernalar kritis. Keenam, kreatif.

Jika menggunakan perspektif pendidikan karakter atau yang dikenal dengan living values education, keenamnya itu merupakan nilai-nilai yang harus disampaikan atau dijelaskan secara rinci, diinternalisasikan ke dalam diri setiap anak didik, lalu dipraktikkan serta dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga ada teori, praktik, dan pembiasaan.

Materi apa saja, baik pengetahuan agama, sosial, humaniora, eksakta, maupun sains dan teknologi, harus ada teori, praktik, dan pembiasaan. Dari pembiasaan itu pun terjadi dinamisasi yang boleh jadi akan melahirkan teori baru atau menghasilkan penemuan baru. Sebab, salah satu sumber pengetahuan ialah pengalaman dan pembiasaan.

Keenam hal tersebut relevan sepanjang masa sebab merupakan nilai universal dan bersifat aksiomatik disepakati kebenarannya oleh seluruh agama, juga seluruh umat manusia. Dan, apa yang sudah dirumuskan dan direalisasikan oleh Kemendikbudristek sudah sesuai dengan kebutuhan zaman dan nilai-nilai Pancasila.

 

Kohesi sosial

Sila ketiga Pancasila yang berbunyi Persatuan Indonesia sebagai sila kebangsaan. Imajinasi kebangsaan digambarkan dengan persatuan seluruh rakyat Indonesia dari beragam suku, agama, ras, bahasa, dan warna kulit dalam satu ikatan komitmen bersama dalam membangun dan memajukan bangsa dan negara. Karena itu disebut NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), yang juga terajut dari berbagai pulau yang menyatu dalam satu bendera Indonesia. Bung Karno mengatakan, “Semua untuk satu, dan satu untuk semua.”

Persatuan Indonesia merupakan nilai luhur Islam lantaran persatuan merupakan nilai luhur yang dianjurkan dalam Islam. Karena itu, Islam pun melarang terjadinya perpecahan (QS Ali Imran: 103).

Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaib menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah melarang permusuhan, konflik, dan pertentangan sebab di masa jahiliah biasa dengan peperangan dan pertentangan. Kemudian Allah melarang mereka melakukan hal tersebut. Allah melarang dari sesuatu yang dapat mengakibatkan perpecahan dan menghilangkan kasih sayang dan cinta.

Imam Fakhruddin al-Razi menegaskan bahwa permusuhan, konflik, peperangan, dan kekerasan atasnama apa pun—termasuk atas nama agama—adalah tradisi jahiliah yang harus ditinggalkan. Visi Islam adalah persatuan, memperkuat kohesi sosial, menciptakan kehidupan yang harmoni, menyambungkan tali silaturahim, gotong royong, tolong menolong (i’anat), serta merajut kebersamaan lintas agama, ras, dan suku.

Persatuan dan larangan perpecahan itu agar tercipta kondisi kekeluargaan dan persaudaraan. Sebab, sejatinya, seluruh umat manusia adalah bersaudara.

Persaudaraan sendiri dalam Islam—yang dipopulerkan oleh NU—terdapat tiga jenis, yaitu ukhuwah islamiyah (persaudaraan antarumat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan antarwarganegara), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan antarumat manusia).

Dalam sejarah Islam, terdapat persaudaraan internal muslim, yakni persaudaraan antara kaum Muhajirin (umat Islam yang berhijrah dari Mekah ke Madinah) dan kaum Anshar (warga muslim penduduk asli Madinah yang memberi pertolongan terhadap kaum Muhajirin), persaudaraan sekeluarga yang disebut qarabat (kerabat), dan persahabatan antarwarga Madinah lintas agama dan suku yang tertuang dalam konstitusi Madinah, Mitsaq al-Madinah.

Persaudaraan pun terdapat dalam konsep tetangga pada perspektif Islam. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetanggamu. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa siapa pun tetanggamu itu, baik keluargamu sendiri, sesama muslim, atau nonmuslim, maka mereka memiliki hak untuk dihormati, diberi pertolongan jika membutuhkan pertolongan, tidak boleh disakiti atau dirugikan, tidak eksklusif, saling menjaga, dan memenuhi panggilan jika diundang. Kebertetanggaan inilah yang mengusung hak kewarganegaraan yang dalam struktur sosial disebut rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW).

Persaudaraan itu bisa terajut mulanya dari saling mengenal dan memahami satu dengan yang lain. Mengenal antarlaki-laki dan perempuan, antarsuku, dan antarbangsa serta negara yang menumbuhkan persaudaraan atau mengafirmasi primordialisme persaudaraan yang paling purba yang telah lama ada sejak manusia dilahirkan, yakni sebagai sesama manusia yang bersumber dari akar yang sama. Hanya saja, terkadang terlupakan atau terhalangi oleh identitas-identitas yang sebetulnya bersifat aksidental, seperti secara kebetulan lahir di negara tertentu, suku tertentu, dan yang lainnya.

Sebegitu pentingnya persatuan, Islam menganjurkan untuk melakukan kerja-kerja resolusi konflik dan mendamaikan pihak-pihak yang mengalami perpecahan, konflik, atau perang, atau akan terjadi perceraian suami-istri (QS Al-Hujurat: ayat 9 dan QS An-Nisa: ayat 35).

Cara mendamaikan dalam perspektif Islam ialah dengan melibatkan juru damai, yang bisa diterapkan di setiap konflik baik konflik antara suami dan istri, antarkelompok, antaragama, bahkan antarnegara. Konsep juru damai ini merupakan solusi yang masih relevan sampai saat ini dan di masa yang akan datang. Juru damai bisa dari pihak ketiga yang netral dengan perwakilan dari kedua pihak yang berkonflik.

Betapa pentingnya menyuarakan persatuan di tahun politik ini agar kita tidak terseret ke dalam pusaran agitasi politik, provokasi, fitnah, adu domba, hoaks, politik identitas yang berpotensi memecah belah, black campaign, dan pembunuhan karakter.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat