visitaaponce.com

Menilai Keberlanjutan Jokowinomic Atasi Ketimpangan Sosial

 Menilai Keberlanjutan Jokowinomic Atasi Ketimpangan Sosial
Gigih Prihantono(Dok pribadi)

DALAM beberapa dekade pertumbuhan ekonomi yang tinggi diyakini sebagai jalan yang paling benar untuk mencapai kesejahteraan bersama. Tetapi ketimpangan yang kian tinggi membuat kita pesimistis, bisakah pertumbuhan ekonomi berjalan beriringan dengan pemerataan. Pandemi covid-19 menyadarkan kita soal ini. 

Menurut majalah Forbes 2021, selama pandemi permintaan penggunaan layanan yang bersifat privat seperti jet pribadi, vila pribadi, atau private hotel meningkat signifikan. Namun di sisi lain, menurut Bank Dunia, selama pandemi justru terjadi peningkatan penduduk yang hidup di kawasan kumuh.

Ilustrasi lain misalnya, negara-negara seperti AS, India, atau Inggris pada 1990 rasio gaji top manajemennya dengan karyawan terendah hanya di angka rata-rata 40:1. Namun, pada 2019 angka ini melonjak sangat tinggi di angka rata-rata 265:1. Secara statistik pertumbuhan riil pendapatan 1% kelompok terkaya di dunia tumbuh 95%, sementara 99% penduduk dunia hanya tumbuh 14%. 

Fenomena itulah yang oleh Martin Wolf (2023) disebut sebagai the crisis of democratic capitalism. Yakni, kegagalan pemimpin politik dan sistem politik dalam mengatasi penyakit ekonomi soal ketimpangan yang kian brutal.

Badan Pusat Statitistik mencatat sejak 2015 angka rasio gini (ketimpangan pendapatan) dan tingkat kemiskinan terus mengalami tren penurunan. Namun, pandemi covid-19 telah melebarkan angka rasio gini dan meningkatkan tingkat kemiskinan. Kabar baiknya, ketimpangan mulai kembali menurun pada awal 2022. Meskipun begitu, laporan The Wealth Report 2022 menunjukkan kekayaan 1% orang kaya di Indonesia naik menjadi 63%.

Politik kesenjangan

Sebuah sistem demokrasi baru bermakna mana kala ia berkorelasi positif dengan kemakmuran dan kesejahteraan (Gus Imin, 2021). Argumen ini terasa benar adanya, bahwa visi politik haruslah memajukan kesejahteraan umum bukan malah meningkatkan ketimpangan. Telah banyak bukti bahwa visi ekonomi politik yang ada saat ini telah meningkatkan ketimpangan yang semakin akut.

Misalnya dalam kurun 2001-sekarang kontribusi ekonomi nasional 80% hanya ditopang oleh Jawa dan Sumatera. Rata-rata pendapatan per kapita masyarakat Jakarta Rp30,53 juta/bulan sedangkan rata pendapatan per kapita masyarakat Nusa Tenggara Timur hanya mencapai Rp2,275 juta/bulan.

Kondisi ini tentu saja tidak sesuai dengan visi politik kesejahteraan menurut pasal 33 UUD 1945. Visi ekonomi politik saat ini dibangun diatas gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat pokok kemajuan ekonomi. Untuk mencapai ke sana maka investasi dan deregulasi harus dimasifkan untuk mencapai kemakmuran. Akibatnya, kebijakan ekonomi yang diproduksi memperlebar luas kamar ekonomi kelompok atas dan mempersempit ruang bagi kelompok ekonomi bawah/menengah. 

Akibat kebijakan tersebut misalnya, terjadi ketidakadilan agraria. Misalnya dari 53 juta hektare (ha) penguasaan lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta ha yang diperuntukan bagi petani gurem. Sisanya 94,8% diperuntukan bagi korporasi besar.

Jokowinomic yang merupakan visi ekonomi politik pemerintah saat ini, sudah cukup baik untuk memerangi masalah kesenjangan dan kemiskinan. Sudah cukup baik menangani masalah pandemi. Namun visi ekonomi politik itu perlu disempurnakan, perlu diwariskan. Muhaiminomic adalah jawabannya. Salah satu pekerjaan rumah adalah bagaimana visi ekonomi politik pasca-Jokowinomic mampu mengurangi ketergantungan pertumbuhan ekonomi yang beralas kelompok kaya. Visi ekonomi politik yang tidak hanya menitikberatkan pembangunan kota tetapi juga pembangunan desa.

Politik kesejahteraan

Setidaknya terdapat empat kata kunci untuk menyempurnakan visi ekonomi Muhaiminomic. Pertama, pemerataan kualitas kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan. Kasus stunting merupakan contoh masih banyak ditemukan tingkat literasi orang tua yang terbatas soal gizi dan perkembangan anak. Kebijakan pendidikan dan kesehatan yang tidak merata dapat menyebabkan ketimpangan kualitas keterampilan sumber daya manusia.

Kedua, penguatan denyut pembangunan di desa. Pembangunan infrastruktur masif melalui dana desa merupakan bagian dari keberpihakan ekonomi politik untuk mendorong industrialisasi perdesaan. Dengan industrialisasi perdesaan, akan tercipta sumber pendapatan baru bagi masyarakat desa dan mengurangi ketimpangan antara desa dan kota. (Gus Imin, 2022)

Namun industrialisasi perdesaan ini tidak akan berkembang dengan baik, jika sumber daya manusia yang berkualitas tidak ada, dan instrumen ekonomi tak dirancang untuk meningkatkan partisipasi warga desa. Akibatnya bisa jadi pembangunan infrastruktur yang masif ini malah mendorong talenta desa terbaik pindah ke kota.

Ketiga, mendorong reforma agraria yang berkeadilan sosial. Kebijakan reforma agrarian sering ditafsirkan sebagai kegiatan bagi-bagi tanah bagi masyarakat marjinal tanpa memangkas pelaku ekonomi yang punya lahan ratusan ribu ha. Visi ekonomi politik saat ini masih gamang dan ragu untuk membatasi gerak kepemilikan lahan yang memusat. Padahal kepemilikan lahan yang memusat akan menghambat sirkulasi modal yang tak menyebar sehingga pada akhirnya memperparah ketimpangan.

Keempat, memperkuat otonomi daerah. Pandemi mengajarkan kita bagaimana birokrasi kita kurang lincah dalam merespon keadaan. Status bencana nasional covid-19 membuat otoritas pemda terbatas dan tak leluasa lantaran harus menunggu kebijakan pusat (sentralisasi). 

Akibatnya, respons kebijakan yang seharusnya bersifat lokal (desentralisasi) akhirnya harus menunggu dan memperparah tingkat ketimpangan dan kemiskinan didaerah. Untuk itu, penguatan faktor otonomi daerah harus ditingkatkan. 

Meskipun dua dekade pelaksanaan otonomi daerah belum sempurna. Namun, banyak studi menunjukkan bahwa otonomi daerah telah mendorong perubahan positif struktural ekonomi dari struktur ekonomi tradisonal menuju struktur ekonomi modern.

Kita tahu, kebijakan ekonomi yang baik kerap kali pahit dan miskin tepuk tangan. Dibutuhkan visi politik kesejahteraan yang kokoh untuk mengimplementasikan hal tersebut.

Pertanyaannya apakah ada politisi yang konsisten mendukung sepenuhnya reformasi yang tak popular? Dibutuhkan afirmasi politik yang kokoh untuk masuk ke ranah ini. Setidaknya saat ini ada salah satu tokoh politik seperti Gus Imin yang secara jelas menyatakan perang terhadap ketimpangan ekonomi. 

Perang menghadapi ketimpangan berarti kita melaksanakan satu bagian dari penegakan pasal 33 UUD 1945. Untuk itu mungkin sudah saatnya Jokowinomic diwariskan kepada penerusnya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang lebih merata.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat