visitaaponce.com

Hutan Bakau untuk Menghadapi Ancaman Non-militer

Hutan Bakau untuk Menghadapi Ancaman Non-militer 
Mistiani(Dok pribadi)

ANCAMAN terhadap pertahanan negara terbagi dalam ancaman militer dan ancaman non-militer. Contoh ancaman militer ialah agresi, invasi, infiltrasi, pelanggaran batas wilayah, dan kelompok separatis bersenjata. Kerusakan dan kerugian serta korban yang ditimbulkan dapat segera dilihat dan dirasakan secara fisik. 

Sedangkan contoh ancaman non-militer itu ialah radikalisme, disintegrasi bangsa, primordialisme, dan pengangguran, narkoba, LGBT, pandemi, krisis pangan, krisis energi, dan krisis ekonomi. Kejahatan dunia maya, pencemaran lingkungan, bencana alam, pencurian ikan, dan lain-lain.

Dari penjelasan tersebut ancaman non-militer merupakan ancaman dengan dampak kerusakan dan kerugian yang cenderung tidak segera dapat dilihat dan dirasakan. Namun bersifat multi dimensi dari dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial, informasi dan teknologi serta keselamatan umum. Oleh karena itu ancaman non militer cenderung terus berkembang dan mengancam setiap negara di dunia yang terlambat mengantisipasinya.

Pertahanan nirmiliter

Fungsi pertahanan negara dalam menghadapi ancaman non-militer akan dihadapi dengan pertahanan nirmiliter (UU Nomor 3 Tahun 2002 pasal 7 ayat 3).  Dalam pertahanan nirmiliter unsur utama dipegang oleh kementerian/lembaga di luar bidang pertahanan sesuai dimensi dan jenis ancaman non-militer yang dihadapi. Dalam pelaksanaannya unsur utama akan didukung dan berkolaborasi dengan unsur pendukung dari kementerian/lembaga yang terkait (Perpres Nomor. 8 Tahun 2021, Lampiran halaman 21 butir 7 Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Nirmiliter).

Elemen pertahanan nirmiliter sebagaimana pertahanan militer adalah seluruh sumber daya nasional, meliputi; sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara. Dari semua elemen tersebut bila dalam pengelolaannya dapat terkelola dengan baik dan benar, maka berbagai ancaman non-militer akan dapat diatasi dan diminimalisir bahkan dapat dicegah dan diantisipasi.

Warga negara selaku salah satu elemen pertahanan nirmiliter memiliki kewajiban dan hak yang sama dalam bela negara, serta kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pertahanan dan keamanan (UUD 1945 pasal 27 ayat 3 dan pasal 30 ayat 1). 

Kegiatan bela negara maupun partisipasi dalam pertahanan keamanan negara, ditujukan untuk mengatasi ancaman-ancaman yang dapat membahayakan keutuhan, kedaulatan dan keselamatan segenap bangsa.

Kita bisa melihat contoh ancaman non-militer dan pertahanan militer seperti; pertama, kerusakan hutan mangrove sebagai ancaman non-militer. Pencemaran dan kerusakan lingkungan saat ini merupakan salah satu ancaman non-militer yang mampu dan telah, serta terus menimbulkan kerugian besar dalam kehidupan manusia, dalam skala lokal, nasional dan global.  

Kerusakan tersebut terjadi di wilayah darat, laut, dan udara, serta wilayah antara daratan dan lautan yang dikenal sebagai wilayah pesisir. Mengutip dari situs resmi UNESCO, mangrove adalah ekosistem yang langka, dan subur terletak di perbatasan antara darat dan laut (wilayah pesisir). 

Ekosistem ini berkontribusi pada kesejahteraan dan perlindungan masyarakat pesisir di seluruh dunia terhadap berbagai ancaman seperti gelombang badai, tsunami, dan naiknya permukaan air laut, hingga cuaca ekstrem, dan erosi garis pantai. Tanah mangrove juga dikenal sebagai penyerap karbon yang sangat efektif karena mampu menyerap karbon 4 kali lebih besar dari daya serap karbon hutan tropis di wlayah darat.  

Dampak dari kerusakan hutan mangrove yang tidak diatasi, salah satunya adalah terjadinya percepatan kenaikan permukaan air laut. Selanjutnya hal ini cepat atau lambat akan mengurangi luas hutan mangrove di dunia. Bila tidak diatasi diperkirakan hutan mangrove akan hilang/habis pada 2050.  

Seiring kerusakan hutan mangrove efek berganda yang ditimbulkan juga akan sangat menyengsarakan mulai dari berkurangnya garis pantai, hilangnya pemukiman dan matapencaharian penduduk, berkurangnya sumber daya hayati laut, bertambah cepatnya pemanasan global, semakin ekstremnya cuaca/iklim, dan ancaman hilangnya/tenggelamnya pulau-pulau kecil yang dapat memicu konflik antarnegara karena berubahnya titik untuk penentuan batas wilayah laut. Dengan demikian kerusakan hutan mangrove yang parah secara perlahan akan dapat mengancam keutuhan dan kedaulatan NKRI serta keselamatan segenap bangsa.

Kedua, hutan mangrove bagian dari elemen pertahanan nirmiliter. Hutan mangrove di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000 hektare (ha) yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha, dan Amerika 5.831.000 ha. Hutan mangrove di Indonesia dengan luas 3.735.250 ha (dari pesisir Aceh hingga Papua), merupakan 50% dari mangrove Asia dan 25% dari mangrove dunia (Cici Khairunnisa dkk, dalam Jurnal Hutan Lestari (2020) Vol.8 : 325-336).   

Sangat disayangkan walaupun hutan mangrove Indonesia termasuk terluas di dunia, namun sekaligus memiliki status sebagai penyumbang kerusakan hutan mangrove tertinggi di dunia. Isu-isu terkait hutan mangrove dan kerusakannya sudah sering didengar, namun sesungguhnya masih banyak masyarakat (terutama masyarakat yang tidak tinggal di wilayah pesisir) yang belum menyadari pentingnya keberadaan hutan mangrove bagi keberlangsungan hidup manusia di bumi ini. 

Terpeliharanya atau rusaknya hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh bagaimana perlakuan manusia terhadap lingkungan hidup di wilayah pesisir dan sekitarnya. Mengingat manfaat yang sangat signifikan terhadap keberlangsungan hidup manusia, maka hutan mangrove memiliki peran yang strategis dilihat dari fungsi pertahanan nirmiliter. 

Hutan mangrove yang terpelihara dan dikelola dengan baik dan benar akan menciptakan hubungan atau ikatan yang bersifat simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan antara manusia dan alam. Bila ditelisik lebih jauh hutan mangrove juga memiliki peran penting dalam pertahanan militer.  

Secara tidak langsung keberadaan hutan mangrove yang mampu mencegah erosi laut, akan membuat laut-laut dan pesisir dapat dilayari dan disandari kapal dengan aman. Demikian juga dari sisi pertahanan darat wilayah pesisir yang memiliki hutan mangrove akan lebih strategis dibandingkan dengan wilayah pesisr namun kawasan mangrovenya sudah rusak dan terbuka.

Hari mangrove sedunia

Peringatan hari mangrove sedunia pada 26 Juli juga dikenal sebagai international day for the conservation of the mangrove ecosystem. Peringatan ini diadopsi oleh Konferensi Umum Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2015. Hari mangrove sedunia diperingati bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya hutan mangrove sebagai 'ekosistem yang unik, khusus, dan rentan'. Selain itu, hari mangrove sedunia, bertujuan untuk mempromosikan solusi bagi pengelolaan, dan pelestarian hutan mangrove yang berkelanjutan.

Ketiga, pertahanan nirmiliter terkait ancaman pencemaran lingkungan. Dalam lampiran Kebijakan Umum Pertahanan Negara (Perpres Nomor. 8 Tahun 2021) terkait Penyelenggaraan Pertahanan Nirmiliter, pada bidang ancaman kerusakan/pencemaran lingkungan, disebutkan kementerian/lembaga yang menjadi unsur utama adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Dalam pelaksanaannya unsur utama dibantu dengan unsur pendukung dari kementerian/lembaga lainnya yakni  Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, TNI, Polri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pemerintah daerah dan kementerian/lembaga terkait.

Panduan penyelenggaraan pertahanan nirmiliter dalam kebijakan umum pertahanan negara di atas merupakan panduan yang bersifat umum. Dalam implementasinya diperlukan pemahaman dan kesadaran seluruh pihak termasuk kepada seluruh WNI terkait hak dan kewajiban dalam bela negara dan partisipasi dalam pertahanan keamanan, sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini.   

Dengan demikian untuk mewujudkan pertahanan nirmiliter yang tangguh, sangat diperlukan integrasi dan kerja sama/kolaborasi yang lebih terarah dari para ahli dan para pengambil kebijakan di seluruh kementerian/lembaga. Partisipasi warga negara dalam menghadapi ancaman kerusakan/pencemaran hutan mangrove dapat bersifat perorangan sesuai profesi dan kemampuan masing-masing, atau dalam komunitas, atau kelompok pemerhati lingkungan (pelajar, mahasiswa, peneliti, perusahaan, penulis, seniman, dan lain-lain).

Sejak dicanangkan pada 2015, kerusakan hutan mangrove belum dapat diatasi. Dari beberapa laporan hasil penelitian menemukan adanya kegagalan dalam rehabilitasi mangrove di Tanah Air. Salah satu penyebabnya adalah paradigma bahwa rehabilitasi ekosistem mangrove hanya sebatas menanam kembali bibit mangrove.

Seringkali kita mendengar berita dari berbagai kalangan yang melakukan kegiatan penanaman bakau di wilayah pesisir tertentu, namun bagaimana kelanjutannya kurang mendapat perhatian. Sementara pohon bakau sendiri ada 80 jenis sesuai dengan jenis tanah, pasir, air, dan pesisir yang berbeda-beda. Dengan demikian penanaman kembali hutan mangrove membutuhkan perencanaan yang lebih matang dan terutama harus melibatkan masyarakat lokal sejak awal, sebagaimana konteks pertahanan nirmiliter adalah tugas atau hak dan kewajiban bersama.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat