visitaaponce.com

Capres Pro Iklim

Capres Pro Iklim
(Dok. NasDem)

INDONESIA, negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau dan garis pantai kurang lebih 81 ribu km, menempati posisi keempat sebagai negara paling rentan terhadap perubahan iklim, yakni setelah Bangladesh, Guinea-Bissau, dan Sierra Leone. Posisi itu sesuai climate change vulnerability index tahun 2017. 

Di antara bentuk kongkret statistik itu, sebagai contoh ialah proyeksi peningkatan permukaan laut sebesar 0,5-1 meter pada 2100 yang bisa merenggut rumah dan mata pencaharian 42 juta orang di wilayah berpantai rendah.

Sementara itu, berkaca pada tingginya kepadatan populasi, yang mana terdapat rerata 145 orang per kilometer persegi dan fakta bahwa 9,5% rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan nasional, dapat dilihat betapa besarnya tantangan yang dihadapi. Lebih jauh, 24% dari populasi Indonesia hidup dengan penghasilan kurang dari Rp50 ribu per hari. 

Situasi tersebut dipadukan dengan ancaman perubahan iklim, berpotensi menciptakan bencana sosial-ekonomi yang besar. Namun, Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia yang mana dengan semua itu diandaikan terdapat peluang untuk bertahan atas tantangan perubahan iklim. Hanya, kita tahu eksploitasi yang tak terkendali telah mengancam sumber daya alam tersebut yang seharusnya menjadi modal kita dalam perang melawan perubahan iklim. 

Menyikapi fenomena itu, menyambut Pemilu 2024, ada baiknya kita mulai menyoroti calon pemimpin nasional yang pro iklim, yang memiliki visi keberlanjutan dan adil, yang tentu saja bukan hanya untuk saat ini, melainkan bagi generasi-generasi mendatang. Calon presiden pro iklim akan menjadi harapan kita semua dalam mencapai tujuan tersebut.

 

Pelajaran global

Dengan melihat bagaimana para pemimpin hebat dunia menyikapi perubahan iklim, kita bisa memetik beberapa pelajaran. Pertama-tama, terdapat para pemimpin yang mampu memastikan langkah politik yang melahirkan kebijakan pro iklim mendapatkan dukungan dari para legislator serta mampu menerapkan kebijakan tersebut secara cerdas dan konsisten.  

Mantan Kanselir Jerman, Angela Merkel, sebagai contoh, berhasil mengamankan kebijakan yang ambisius dalam mengurangi emisi dan meningkatkan energi terbarukan serta mendukung Paris Agreement dan European Green Deal meskipun menghadapi tantangan dari berbagai sektor. 

Presiden Sebastian Pinera dari Chile, di tengah kesulitan politik dan ekonomi serta tantangan sosial, berhasil memobilisasi sumber daya dan kemitraan kebijakan pro iklim untuk mencapai netral karbon pada 2050 dan menjadi tuan rumah COP-25. 

Di Asia, Presiden Moon Jae-in dari Korea Selatan mendapatkan dukungan parlemen dan masyarakat untuk Korean New Deal yang bertujuan menginvestasikan sebesar US$160 miliar dalam sektor hijau dan digital, menciptakan 1,9 juta pekerjaan, dan untuk mencapai net-zero emission pada 2050. 

Kemudian, ada isu daya saing ekonomi dan resiliensi negeri ini. Capres yang pro iklim tentu harus mampu mendorong transformasi ekonomi menjadi lebih berkelanjutan, rendah karbon, dan sirkular. Inisiatif itu diandaikan dapat meningkatkan daya saing dan ketahanan ekonomi sTerlepas dari hiruk pikuk dengan Indonesia terkait isu lingkungan, kebijakan Uni Eropa bagaimanapun juga bisa diambil pelajaranarta membuka lapangan baru untuk pertumbuhan, inovasi, dan kesempatan kerja. 

Dalam hal ini, kita belajar dari Jacinda Ardern, mantan pemimpin Selandia Baru, yang dipuji sebagai pemimpin yang empatik dan sukses membawa negaranya melewati pandemi covid-19 dan mengelola krisis iklim. Ardern menerapkan kebijakan anggaran berbasis kesejahteraan yang mana efek sosial dan lingkungan diposisikan lebih penting daripada pertumbuhan ekonomi.

Terlepas dari hiruk pikuk dengan Indonesia terkait isu lingkungan, kebijakan Uni Eropa bagaimanapun juga bisa diambil pelajaran. Secara perlahan, tapi pasti, negara-negara yang tergabung di dalamnya telah menjalankan ragam upaya untuk mencapai net-zero emission pada 2050 atau lebih awal dan meluncurkan European Green Deal.

Pelajaran lain dari berbagai belahan dunia ialah bagaimana pemimpin yang pro iklim akan berperan besar dalam memperkuat kohesi sosial dan kesejahteraan masyarakat. Calon presiden pro iklim dapat melindungi penduduk yang rentan terhadap dampak perubahan iklim serta memastikan hak asasi manusia dan lingkungan dihormati.

Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Presiden Carlos Alvarado Quesada dari Costa Rica. Dengan komitmen mendekarbonisasi ekonomi Kosta Rika pada 2050, telah dijalankan berbagai kebijakan dan program yang mendukung pembangunan perdesaan, kesetaraan gender, hak asasi penduduk asli atau masyarakat adat, pendidikan, kesehatan, dan budaya.

Semua itu, di samping masih banyak aspek lainnya, pada gilirannya akan memperbaiki reputasi serta pengaruh Indonesia di arena internasional. 

 

Rekam jejak

Ketika berbicara tentang Indonesia, perubahan iklim, dan presiden mendatang, sebagaimana disinggung di atas, visi iklim para capres tentu menjadi aspek penting yang harus dipertimbangkan. Berdasarkan rekam jejak selama memimpin, kita bisa melihat dengan lebih baik pikiran dan upaya mereka melindungi negeri ini dan rakyatnya, yakni dari dampak negatif perubahan iklim dan bagaimana memanfaatkan peluang yang muncul dalam transisi ke ekonomi hijau.

Dalam hal ini, seorang capres yang telah berkontribusi secara aktif dalam mempromosikan dan menerapkan kebijakan hijau seyogianya layak mendapatkan perhatian lebih. Misalnya, rencana mereka mengurangi emisi gas rumah kaca, apakah berorientasi pada pembangunan berkelanjutan dan bagaimana mereka menangani konflik lingkungan dapat memberikan gambaran tentang kemampuan mereka dalam menjaga keberlanjutan lingkungan.

Kita juga bisa melihat bagaimana partisipasi aktif para capres dalam forum-forum iklim, lokal, nasional, maupun internasional. Hal itu karena mengindikasikan pemahaman mereka tentang pentingnya kerja sama dalam menangani perubahan iklim. Itu juga bisa menjadi cerminan dari visi mereka tentang peran Indonesia dalam kerja sama global untuk penanganan perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Gaya hidup pribadi capres juga dapat memberikan kita gambaran tentang komitmen mereka terhadap lingkungan. Misalnya, apakah mereka mempraktikkan apa yang mereka propagandakan? Apakah mereka memilih transportasi pro iklim, mengadvokasi pengurangan dan pengelolaan limbah, dan menganjurkan pertanian organik dan pola hidup yang ramah lingkungan?

Dalam konteks Indonesia, kesiapan capres terkait resiliensi dalam berbagai aspek kehidupan seiring perubahan iklim juga penting untuk dipertimbangkan. Misalnya, seiring meningkatnya ancaman terhadap keamanan pangan dan air serta potensi konflik yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, layak untuk mempertanyakan bagaimana dengan pemahaman dan strategi mereka menghadapi tantangan itu menjadi hal yang penting.

Terakhir, sebagai cara termudah untuk mengindentifikasi komitmen mereka terhadap isu-isu lingkungan dan perubahan iklim, bisa dilihat rangkaian pernyataan publik mereka, terutama selama menjabat. Dalam kampanye, bisa saja semua membangun kesan dengan beretorika. Namun, rekam jejak mereka, yang saat ini lebih mudah didapatkan secara digital, akan menceritakan seperti apa mereka sebenarnya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat