visitaaponce.com

Memaknai kembali Bernegara

Memaknai kembali Bernegara
Ilustrasi MI(MI/Seno)

KALI ini, segenap bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-78 setelah status pandemi covid-19 dinyatakan berakhir oleh pemerintah (Kepres Nomor 17 Tahun 2023). Ekspresi pesta perayaan HUT RI pun ‘bergempita’ lagi setelah 2 tahun hiatus karena pandemi.

Aktivitas ekonomi menggeliat lagi. Kegiatan melibatkan banyak orang kembali mengisi ruang-ruang tak bersekat instansi layanan publik, gedung dan lapangan, mobilitas warga pun tanpa batas. Apalagi tahun 2024 bangsa ini akan melaksanakan pemilu. Banyak pakar mengatakan, perputaran ekonomi akan bergerak seiring gerak masif aktivitas politisi jelang 2024.

Aura dan suasana kemerdekaan tak luput menghiasi berbagai pertemuan para politikus dalam tajuk agenda koalisi. Mereka sibuk bergerilya, saling intip, menakar dan jual-beli dukungan untuk memperkuat barisan koalisi, dan mengusung calon presiden dan wakil presiden di 2024. Seperti El Nino yang menyebabkan perubahan musim kian tak menentu, bandul politik pun berayun liar tak terprediksi. Kejutan demi kejutan politik mengemuka di tengah negosiasi alot para elite menakar peluang berkuasa.

Di satu sisi, kita memaklumi perjalanan strategi para politikus di panggung politik itu. Namun, menggelayut juga kecemasan, sejauh mana persoalan bangsa mampu direkam dan diolah dalam dapur-dapur koalisi kepentingan mereka. Apalagi, bangsa ini tengah dipacu oleh ancaman krisis ekonomi global yang ditandai kian naiknya suku bunga akibat tingginya infl asi dunia. Meskipun menurut International Monetary Fund (IMF) (2022), Indonesia masuk 20 negara dengan ekonomi terkuat dunia.

 

Sosial ekonomi

Pemandangan mikro sosialekonomi kita jelas menyimpan masalah tersendiri. Di satu sisi kemiskinan dinilai menurun, tetapi jurang antara yang kaya dan miskin kian menganga. Menurut BPS, per Maret 2023, rasio gini meningkat menjadi 0,388 dari sebelumnya 0,381 pada September 2022 dan 0,384 pada Maret 2022. Ketimpangan ini dianggap sebagai yang terburuk dalam lima tahun terakhir.

Potret kesenjangan tersebut bisa ditilik dari fenomena kelaparan dan stunting yang terjadi belakangan. Di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, selain sekitar 10.000 orang terdampak kelaparan, enam warga meninggal dunia karena kekurang an makanan (Kompas, 11/8). Fakta ini tentu ironis di tengah kekayaan alam Papua yang luar biasa.

Selain itu, negeri ini dihimpit pula oleh persoalan gagal tumbuh akut yang akan memengaruhi kualitas sumber daya dan daya saing bangsa di masa depan. Berdasarkan data UNICEF dan WHO, angka prevalensi stunting Indonesia menempati urut an tertinggi ke-27 dari 154 negara, membuat Indonesia menghuni urut an ke-5 di negara di Asia. Menurut SSGI (2022) angka stunting kita cukup tinggi, yakni 21,6%.

Dua hal yang digarisbawahi di sini. Pertama, soal distribusi kemakmuran yang belum berkeadil an. Kekayaan alam yang melekat pada rakyat dalam skala tertentu dieksploitasi untuk mengenyangkan segelitir kaum elite. Kedua, hal tersebut berimbas pada seretnya daya beli masyarakat yang tergambar simpel pada menu makanan kurang gizi di atas meja-meja makan rakyat.

Kekayaan alam yang seharusnya diekstraksi sebagai anggaran segar untuk memberi makan 270 juta rakyat, nyatanya banyak dikorupsi oleh para elite/pejabat di berbagai sektor. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, potensi kerugian 252 kasus korupsi dengan 612 tersangka pada semester I 2022 mencapai lebih dari Rp33 triliun.

Ini bukan jumlah uang yang sedikit jika dipakai untuk membangun fasilitas kesehatan dan pendidikan, termasuk misalnya membiayai program penanganan stunting.

Korupsi tidak saja merugikan negara secara material, tetapi berpotensi membentuk magma keresahan masif, yang suatu saat bisa meletus dan mendisrupsi stabiltas sosial-politik bangsa. Seperti tergerusnya nilai cinta kasih, kedamaian, persaudaraan sekaligus membuncah nya berbagai peristiwa kekerasan akar rumput belakangan ini.

Studi Global Peace Index tentang tingkat kedamaian negara di dunia misalnya, memosisikan Indonesia di urutan ke- 53 dari 163 negara.

Menurun dari tahun 2022 yang menempati urutan ke-43. Hal ini selaras dengan proliferasi kasus kriminalitas di Indonesia. Berdasarkan data Polri, angka kriminalitas di tahun 2022 naik 7,3% dari tahun lalu atau meningkat dari 18.764 kasus menjadi 276. 507 perkara dari sebelumnya 257.743 kasus (2021). Menurut Kapolri, ada 31,6 kejahatan yang terjadi setiap jamnya.

Sumbu-sumbu kriminal yang sa ling memicu distabilitas sosial dan politik ini, akan kian bertebaran manakala ruang pene g a k an hukum kian rapuh.

Menurut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD pada awal April 2023 lalu, jika mafi a atau korupsi bisa diberantas dan ditutup celah-celahnya, Indonesia mestinya bukan hanya bebas dari utang, bahkan setiap kepala orang Indonesia bisa mendapat penghasilan sekitar Rp20 juta tiap bulan tanpa harus bekerja.

Penegakan hukum terhadap korupsi yang lemah syahwat (intervensi kekuasaan, kompromistis dan vonis hukuman ringan terhadap koruptor) antara lain penyebab tak pernah berhentinya eskalasi korupsi di negeri ini, meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rajin melakukan operasi tangkap tangan.

Selain dunia politik, birokrasi dan korporat sebagai langganan peta korupsi, kini dunia intelektual kampus juga tak ketinggalan menjadi area subur korupsi. Menurut Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, perguruan tinggi menyumbang 86% (20 kasus) korupsi di Indonesia yang merugikan negara Rp 789,8 miliar (Kompas.com, 27/8/2022). Meski dari sisi jumlah kasus, tak sebanyak korupsi di Dinas Pendidikan dan sekolah.

 

Memaknai kembali

Hal yang sama peliknya menyelimuti nilai-nilai keberagamaan kita yang belum mencerminkan nilai Pancasila yang sebenar-benarnya. Kekerasan atas nama agama, pelarangan beribadah atas nama klaim mayoritas seakan mengindikasikan nilai dan spirit demokrasi belum terinternalisasi dalam darah da ging bernegara. Padahal, menurut Clifford Gertz (1963), Indonesia sejatinya adalah bangsa baru yang datang dari ribuan masyarakat lama. Artinya, nilai-nilai toleransi, perdamaian, kerja sama, kesaleh an, sudah menjadi DNA dan bakat bawaan bangsa kita.

Kenyataannya, minimnya mentalitas bersatu yang melampaui perbedaan dan kapasitas warga sebagai transformator antikekerasan dan diskriminatif, masih terlukis dalam kultur interaksionisme kita yang dipartisi oleh kecurigaan dan kebencian. Dengan demikian, meskipun cara bermasyarakat kita secara dejure ada dalam atmosfer demokrasi modern, secara defacto, mentalitas dan karakter bernegara serta berdemokrasi masih mewarisi cara hidup pranegara, yang gemar membangun rivalitas/perbedaan sebagai medium melakukan kekerasan.

Di momen HUT Kemerdekaan ini, kiranya seluruh entitas terutama pemegang kekuasaan, perlu kembali memaknai proses bernegara yang bertumpu pada komitmen penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, menikmati kesejahteraan, termasuk kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat (Hefner 2003:160). Salah satu caranya, pemerintah serius dan tegas memproteksi warga negara di semua strata dari berbagai ancaman dan intimidasi struktural pelanggaran kekuasaan dan hukum, termasuk korupsi.

Ini sejatinya setarikan napas dengan falsafah berdirinya negara versi JJ Roseuau. Bahwa negara selalu berbasis pada legitimasinya untuk memproteksi seluruh rakyat dari ketidakadilan melalui hukum yang kuat, adil dan distribusi ke sejahteraan yang merata.

Negara, misalnya juga harus memberikan ruang kemerdekaan terhadap kaum minoritas (anak-anak, perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat miskin korban kebijakan yang korup) lewat kerangka regulasi dan kebijakan pro-sosial dan humanis, yang menumbuhkan kembali persaudaraan dan nasionalisme sehingga setiap warga memiliki kedudukan, hak dan pengalaman yang sama dalam menikmati dan memaknai kemerdekaan baik secara ekonomi material dan lahir-batin. Dirgahayu RI!

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat