visitaaponce.com

Komisi Penyandera Kasus KPK Dugaan Korupsi Capres-Cawapres 2024

Komisi Penyandera Kasus (KPK) Dugaan Korupsi Capres-Cawapres 2024
iIlustrasi MI(MI/Seno)

FIAT justitia ruat caelum yang berarti hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Kalimat bijak yang diucapkan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) melukiskan betapa agungnya penegakan hukum itu.

Perkataan itu kontradiksi dengan pernyataan Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Asep Guntur Rahayu, pada 1 September 2023 yang akan memeriksa Muhaimin Iskandar terkait dengan dugaan korupsi pengadaan sistem pengawasan dan pengelolaan data proteksi tenaga kerja Indonesia (TKI). Pengadaan senilai Rp20 miliar lebih itu terjadi pada 2012 saat Muhaimin menjabat Menteri Kemenakertrans.

Pengumuman kasus di luar nalar itu berselang satu hari setelah Surya Paloh menyatakan kerja sama politik dengan PKB pada Pilpres 2024. Sebelumnya, laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK 2013 atas kegiatan tersebut menemukan kerugian keuangan negara yang tidak memenuhi unsur korupsi. Namun, KPK berdalih adanya pengaduan masyarakat setelah 11 tahun berselang sebagai dasar melakukan proses hukum dan penetapan tersangka.

Publik curiga apakah pengumuman KPK yang momennya bersamaan dengan deklarasi pasangan capres dan cawapres 2024 yang diusung koalisi NasDem, PKB, dan PKS memiliki hubungan. Sulit membantah tidak ada kaitannya karena KPK sudah merencanakan memanggil Ketua Umum PKB itu tiga hari setelah deklarasi pasangan pilpres tersebut.

Pegiat demokrasi berharap penindakan pidana korupsi murni penegakan hukum dan semua pihak menjaga dugaan korupsi yang dituduhkan kepada kontestan Pemilu 2024 tidak menjadi komoditas politik. KPK diharapkan mampu menangani korupsi secara profesional, penuh integritas, dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.

 

Konstruksi hukum kasus sistem proteksi TKI

Analisis kronologi kasus diperlukan untuk mencermati kegiatan sistem proteksi TKI menjadi peristiwa pidana yang mengakibatkan ditetapkan dua pejabat Kemenaker saat itu dan satu rekanan sebagai tersangka. Kegiatan pengadaan itu didanai dari DIPA APBN Kemenakertrans 2012 dengan rekanan ialah PT Adi Inti Mandiri.

Pemeriksaan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2013 memang menemukan adanya kerugian negara senilai Rp6 miliar lebih dan merekomendasikan tuntutan ganti rugi kepada PT Adi Inti Mandiri sebagai rekanan. Monitoring oleh Itjen Kemenaker memastikan 2017 semua temuan kerugian negara dan sanksi administratif telah ditindaklanjuti. Seyogianya kerugian keuangan negara yang berasal dari pemeriksaan reguler BPK dan telah ditindaklanjuti kementerian/lembaga tidak boleh dipidana.

Menurut UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Selanjutnya, UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai.

Mekanisme audit investigasi BPK diatur dengan Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2017 dan Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2020. BPK dapat melaksanakan audit investigasi apabila dari hasil pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) ditemukan adanya indikasi kecurangan atau penyimpangan aturan keuangan negara. Hasil pemeriksaan investigasi disampaikan kepada KPK atau aparat penegak hukum (APH).

Ketika BPK tidak menemukan indikasi kecurangan, BPK tidak melakukan audit investigasi, yang berarti BPK menilai kerugian negara tersebut tidak memenuhi unsur korupsi. Semua temuan kerugian keuangan negara yang berasal dari pemeriksaan keuangan atau PDTT bersifat nonyudisial atau tidak mengandung unsur pidana korupsi. Sesuai dengan regulasi keuangan negara, temuan kerugian keuangan negara itu cukup ditindaklanjuti dengan tuntutan ganti rugi dan sanksi administratif.

Ketentuan dimaksudkan menjaga jangan sampai KPK atau APH menggunakan LHP BPK untuk memidanakan aparat negara terkait. Apabila semua temuan kerugian negara dari proses pemeriksaan reguler BPK diproses secara pidana, tentu bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta UU Nomor 15 Tahun 2004 terhadap kerugian negara yang telah dikembalikan hanya dikenai sanksi administratif.

 

Potensi gugatan praperadilan dan PTUN

 

Dalam penetapan tersangka kasus itu, KPK hanya memiliki penghitungan kerugian keuangan negara yang berasal dari laporan pemeriksaan BPK 2013. Para tersangka dapat melakukan gugatan praperadilan apabila KPK menggunakan laporan pemeriksaan BPK tersebut karena bukan untuk pembuktian pidana korupsi.

LHP BPK itu karena tidak ditindaklanjuti dengan audit investigasi menjadi bukti tidak terjadinya peristiwa pidana korupsi. Patut menjadi pertanyaan, sekonyong-konyong KPK menerima pengaduan masyarakat tersebut dan membenarkan adanya peristiwa pidana korupsi.

Sebaliknya, kalau KPK melakukan penghitungan sendiri dan mengabaikan hasil pemeriksaan BPK, tindakan itu bertentangan dengan penjelasan Pasal 32 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan suatu kerugian negara telah nyata dan pasti apabila kerugian tersebut sudah dapat dihitung berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

Instansi yang berwenang menyatakan kerugian keuangan negara berdasarkan putusan Mahkamah Agung ialah BPK. Ketika penghitungan kerugian negara oleh KPK itu dijadikan dasar penetapan tersangka, laporan penghitungan kerugian keuangan negara tersebut dapat digugat ke PTUN.

Korupsi bukanlah delik aduan yang prosesnya ditentukan ada tidaknya pengaduan. Apabila KPK membiarkan kasus itu selama lebih 10 tahun dan tiba-tiba menyatakan ada tersangka, jangan salahkan publik menilai KPK melakukan politisasi hukum. Modusnya dapat dengan sengaja menyimpan kasus politisi dan pejabat publik serta mengintip kapan akan diungkap sesuai dengan kepentingannya.

Proses hukum seperti itu menimbulkan kesan KPK memiliki agenda tertentu dalam penanganan perkara korupsi. Pegiat demokrasi berharap KPK tidak menjadikan perkara korupsi itu sebagai sandera untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Semoga KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi tidak menjadi alat atau diperalat kekuasaan mana pun dalam upaya penegakan hukum yang berkeadilan.

 

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat