visitaaponce.com

Ada apa di Tanah Abang

Ada apa di Tanah Abang?
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

DI media sosial kini ramai diberitakan kondisi Pasar Tanah Abang di Jakarta yang sepi pembeli. Itu sebenarnya bukan berita baru. Setidaknya dalam lima tahun terakhir, terlebih saat pandemi covid-19, transaksi di pusat perkulakan tekstil yang katanya terbesar se-Asia Tenggara itu, sudah anjlok. Jika rajin keluyuran dan melihat fenomena yang terjadi di lapangan, sebelum era pagebluk pun beberapa pusat pertokoan (bukan cuma Tanah Abang), sebetulnya sudah minim pengunjung, terutama gerai pakaian dan elektronik. Di Harco Mangga Dua dan Roxi, misalnya, banyak gerai di sana yang juga tutup. Begitu juga sejumlah pusat perbelanjaan di kawasan Blok, M, Jakarta Selatan. Penyebabnya simpel, shifting, peralihan pola konsumsi akibat hadirnya e-commerce. Orang lebih senang berbelanja online ketimbang bermacet-macet ria di jalanan.

Lalu, kenapa sekarang berita mengenai sepinya Pasar Tanah Abang itu bikin heboh? Hmm… entahlah. Mungkin sang kreator konten yang membuat video itu kurang piknik, baik secara fisik maupun pikiran. Lagi pula, fenomena semacam itu sebenarnya bukan cuma terjadi di kota besar. Seorang kawan saya yang coba berbisnis kecil-kecilan dengan membuka toko pakaian di sebuah kota kecil di Jawa tengah, juga gulung tikar sebelum pandemi. Selain modalnya juga sudah cekak, penyebab utamanya, ya itu tadi, konsumen lebih senang berbelanja online. Mereka yang sekarang masih suka pergi ke mal atau pusat perbelanjaan, umumnya bukan lagi untuk beli baju, tapi untuk hangout, ngopi-ngopi, atau sekadar window shopping. Pola konsumsi masyarakat kini juga sudah beralih kepada kesenangan, bukan lagi barang.

Suka atau tidak suka, itulah yang sedang terjadi. Zaman memang sudah berubah. Manusialah yang mesti beradaptasi, bukan meratapi nasib, apalagi menyalahkan dan mengutuk kehadiran teknologi. Tulisan yang sekarang sedang Anda baca ini pun berkat bantuan  teknologi (internet), supaya bisa menjangkau audiensi yang lebih luas ketimbang hanya dimuat di media cetak yang kini sudah semakin kehilangan peminat. Ini juga bagian dari siasat saya untuk beradaptasi agar tetap bertahan dan tidak tenggelam ditelan arus zaman.

Jika Anda bertanya, lantas bagaimana dengan nasib para pedagang di Pasar Tanah Abang? Bagaimana mereka mesti membayar sewa kios, cicilan, dan memberi makan keluarga? Itu pertanyaan bagus dan juga kritis, mengingat sesuatu yang sangat besar yang sedang terjadi sekarang. Kehadiran teknologi yang disertai embel-embel digital, apalagi kini dilengkapi dengan kecerdasan buatan, memang telah menjadi ancaman bagi kita, umat manusia. Beberapa pekerjaan mungkin akan hilang, tapi beberapa pekerjaan baru mungkin juga akan bermunculan. Namun, seberapa cepat dan seberapa banyak? Itulah letak masalahnya yang harus dipikirkan, baik oleh kita selaku individu, para pemimpin dan pemilik perusahaan, maupun negara.

Dulu, sewaktu pagebluk mengamuk, beberapa pedagang kantin di sekolah ataupun kampus juga mengeluh. Diberlakukannya pembelajaran jarak jauh atau dari rumah, membuat mereka kehilangan pendapatan. Ketika itu, beberapa mahasiswa dan alumni yang notabene lebih melek teknologi, tergerak untuk membantu mereka berjualan lewat platform online. Bukan hanya pedagang, beberapa mahasiswa, bahkan ada yang membantu memberi makan kucing-kucing yang biasa berkeliaran di kampus. Langkah seperti itu ialah contoh bagaimana individu di masyarakat bersinergi menyiasati kondisi yang terjadi.

Langkah seperti itu pun mungkin dapat dilakukan instansi yang terkait dengan sejumlah pusat perbelanjaan. Entah dengan memberi pelatihan literasi menyangkut lokapasar digital, menurunkan harga sewa kios, membuat program diskon belanja yang lebih menarik, dan lain sebagainya. Menutup atau melarang perdagangan elektronik jelas bukan langkah tepat. Hal yang mungkin bisa dilakukan ialah mengaturnya, agar tercipta perniagaan yang adil dan tidak terjadi perang harga yang gila-gilaan, baik di dunia maya maupun nyata. Harus ada regulasi untuk melindungi para pengusaha kita, terutama mereka yang bergerak di sektor usaha kecil dan menengah. Intinya, negara tidak boleh diam. Ia harus hadir, termasuk di Tanah Abang. Wasalam.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat