visitaaponce.com

Lemah Gagasan, Kuat Fanatisme

Lemah Gagasan, Kuat Fanatisme
Ilustrasi MI(MI/Seno)

BONGKAR pasang koalisi maupun pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden menjadi hal mencolok yang dipertontonkan kepada publik dalam kontestasi menuju 2024. Publik hanya menonton drama-dinamika yang terjadi, mengingat aspirasi publik juga tidak diminta untuk menjadi bagian dari pertimbangan, kecuali kaitannya dengan elektabilitas calon yang mereka usung.

Dalam konteks ini, mudah kita untuk merasakan gersangnya gagasan yang ditampilkan para calon untuk kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Belum lagi drama berikutnya, berupa perebutan jatah utusan partai mana yang menjadi bakal calon wakil presiden.

Nyatanya, kegersangan tersebut memiliki lapisan-lapisan keras yang sulit digemburkan. Bukan hanya gersang gagasan dari elite politik, tetapi upaya di tengah masyarakat juga mengalami jalan terjal dalam membangun diskursus ide dan gagasan.

Peristiwa yang dialami Rocky Gerung (RG) seusai memenuhi panggilan Bareskrim Polri (6/9), misalnya, dalam video yang telah beredar masif melalui media sosial dan pemberitaan, terlihat sekelompok massa yang mendatangi dan mengerubungi RG dengan kalimat-kalimat yang mencerminkan minim dan rendahnya argumentasi, termasuk di dalamnya dalam bentuk makian. Bahkan seorang perempuan terlihat melakukan kontak fisik dalam bentuk dorongan terhadap RG.

Begitu pun peristiwa yang dialami Refly Harun (RH), pakar hukum tata negara, ketika menjadi narasumber dalam diskusi kebangsaan di Sleman, Yogyakarta (8/9). Diskusi yang juga dihadiri RG sebagai narasumber tersebut mengalami gangguan setelah didatangi sekelompok orang yang memaksa masuk dan menolak kehadiran RH dan RG dalam kegiatan. Bahkan, RH mendapatkan lemparan botol air mineral dari arah kelompok massa hingga mengenai bagian lehernya.

Kasus RG dan RH menjadi dua kasus yang memiliki kecenderungan sama, yakni sebagai respons kelompok massa tertentu atas diskursus ide dan gagasan yang mereka bangun melalui kritikan kepada pemerintah, termasuk di dalamnya Presiden. Bahkan dalam kasus RG, dalam video yang beredar, terdengar jelas kalimat-kalimat makian yang mempertanyakan kontribusi RG terhadap bangsa, serta menyebutkan kritikan-kritikan yang disampaikan RG dapat memecah belah bangsa.

Jika diperhatikan, kita dapat dengan mudah melihat kerapuhan argumentasi dan fanatisme politik buta jika kita korelasikan dengan afiliasi politik kelompok massa dan/atau pihak-pihak dalam kelompok ini.

Dua kasus itu juga mencerminkan rendahnya pemahaman kelompok-kelompok tertentu mengenai ekosistem demokrasi, yang di dalamnya dipenuhi kritikan terhadap pejabat publik. Fanatisme buta membuat pihak-pihak tersebut menepis segala macam kritikan terhadap pejabat yang mereka dukung dengan cara-cara nondemokratis, ketimbang memberikan respons dengan membangun ruang dialog dan diskusi untuk adu gagasan.

Kondisi demikian, secara eksplisit memperlihatkan daya destruktif fanatisme politik terhadap demokrasi, serta mengakibatkan minimnya dialektika (tesis-antitesis-sintesis) antara bakal calon presiden dan publik.

Jika kelompok massa demikian dapat lebih bijak dalam memahami kehidupan berdemokrasi, mereka seharusnya paham bahwa sudah naturnya penguasa dan pejabat publik mendapatkan kritikan. Apalagi, kritikan itu tidaklah diarahkan kepada individu/personal pejabat publik, melainkan terhadap fungsi jabatan dan output kebijakannya.

Sekali lagi, jika kelompok-kelompok tersebut memahami esensi kehidupan berdemokrasi, mereka tinggal mengundang pihak-pihak yang melakukan kritikan terhadap pemerintah, atau politisi yang mereka dukung dengan membentuk forum-forum diskusi untuk memfasilitasi pertarungan ide-ide dan gagasan. Partai politik maupun politisi patut memberikan sorotan atas tindakan simpatisan mereka dalam merespons kritikan publik ini sebagai bagian pendidikan politik terhadap simpatisannya.

 

Urgensi oasis politik

Jamak kita temukan bentuk-bentuk fanatisme buta, selain dalam bentuk makian, juga termanifestasi dalam istilah barisan sakit hati, kadrun, pembohong, dan tukang nyinyir yang disematkan kepada individu atau pihak tertentu yang narasi politiknya sering kali mengkritik kebijakan pemerintah. Fenomena tersebut dapat dipahami sebagai potret minimnya intelektualitas maupun argumentasi yang mumpuni.

Pada titik itu, undangan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) kepada tiga bakal calon presiden beberapa waktu lalu untuk adu gagasan menjadi oasis di tengah gersangnya gagasan yang ditampilkan para calon untuk kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Dinamika di tahun politik kerapkali memunculkan logika kosong di ruang publik yang disampaikan elite politik.

Persoalan-persoalan bangsa yang berada di depan mata dan menyangkut hajat hidup orang banyak justru dapat dimunculkan dan direspons seakan menjadi suatu persoalan biasa yang dipolitisasi. Sebab, persoalan tersebut disampaikan pihak-pihak yang dilabeli oposisi atau dilabeli barisan sakit hati untuk ‘menyerang’ pemerintah.

Padahal, persoalan yang menyangkut hidup mereka, tentu sudah sewajarnya masyarakat ikut berkomentar sebagai bentuk partisipasi dalam politik dan bernegara. Tidak ada lagi benang merah yang memisahkan antara mana yang persoalan bangsa dan mana yang persoalan politik.

Menciptakan oasis di tengah kegersangan kontestasi menuju 2024 semakin penting. Oasis ini semakin terasa bermakna apabila melihat realitas menempelnya bakal calon presiden tertentu kepada presiden kini, entah untuk mengharapkan restu ataupun pergeseran pemilih. Ini merupakan agenda-agenda simbolik yang minim gagasan. Padahal publik memiliki tanda tanya besar terhadap gagasan mereka. Sementara salah satu calon presiden justru telah memulai inisiasi dalam melakukan dialog-dialog konstruktif dengan pelbagai elemen masyarakat, untuk beradu gagasan dan menjawab hal-hal yang selama ini menjadi tanda tanya di benak masyarakat.

 

Kontestasi pikiran

Penggunaan ekspresi makian, penyematan sentimen dalam merespons pelbagai kritikan terhadap pemerintah, hanya mencerminkan ketiadaan gagasan dan argumentasi dari para pihak-pihak terkait. Pihak-pihak terkait yang dimaksud, tentu pembaca dapat memahaminya dengan mudah jika melihat bagaimana kontestasi diskursus di ruang publik.

Perilaku demikian secara nyata tidak memberikan pendidikan politik apa pun terhadap masyarakat. Justru sebaliknya, masyarakatlah yang memberikan pendidikan politik terhadap pihak-pihak yang mengedepankan sentimen tersebut.

Pihak-pihak yang fanatik terhadap pilihan politiknya seharusnya paham bahwa pascaketerpilihan pilihannya, kelompok terkait bisa menempatkan diri sebagai masyarakat pada umumnya yang kritis terhadap pemerintah. Sebab, para kontestan pemilihan umum yang terpilih, baik itu presiden-wakil presiden, anggota legislatif, maupun partai politik, menanggung amanah untuk seluruh rakyat Indonesia.

Perlu digarisbawahi bahwa salah satu bentuk pencerdasan publik dalam ruang-ruang demokrasi ialah mengarusutamakan gagasan dan argumentasi atas pelbagai persoalan yang menghiasi ruang publik. Melalui argumentasi dan gagasan, publik dapat turut serta dalam kontestasi pikiran pihak-pihak yang ‘bertikai’ secara intelektual, atau paling tidak dapat menilai dan belajar memahami persoalan-persoalan yang tengah dibahas.

Sebaliknya, bentuk pembodohan adalah diskursus yang berbasis sentimen, cacian, hingga makian. Melalui makian dan sentimen, percakapan hanya akan berhenti pada ucapan-ucapan yang cenderung berbasis kebencian dan kosong isinya.

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat