visitaaponce.com

Literasi Digital Publik Kunci Lawan Serangan Buzzer Politik

Literasi Digital Publik Kunci Lawan Serangan Buzzer Politik
Ilustrasi Buzzer(Ilustrasi)

WAKIL Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Suwarjono mengatakan literasi digital publik sangat diperlukan dalam merespon melimpah ruahnya informasi yang ada di media sosial. Terutama serangan informasi dari buzzer (pendengung) yang memiliki tujuan negatif. 

Buzzer politik memiliki agenda tertentu seperti kampanye politik, menyesatkan, hingga menyampaikan konten negatif lainnya. Buzzer seperti inilah yang dinilainya berbahaya untuk publik. 

Literasi digital publik ini memengaruhi bagaimana melawan narasi-narasi negatif dari buzzer di media sosial. Namun, hal ini perlu diseimbangkan dengan kualitas literasi masyarakatnya.

“Narasi harus dilawan (counter) dengan narasi juga, namun ini akan baik diterapkan pada masyarakat yang literasinya bagus. Namun, jika seperti di Indonesia di mana literasi masih seperti ini (rendah) sementara mereka belum bisa memfilter konten maka ini menjadi ancaman serius,” kata Suwarjono dalam siaran langsung Journalis on Duty di Instagram Media Indonesia , Jumat (12/2). 

Oleh karena itu, hal yang saat ini perlu dilakukan terlebih dahulu adalah melakukan pengaturan konten yang layak dengan yang tidak layak. Sehingga publik atau pengguna media sosial bisa menyadari jika ada konten yang dinilai tidak layak atau negatif. Untuk kemudian melakukan report (pelaporan) ke pemilik platform media sosial tersebut. 

Mekanisme seperti ini perlu digencarkan oleh publick. Karena konten yang ada di media sosial tentunya ada yang bernilai positif. Sehingga pelaporan bisa dilakukan oleh masyarakat sementara pemilik platform media sosial bisa menyaring dan mempertimbangkan untuk menghilangkan konten tertentu yang dilaporkan. 

Baca juga : Tjahjo Dukung Percepatan Reformasi Birokrasi KPK

“Pengaturan dengan membeirkan tools kepada publik untuk report ke pemilik platform lalu pemilik menilai konten ini layak dihilangkan atau tidak. Karena kan banyak juga konten yang bagus dan informatif. Saya kira atur kontennya bukan platformnya,” paparnya.

Ia menilai jika melawan buzzer negatif dengan adu kuat narasi, ini dikhawatirkan yang menang adalah pihak yang kuat. Bukan justru pihak dengan narasi yang benar. Pada akhirnya tidak bsia melindungi kelompok yang lemah dan tidak mempunyai suara.

Sementara itu, Konsultan Komunikasi Publik Wicaksono memaparkan buzzer secara definisi berarti pendengung. Definisi ini pun tidak berkonotasi negatif sebetulnya. Namun, kini buzzer selalu memiliki konotasi negatif. Ia berpandangan karena hal ini dipengaruhi oleh kondisi perpolitikan di Indonesia yang telah mengubah makna buzzer menjadi negatif.

“Terjadi pergeseran makna jadi negatif karena dunia politik Indonesia yg mengubah makna buzzer tersebut,” imbuhnya.

Senada dengan Suwarjono, ia pun menilai literasi masyarakat harus menjadi kunci dalam melawan buzzer dengan informasi yang menyesatkan. 

“Saya rasa tuags semua pihak untuk melakukan literasi digital dalam menggunakan medsos. Masyarakat kita saat membeli alat elektronik nyaris tak baca buku petunjuknya. Sama digital juga begitu, Begitu ada medsos orang langsung sign ini. Padahal kita harus mengetahu aturan, tata cara, etika sebelum memakainya. Karena ada petunjuk, minimal umur atau usia, sebaiknya membuat konten seperti apa dan lain sebagainya,” tutupnya. (OL-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat