visitaaponce.com

MK Tolak Gugatan MRP atas UU Otsus Papua

MK Tolak Gugatan MRP atas UU Otsus Papua
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta.(ANTARA)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak permohonan gugatan uji materiil Undang-Undang No.2/2021 tentang Perubahan Kedua UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang diajukan Majelis Rakyat Papua (MRP). 

"Menolak permohonan pemohon selain dan selebihnya," ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (31/8). 

Baca juga: Ditreskrimsus Polda Kaltara Geledah Kantor Satker PJN

Pada perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 itu, Ketua MRP yang diwakili Timotius Murib merupakan representasi kultural orang asli Papua, menguji Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua terhadap UUD 1945. 

Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). Lalu, Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang Penghapusan Pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ dan Pasal 77 UU Otsus mengatur usul perubahan atas otonomi khusus dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Mahkamah, perubahan UU Otsus Provinsi Papua dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, melindungi, menjunjung harkat martabat dan melindungi hak dasar orang asli Papua. Sebagai implikasi diberikannya Otsus Provinsi Papua. 

Mengenai dalil pemohon terkait Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua mengenai pengangkatan Orang Asli Papua sebagai anggota DPRP/ DPRK yang awalnya dipilih melalui pemilihan umum kemudian dalam UU No.2/2021, Mahkamah menyatakan anggota DPRP/DPRK yang diangkat dari orang asli Papua merupakan kekhususan. Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan keberadaan orang asli Papua pada DPRP / DPRK merupakan kebijakan afirmatif. Adanya anggota DPRP dan DPRK yang diangkat dari orang asli Papua, imbuhnya, justru memberikan kepastian hukum, dukungan dan mengakomodasi representasi orang asli Papua. Pasal tersebut dianggap tidak 

"Apabila Mahkamah mengikuti petitum pemohon agar pengangkatan anggota DPRP dan DPRK dari orang asli Papua dihapuskan sehingga berasal dari pemilihan umum, justru potensial menghilangkan kekhususan Provinsi Papua," ujar Suhartoyo.

Selain itu, mengenai Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU No.2/2021 yang dianggap pemohon dapat menghambat dan membatasi hak-hak orang Papua dalam berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat dan membentuk partai politik lokal, Mahkamah berpendapat kekhususan di Papua tidak mencangkup pembentukan partai politik lokal. 

"Dalil pemohon yang memperbandingkan dengan Aceh menurut Mahkamah daerah khusus dan daerah istimewa memiliki kekhususan masing-masing. Mahkamah tidak menemukan inkonstitusionalitas pada pasal tersebut," ucap Hakim Konstitusi Aswanto.

Ia menambahkan bahwa penentuan keberadaan partai politik lokal di Papua merupakan kewenangan pembuat undang-undang. Kemudian, terkait dalil pemohon bahwa kewenangan MRP akan hilang dalam seleksi rekrutmen partai politik dengan adanya perubahan kata 'wajib' menjadi 'dapat pada Pasal 28 ayat (4) UU 2/2021, Mahkamah menilai MRP harus berada pada kewenangan dan tugasnya dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua yakni penghormatan adat istiadat, budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan beragama. 

"Digunakan kata dapat tidak berarti menghilangkan tugas dan kewenangan MRP dalam melindungi hak-hak orang asli Papua dalam rekrutmen partai politik," imbuhnya. 

Selain itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan mengenai pemohon mengenai pembentukan badan khusus yang diketuai Wakil Presiden pada Pasal 68A ayat (2) UU Otsus yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, Mahkamah berpendapat pembentukan badan khusus justru untuk koordinasi, sinkronisasi, harmonisasi dan evaluasi pelaksanaan pembangunan di provinsi Papua. Pada sidang itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). (OL-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat