visitaaponce.com

SAS Institute Kritik Kiai Said Aqil Bentuk Otokritik Kebangsaan

SAS Institute: Kritik Kiai Said Aqil Bentuk Otokritik Kebangsaan
Mantan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj(Dok MI)

MANTAN Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menilai pesantren memiliki peran penting dalam proses kebangsaan.

Pasalnya, santri dan santriwati pesantren adalah kader-kader bangsa yang disiapkan untuk menjadi pemimpin yang berkarakter Islam Kebangsaan. Menjadi pemimpin yang membawa nilai Islam ramah, dan menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan.

Said Aqil juga merefleksikan, bahwa di Timur Tengah (jazirah Arab) sebagai dataran negeri yang mayoritas beragama Islam, hingga hari ini masih terus berkonflik dan saling serang sesama umat Muslim. 

"Untungnya di Indonesia kedamaian hidup berbangsa masih terjaga, karena pesantrenpesantren Nahdaltul Ulama terus menanamkan nilai Islam Wasathiyah (Islam Moderat) dan Ruhul Wathoniyah (Semangat Nasionalisme)," ujarnya dalam acara Haul Ke-33 KH. ‘Aqiel Siroj di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat.

Di sela-sela ceramahnya, ia menyampaikan kritik atas kebijakan memerintah menaikan harga BBM karena sangat berdampak terhadap masyarakat. Terutama ekonomi lemah, karena otomatis akan dibarengi dengan kenaikan harga bahan pokok.

“BBM naik, sudah pasti kebutuhan pokok ikut naik. Nelayan sepanjang pantura menjadi korban. Solar untuk berlayar bukan saja naik, namun barangnya tidak ada. Itu kan kader NU semua. Bagi-bagi BLT juga bukan solusi bagi rakyat, seperti hanya untuk bagi-bagi permen. Sifatnya sementara!," tandas Said Aqil.

Deputi Kajian Said Aqil Siroj Institute Abi Rekso memaknai sikap ketidaksepakatan Kiai SAS terhadap kenaikan BBM dan BLT adalah otokritik kebangsaan.

“Otokritik Kiai SAS soal kenaikan BBM dan BLT, jangan dimaknai sebagai sikap oposisi antipemerintah. NU sebagai civil society punya tanggung jawab moral menyuarakan suara rakyat. Jadi sikap itu perlu kita letakan sebagai otokritik kebangsaan yang membangun. Sama-sama kita mencari solusi krisis pangan dan energi,” jelas Abi.

Abi Rekso menilai krisis energi dan pangan sudah di depan mata. Jika mengutip dari penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani, alokasi subsidi energi tahun ini sebesar Rp502,4 triliun tidak cukup akibat kenaikan harga minyak dunia. 

Menurut Abi, sudah saatnya pemberdayaan masyarakat dalam hal energi dipikirkan secara serius. Sinergitas dan kolaborasi bukan saja difokuskan antarlembaga pemerintah dan struktur pemerintahan daerah. 

Pemberdayaan masyarakat sebagai subjek produsen energi juga sudah perlu dipikirkan. Menuju kedaulatan energi.

“Dengan pembatasan subsidi BBM, kita mendorong anggaran untuk riset dan pengembangan Pembangkitan Listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi salah satu prioritas. Kita berharap PLN segera fokus pada Pembangkit Listrik EBT. Jika ada lebih daya, maka pemerintah akan membeli dari produksi kapasitas listrik rumahan. Ini kan bagus, harga listrik stabil dan masyarakat bisa mendapatkan insentif dari pemerintah," tandas.

Ia menambahkan, jika pengelolaan anggaran hanya difokuskan kepada jaringan pengaman sosial, maka konsentrasi terhadap peta jalan kedaulatan energi akan terabaikan. Setidaknya, jika ke depan ada kenaikan minyak dunia, tidak menjadi variabel penaikan harga listrik.

“Jika nanti pembangkitan listrik EBT bisa berjalan dengan melibatkan potensi masyarakat dan pesantren, kalau harga BBM naik harga listrik tidak naik. Ini akan membantu meringankan masyarakat," pungkasnya. (OL-8)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat