visitaaponce.com

Masyarakat Sipil Dorong Revisi UU KUHAP Segera Diwujudkan

Masyarakat Sipil Dorong Revisi UU KUHAP Segera Diwujudkan
Peneliti Institute for Criminal dan Justice Reform (ICJR) Adery Ardhan Saputro.(MI/ARYA MANGGALA)

MASYARAKAT sipil memandang revisi terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) perlu segera dilakukan.

Pasalnya implementasi KUHAP justru membuat peradilan pidana yang terpadu sulit diwujudkan.

Penyebabnya karena masih ada diferensiasi fungsional atau pembagian sistem peradilan pidana yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan advokat yang memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah.

Peneliti Institute for Criminal dan Justice Reform (ICJR) Adery Ardhan Saputro mengatakan keberadaan asas tersebut membuat semua sub-sistem peradilan pidana terfragmentasi sehingga memunculkan ego-sektoral serta rendahnya koordinasi antara aparat penegak hukum.

Ia mencontohkan, pada tingkat penyidikan, penyidik telah yakin bahwa berkas sudah lengkap (P-21) dan melimpahkan berkas tersebut pada penuntut umum pada pra-penunutan.

Baca juga: ICW Minta Presiden Joko Widodo Tegur Luhut Binsar Panjaitan

Namun, penuntut umum memiliki pendapat lain seperti tidak cukupnya bukti. Contoh lainnya, tertundanya penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik kepada penuntut umum.

“Hasil penelitian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Universitas Indonesia selama periode 2012-2014 ditemukan permasalahan pada alur tahap prapenuntutan yakni sebanyak 44.271 berkas perkara tidak dilengkapi penyidik dan tidak disampaikan pada jaksa penuntut umum (JPU)," jelas Kurnia.

"Dari jumlah itu hanya 2712 perkara yang dihentikan atau diterbitkan surat perintah penghentian penuntutan (SP3),” paparnya dalam webinar series Peluncuran Penelitian Audit KUHAP yang digelar ICJR, Selasa (21/12).

Senada, Dosen Universitas Indonesia dan ketua dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Hasril Hertanto menambahkan KUHAP menerjemahkan sistem peradilan pidana dengan membentuk sub sistem peradilan pidana secara kompartemen.

Hal itu terlihat dari bagaimana kepolisian memahami dengan kacamatanya sendiri ketika melakukan penyidikan sehingga banyak perkara hilang atau tidak lengkap.

Harsil menilai diperlukan mekanisme pengawasan dan penilaian sebagai bentuk uji akuntabilitas dalam penanganan perkara.

“Ketika tidak ada uji akuntabilitas atas kewenangan penyidik, sering kali terdakwa mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan (BAP) saat persidangan. Lantas jika keterangan itu dicabut, apa dasar untuk dakwaan jika bukan BAP?,” paparnya.

Anggota Komisi Kejaksaan Bhatara Ibnu Reza menyoroti bahwa KUHAP tidak mendudukan jaksa sebagai dominus litis atau pengendali perkara.

Padahal, menurutnya jaksa berperan sebagai pengendali kasus yang sudah seharusnya terlibat sejak awal penyidikan.

“Hal ini menjadikan jaksa memiliki keterbatasan dalam melakukan supervisi terhadap proses penyelidikan dan penyidikan,” ucapnya.

Ia mencontohkan pada kasus dugaan pembunuhan yang menyeret mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Ferdy Sambo, jaksa tidak terlibat sejak awal dan menunggu surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP). Padahal dalam kasus tersebut ada rekayasa.

“Sehingga terjadi yang namanya prank nasional,” cetus Reza. (Ind/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat