visitaaponce.com

MAKI KPK Kalah Bersaing dengan Kejaksaaan Agung

MAKI: KPK Kalah Bersaing dengan Kejaksaaan Agung
Ilustrasi(Medcom.id)

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) prihatin dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode saat ini yang belum bisa mengungkap kasus-kasus besar atau big fish. Menurutnya, lemabaga antirasuah itu kalah dalam persaingan dengan Kejaksaan Agung yang kini dinilai lebih moncer dan jauh lebih dipercaya publik.

"Ini memang suatu keprihatinan kita. Saya berharap KPK perlu didorong, perlu di depanlah," ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya, Minggu (26/3).

Ia mengatakan pihaknya sudah meramal sejak 10 tahun silam bahwa kinerja KPK akan kalah dengan Korps Adhyaksa dalam mengungkap kasus-kasus besar tindak pidana korupsi.

Baca juga: Indikator Politik: Kepercayaan publik pada Kejagung Capai 77,7 persen

"Itu ramalan sudah saya sampaikan kepada kedua belah pihak," imbuhnya.

Boyamin berpandangan ketidakmampuan KPK mengungkap kasus-kasus besar tidak terlepas dari pola kerja yang dijalankan KPK selama ini. KPK, terangnya, hanya fokus pada operasi tangkap tangan (OTT) yang menerapkan Pasal 5 tentang suap, Pasal 11 tentang Gratifikasi serta Pasal 12 tentang Penerimaan Hadiah dan Pemerasan.

Dari OTT itu, KPK melakukan pengembangan kasus. Yang menjadi persoalan, jika pengembangan kasus selalu berasal dari OTT, itu akan membuat KPK dimudahkan dalam proses hukum.

Baca juga: Mahfud MD Didesak Pertajam Amunisi KPK Ketimbang Hanya Koar-koar Soal Aliran Dana Rp349 T

"Yaitu apa? KPK membuat bukti istilahnya gitu, jadi dia mau mengincar orang. Kalau uangnya tidak jadi diberikan kan tidak jadi ada bukti bahwa terjadi suap, jadi ini sesuatu yang membuat bukti jadi gampang," jelas Boyamin.

Berbeda dengan Kejagung, lanjut dia, dalam praktiknya, mereka selalu berkontribusi atau berkutat pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dan segala perubahannya.
Pasal 2 adalah perbuatan melawan hukum dan Pasal 3 adalah perbuatan penyalahgunaan wewenang.

"Kalau Pasal 2 dan Pasal 3 adalah mencari bukti dan menemukan bukti. Kenapa? Karena korupsinya sudah terjadi, bisa jadi lima tahun yang lalu, 12 tahun yang lalu, atau setahun yang lalu sudah peristiwanya terjadi dan harus menemukan dan mencari alat bukti," paparnya.

Dengan pencarian alat bukti itu, otomatis ketika Kejagung fokus dan konsentrasi di situ, mereke berpeluang besar menemukan ikan besar.

“Itu terbukti dimulai dari 2018 dalam kasus Jiwasraya yang dilaporkan MAKI. Kemudian, rentetannya menjadi kasus ASABRI,” jelas Boyamin.

Tidak hanya itu, MAKI merupakan salah satu yang melaporkan ke Kejagung kasus langka dan mahalnya minyak goreng waktu itu akibat ekspor CPO, termasuk kasus impor tekstil di Batam, dan kasus Satelit Kemenhan.

"Kemudian beberapa kasus lain besar-besar yang termasuk kasus perkebunan Surya Darmadi yang dirumuskan kerugiannya sampai sangat tinggi di atas Rp50 triliun," kata Boyamin.

Hal inilah yang membuat Kejagung mampu mengungkap kasus-kasus megakorupsi dengan pola kerja berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 mencari dan menemukan alat bukti. (Ant/Z-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat