visitaaponce.com

Sidang Pengujian UU Pemilu Di MK Ditunda

Sidang Pengujian UU Pemilu Di MK Ditunda
MK menunda Sidang pengujian UU pemilu(MI/Moh Irfan)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menunda sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Penundaan itu karena ahli dari pemohon baru diajukan Selasa (28/3), sehingga keterangannya belum dapat didengarkan pada persidangan hari ini. 

“Untuk itu, sidang ini ditunda hari Rabu, 5 April 2023, Pukul 10:00 WIB, dengan agenda tetap yaitu masih mendengar keterangan Ahli dari Pemohon,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman, Rabu (29/3).

Sidang perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ini dipimpin ketua MK Anwar Usman beserta tujuh hakim konstitusi lainnya. 

Baca juga: Mardiono Ajak Milenial-Gen Z Gabung ke PPP : Kembalikan Kejayaan PPP

Kuasa hukum para Pemohon Sururudin dalam persidangan menyampaikan pihaknya mengikuti kebijakan dari MK. “Kami mengikuti kebijaksanaan dari Yang Mulia saja,” ucap Sururudin.

Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

Baca juga: PAN Sampaikan Kemungkinan Terjadinya Koalisi Besar

Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak. Mereka menilai suara partai dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popularitas dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik, serta tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. 

Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik, namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal tersebut telah menimbulkan individualisme para politisi. Hal itu berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. 

Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Hal itu pula menjadikan pemilu berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multi kompleks. 

Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan. Sehingga apabila pasal-pasal tersebut dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil. 

Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi atau memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Para Pemohon dalam petitumnya meminta agar MK menyatakan frasa 'terbuka' pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat