visitaaponce.com

Eddy Hiariej dan Akademisi Eksaminasi Putusan Hukuman Mati Ferdy Sambo

Eddy Hiariej dan Akademisi Eksaminasi Putusan Hukuman Mati Ferdy Sambo
Ferdy Sambo(AFP)

SEJUMLAH  delapan akademisi menggelar melakukan eksaminasi terhadap putusan kasus pembunuhan berencana yang dilakukan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo terhadap eks ajudannya, Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Mereka ialah Prof. Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej, yang saat ini menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof. Marcus Priyo Gunarto, Prof. Amir Ilyas, Prof Koentjoro, Chairul Huda, Mahmud Mulyadi, Rocky Marbun dan Agustinus Pohan.

Baca juga: Peluang Ferdy Sambo Lolos Hukuman Mati Dinilai Kecil

Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahrus Ali menjelaskan yang dieksaminasi adalah dokumen terkait perkara a quo kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua dengan terdakwa Ferdy Sambo. Setelah itu, dibuatkan isu hukum untuk Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.

Baca juga: Jaksa Perlu Akomodir Rasa Keadilan Masyarakat

"Karena ini adalah eksaminasi, maka jelas kajiannya doktrinal karena dibatasi kepada dokumen yang tertulis. Dokumen itulah dikaji para eksaminasi," kata Ali lewat keteranga yang diterima, Minggu (11/6).

Dari hasil eksaminasi, terdapat tujuh isu hukum terhadap putusan Ferdy Sambo. Salah satunya menyebut bahwa perbuatan Ferdy Sambo kurang tepat dikenakan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana. Ia menilai Pasal 338 lebih tepat untuk diterapkan karena keadaan tenang tak terbukit.

Masalahnya, kata Ali, dalam perkara a quo itu majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya berdasar pada satu keterangan saksi, Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada Richard.

"Yang keterangan saksi Richard Eliezer itu sama sekali berbeda, bahkan bertentangan dengan saksi yang lain. Sehingga, majelis eksaminator mengatakan ini tidak tepat kalau kemudian dasarnya hanya satu keterangan," jelas dia.

Selanjutnya terkait dengan motif. Dalam perkara Ferdy Sambo, hakim mempertimbangkan motif dari versi jaksa dan penasehat hukum. Dari versi penasihat hukum, disebut yang menjadi motif ada faktor pemerkosaan. Sementara jaksa mengatakan bahwa itu motifnya bukan perkosaan, tetapi perselingkuhan.

Akan tetapi, lanjut Ali, hakim menolak kedua motif itu dan mengatakan motifnya adalah kecewa meski tak dijelaskan lebih lanjut alasannya. “Jadi di situ, eksaminator mengatakan hakim itu bahasa kasarnya itu melakukan proses halusinasi. Dia membuat fakta-fakta yang itu tidak ada di persidangan, dan itu menjadi dasar hakim salah satunya menjatuhkan pidana mati,” urainya.

Berikutnya, Ali mengatakan tes poligraf. Menurut dia, majelis hakim menggunakan tes poligraf padahal versi eksaminator itu investigasi dan tidak diatur dalam Pasal 184 KUHAP. "Jadi semuanya dianggap bohong, kecuali Richard Eliezer yang jujur. Ini versi majelis hakim," kata Ali.

Akibatnya, kata dia, tes poligraf berimbas kepada apakah Ferdy Sambo menembak atau tidak. Berdasarkan keterangan ahli hasil eksaminasi, lanjutnya, bahwa ada 7 peluru yang bersarang di tubuh korban. 5 peluru itu clear berasal dari senjata Richard Eliezer. Lalu, ada dua peluru itu tidak dapat diidentifikasi karena serpihannya sangat kecil.

Selanjutnya, Ali mengatakan pasal yang dikenakan turut serta kepada Ferdy Sambo. Menurut dia, pasal turut serta sebenarnya tidak tepat tapi harusnya menganjurkan. Tapi problemnya, kata dia, pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).

"Hakim nanti terjebak kira-kira dengan cara pandang dia, karena sejak awal hakim sudah mengklaim ini adalah turut serta," katanya.

Terakhir, majelis eksaminator juga membahas soal isu jeratan obstruction of justice terhadap Ferdy Sambo. Ali menyebut, Profesor Eddy mengatakan, bahwa obstruction of justice itu seharusnya ditujukan bukan kepada pelaku kejahatan, tetapi kepada orang yang membantu menghalang-halangi pelaku atau saksi.

 “Jadi Prof Eddy mengatakan tidak tepat kalau dalam perkara a quo, Sambo juga dikenakan pasal tentang obstruction of justice karena dia adalah pelaku dalam perkara a quo,” tuturnya.

Terkait Putri Candrawathi, Ali mengatakan ada dua isu hukum yaitu turut serta dan pembunuhan berencana. Menurut dia, majelis eksaminasi menyebut tidak mungkin terjadi turut serta pada delik yang selesai.

Baca juga: Menguji Efektivitas Eksaminasi

Alasannya, kata dia, turut serta terjadi pada fase sebelum kejahatan terjadi dan ketika kejahatan terjadi. Sehingga, tidak mungkin pada kejahatan telah selesai dilakukan. Sementara, eksaminasi ini banyak fakta hukum yang dijadikan pertimbangan hakim ketika Putri ikut terlibat pembunuhan itu sama sekali tidak ada kaitan dengan Ferdy Sambo.

“Niat Ferdy Sambo itu kan munculnya di Jakarta, bukan Magelang. Tetapi, fakta hakim yang juga dimasukkan oleh hakim adalah fakta-fakta yang di Magelang sehingga itu tidak masuk,” imbuh Ali.

Kemudian, eksaminator mengatakan perbuatan Putri Candrawathi itu lebih tepat sebagai membantu orang lain melakukan kejahatan seperti yang diatur dalam Pasal 56 KUHP. Eksaminator berpandangan tidak tepat dinyatakan bersalah melakukan turut serta pembunuhan berencana. “Masalahnya, Pasal 56 KUHP sejak awal tidak pernah dijadikan sebagai dasar dakwaan oleh jaksa penuntut umum. Karena, PC tidak dijadikan dasar didalam dakwaan, maka harusnya Putri itu bebas,” pungkasnya. (H-3)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat