visitaaponce.com

Peradilan Koneksitas Dinilai Jadi Pilihan Tepat Selesaikan Korupsi Basarnas

Peradilan Koneksitas Dinilai Jadi Pilihan Tepat Selesaikan Korupsi Basarnas
KPK dan TNI tengah berada pada polemik soal penetapan tersangka anggota TNI.(MI/Susanto )

PENGAMAT Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, penanganan kasus korupsi yang melibatkan Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto, paling tepat diselesaikan dengan peradilan koneksitas.

Dijelaskan Khairul, secara normatif, baik KPK atau TNI masing-masing memiliki landasan untuk mengklaim kewenangannya. KPK memiliki kewenangan dalam pemberantasan korupsi di kalangan penyelenggara negara, terutama para pimpinannya tidak boleh lupa selain kewenangan yang diatur oleh pasal 11 UU KPK.

Namun KPK harus memperhatikan pasal 42 UU KPK yang berbunyi, 'Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum'.

Baca juga: KPK tidak Boleh Menganulir Keputusan Tersangka

"Walaupun KPK adalah otoritas dalam pemberantasan korupsi sebagaimana diatur UU, sejauh ini selain Pasal 42, tidak ada regulasi lain yang mengatur kewenangan mereka dalam penanganan perkara yang tersangkanya adalah prajurit TNI," tutur Khairul.

"Nah karena kasus ini melibatkan sipil dan prajurit aktif maka yang paling mungkin hanya penanganan secara koneksitas sesuai Pasal 42 UU KPK dan Pasal 91 KUHAP. Tapi itupun tentu harus dikoordinasikan lebih dulu," imbuhnya.

Baca juga: Penetapan Tersangka Korupsi Basarnas Sesuai Prosedur, Pimpinan KPK Tanggung Jawab Penuh

Lebih jauh, Khairul menyebut perdebatan dan adu tafsir kewenangan semacam ini bukan pertama kali terjadi. Sayangnya selama ini Mahkamah Agung, pemerintah maupun DPR tampaknya kurang political will untuk mengakhirinya dan memberi kepastian dengan sinkronisasi dan agenda perubahan UU.

"Jadi saya kira perdebatan ini juga residu masalah yang terjadi karena belum tuntasnya sejumlah agenda reformasi, baik reformasi hukum maupun reformasi sektor keamanan. Sementara, negara ini jelas harus dikelola lewat regulasi yang ada. Bukan lewat wacana dan dialektika tiada akhir," tegasnya.

Dia menjelaskan, bila kemudian KPK dan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI tidak menemui kesepakatan untuk terciptanya peradilan koneksitas, KPK dan Puspom TNI harus tetap mampu menjalin kerja sama dalam mengusut tuntas kasus ini.

Khairul menyebut, kerjasama yang terjalin antara KPK dengan Puspom TNI dalam menangani perkara korupsi sejatinya pernah dilakukan, semisal pada kasus korupsi yang menimpa instansi Bakamla beberapa tahun lalu.

"Nah sebelumnya, pada kasus korupsi di Bakamla yang juga bermula dari OTT dan melibatkan prajurit TNI aktif, KPK dan Puspom TNI justru bisa dibilang cukup mampu bekerjasama dengan baik dan perkaranya tuntas di dua lembaga peradilan, di mana pelaku dari TNI diproses dan disidangkan melalui mekanisme peradilan militer," tuturnya.

Berbicara terkait keraguan masyarakat akan keadilan dalam penanganan kasus korupsi TNI aktif dengan hukum militer, Khairul mengatakan ini seharusnya menjadi momentum bagi Propam TNI untuk menepis persepsi dan stigma itu dengan penanganan yang fair, imparsial dan transparan.

"Ada persepsi dan stigma yang terbentuk berdasar pengalaman masa lalu bahwa mekanisme peradilan militer punya kecenderungan 'protektif' terhadap prajurit TNI yang melakukan perbuatan melawan hukum. Di antaranya karena proses maupun eksekusi putusannya yang dinilai kurang transparan," tutur Khairul.

"Nah sejauh belum ada ketentuan yang bisa mengakhiri segala macam perdebatan dan keraguan itu, saya kira ini justru momentum bagi TNI untuk menepis persepsi dan stigma itu dengan sekali lagi menunjukkan komitmen konkritnya dalam penegakan hukum bagi prajurit melalui penanganan yang fair, imparsial dan transparan," tukasnya. (Rif/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat